Muhasabah Kebangsaan; NU Dalam Pusaran Arus Gerakan  Ekstrimis

 

Banyak orang mengira (terutama kaum ekstrimis radikal) bahwa sikap NU (warga dan aktivisnya) membela Gus Muwafiq (GM) sebagai bentuk fanatisme kelompok. Mentang-mentang sebagai warga dan pengurus NU, maka GM dibela habis-habisan. Asumsi ini terus dihembuskan dan dibangun oleh sekelompok orang agar mereka bisa membuat gaduh dan menyerang NU.

Padahal jika dikaji secara mendalam,  pembelaan NU pada GM sebenarnya lebih merupakan wujud konsistensi NU pada prinsip tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran) yg menjadi pijakan  NU. Prinsip ini juga yang menjadi dasar NU dalam merespons ceramah Ustadz Abdul Shomad (UAS)  yang menyatakan bahwa Nabi gagal mewujudkan rahmatan lil’alamin dan pernyataan Evi Effendi (EE)  yang menyatakan bahwa Nabi waktu kecil sesat sampai mendapat hidayah dari Allah.

Seandainya kelompok ekstrimis radikal pada saat itu menyerang dan menista UAS dan Evie Effendi karena ceramahnya tersebut kemudian mereka melaporkan keduanya ke polisi dengan tuduhan menista Nabi dan memprovokasi umat dengan melakukan tindakan anarkhi, maka NU juga akan memberikan pembelaan. Karena bagi NU, apa yang disampaikan para penceramah itu hanya soal tafsir agama dan diksi dalam menyampaikan pesan. Bukan persoalan substansi agama.

Itulah sebabnya para aktivis NU tidak pernah mempermasalahkan ceramah mereka, melakukan penggalangan massa untuk memprotes mereka atas nama pelecehan agama dengan membesar-besarkan cuplikan kalimat dan diksi yang bombastis dari para penceramah tersebut  untuk memprovokasi massa, apalagi melaporkannya kepada kepolisian.

Karena tak ada protes dan semua mulut para ekstrimis radikal diam tak bersuara, maka NU beserta para ulama dan aktivisnya diam. Bahkan ketika ada warga yang salah faham terhadap pernyataan kedua penceramah tersebut, para ulama NU mencoba menjelaskan bahwa pernyataan itu hanya soal redaksi dan kekhilafan penceramah, bukan pelecehan agama.  Ketika yang bersangkutan  sudah melakukan klarifikasi dan meminta maaf, maka masalah dianggap selesai. Beberapa aktivis NU justru ribut soal sikap