Salah satu kelompok rentan yang terkena dampak wabah Corona adala para seniman, terutama seniman tradisional.  Mereka adalah orang-orang yang menjadikan kesenian sebagai jalan untuk mengais rejeki. Secara syariat, prosedur kehidupan  (bukan teologis) kehidupan mereka tergantung pada event dan kegiatan seni. Jika tidak ada event maka secara otomatis mereka tidak bisa memeperoleh pendapatan. Kini sudah lebih dua bulan, sejak wabah Korona mulai menyebar di Indonesia, semua event kesenian dihentikan secara total. Ini artinya selama lebih  dua bulan pendapatan para seniman berhenti.

Daya tahan seniman menghadapi masa krisis ekonomi beragam. Ada seniman yang memiliki pendapatan berlebih sehingga bisa menopang hidup dalam jangka waktu yang lama ketika pendapatan berhenti (saat tidak ada event pertunjukan seni). Namun banyak juga yang daya tahannya hanya dalam ukuran bulan bahkan ada yang hari. Artinya kalau dalam hitungan bulan atau hari tidak ada event kesenian maka kondisi ekonominya sudah krisis. Dan saya yakin kelompok yang tersebut terakhir ini justru yang mayoritas.

Sebagaimana kelompok lain yang rentan terhadap kondisi krisis, saat ini nasib para seniman tidak lebih baik dari kelompok masyarakat rentan lainnya. Bahkan ada diantara mereka yang kondisi ekonominya jauh lebih parah. Para seniman “kelas event” yaitu mereka yang honornya pas-pasan, hanya bisa untuk bertahan hidup dari satu event ke event berikutnya, saat ini kondisinya benar-benar memprihatinkan. Karena sejak event kesenian berhenti dua bulan lalu, pendapatan mereka benar-benar berhenti.  Sebagai orang yang bergelut di dunia seni dan berinteraksi secara erat dengan para seniman, saya tahu persis kondisi ekonomi para seniman “kelas event” di era pandemi, sehingga saya bisa merasakan beban dan kesulitan mereka.

Dalam kondisi seperti ini, nasib seniman benar-benar seperti anak yatim yang terlunta-lunta. Ini terjadi karena sepertinya ada anggapan di kalangan masyarakat bahwa seniman adalah kelompok yang tidak layak menerima bantuan. Tidak seperti tukang Ojol, korban PHK, pemulung, buruh atau kelompok rentan lainnya yang banyak mendapat perhatian untuk memperoleh bantuan. Sementara para seniman yang hidupnya tidak lebih baik dari kelompok rentan lainnya hampir sepi dari perhatian para dermawan.

Bahkan di tengah himpitan beban ekonomi, tidak jarang para seniman diminta untuk berpartisipasi mengisi berbagai event amal untuk penggalian dana. Namun saat dana terkumpul nasib mereka tidak tersentuh. Banyak diantara mereka yang tidak mendapat honor. Karena  dianggap event amal maka pengisi acara dianggap tidak layak dapat honor. Padahal sebenarnya banyak  diantara mereka yang sangat membutuhkan honor tersebut untuk sekedar bertahan hidup. Selain itu, saat pembagian dana hasil event amal para seniman, semua diserahkan pada lembaga charity dan lagi-lagi para seniman tidak masuk dalam daftar penerima bantuan.

Bahkan celakanya, niat baik para seniman berpartisipasi pada kegiatan amal, disalahpahami oleh sekelompok orang. Sebagaimana yang terjadi pada kasus kegiatan amal penggalian dana untuk para seniman yang diselenggarakan oleh BPIP, BNPB dan MPR. Acara ini mendapat kritikan tajam dari beberapa orang.  Dianggap sebagai acara hura-hura yang tidak memiliki sensitifitas atas penderitaan rakyat, bahkan ada tudingan yang lebih keji yaitu mengganggu kekhusukan ibadah umat Islam.

Saya tahu persis, keterlibatan teman-teman seniman dalam acara tersebut tidak karena dorongan ingin hura-hura. Niat mereka tulus ingin ikut meringankan beban sesama, khususnya rekan sesama seniman yang nasibnya tidak lebih baik dari kelompok lain. Kalau terkesan hura-hura, itu juga kerena mereka ingin agar masyarakat tidak hanyut dalam menderitaan akibat tekanan wabah korona. Teman-teman seniman ini sekedar ingin berbagi bahagia dengan sesama, mereka ingin masyarakat merasa terhibur. Karena sebagaimana dinyatakan Ibn Sina, “Kepanikan dan kepedihan itu separuh dari penyakit dan ketenangan (kebahagiaan) itu separuh dari obat, dan kesabaran adalah awal kesembuhan”.

Maka dalam konteks ini, keterlibatan temana-teman seniman dalam event tersebeut selain untuk penggalian dana adalah untuk menghibur agar masyarakat senang dan bahagia. Dengan kesenangan dan kebahagiaan masyarakat akan bisa meningkatkan daya tahan sebagai separuh obat atas penyakit yang ada. Jadi jelas, niat mereka bukan untuk hura-hura, apalagi menyinggung perasaan umat Islam.  Dengan demikian, jelas, bahwa tudingan nynyir tersebut tidak hanya merupakan fitnah terhadap niat baik para seniman tetapi juga  bentuk penistaan terhadap mereka. Karena tudingan-tudingan tersebut sama seja dengan menganggap para seniman tidak memiliki kepekaan atas penderitaan umat. Seolah-olah para seniman ikut bergembira di atas penderitaan rakyat, sebagaimana yang dituduhkan oleh Din Samsudin. Padahal apa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan bentuk kepedulian dan kepekaan mereka atas penderitaan sesama.

Berbagai tudingan terhadap seniman dan  minimnya paresiasi peran seniman dalam berbagai event sosial membantu sesama mencerminkan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap seniman. Dalam kondisi demikian, seniman dituntut untuk bisa bertahan dengan segala kreatifitas sendiri. Artinya, para seniman tidak bisa bergantung atau mengandalkan bantuan dari kelompok lain. Seniman tidak seperti utadz dan juru dakwah yang saat krisis nasibnya dipikirkan oleh kementrian Agama atau lembaga charity agama lainnya seperti BAZNAS, LAZIS dan sejenisnya.

Dalam kesendirian memikirkan nasib, beruntung ada lembaga BPIP, BNPB dan MPR yang punya insiatif memperhatikan nasib seniman dan kelompok rentan lainnya yang menjadi korban berdampak Covid-19. Mereka bekerjasama dengan para seniman menyelenggarakan konser amal. Namun ternyata acara ini menuai kritik yang tajam dari sebagian kalangan. Memang kritik itu banyak ditujukan pada lembaga Negara sebagai penyelenggara, namun isi kritik yang diberikan sudah menyinggung eksistensi para seniman.

Bersyukur, di tengah kritik dan ketidak-pedulian masyarakat terhadap nasib para seniman, muncul inisiatif dari kalangan seniman untuk melakukan kegiatan amal yang khusus diperuntukkan membantu para seniman yang mengalami krisis karena dampak pandemi korona. Beberapa kegiatan amal tersebut diantaranya pagelaran konser amal daring untuk para senimana tradisional yang diinisiasi oleh Jakarta City Philharmonic Orkestra bekerjasama dengan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud. Juga event konser amal peduli Jateng yang diselenggarakan oleh para seniman Jateng di Rumah Dinas Gubernur Jateng untuk membantu para seniman dan pelaku UMKM yang terkena dampak Covid-19.

Sebagai orang yang dikaruniai bakat seni, maka cara beramal dan mengetuk hati orang agar mau membantu sesama adalah melalui seni. Tidak seperti ustaz atau muballigh yang menyentuh hati orang melalui ceramah dan pengajian. Dengan demikian, kalau para seniman melakukan gerakan amal melalui seni itu sama sekali bukan ingin hura-hura atau karena mereka tidak peka pada penderitaan sesama. Justru melalui cara yang terkesan hura-hura itulah para seniman mengekspresikan kepeduliannya pada sesama.

Jika masyarakat tidak lagi peduli pada seniman, maka sudah selayaknya para seniman peduli terhadap diri mereka sendiri.  Para seniman tidak perlu menghiraukan tudingan negatif dari sekelompak orang tidak pernah peduli pada seniman. Jika para seniman termakan oleh sikap nyinyir para pengkritiknya sehingga berhenti berkarya dan beramal, lalu siapa lagi yang akan peduli nasib seniman…..???.

 

****

 

 

Komentar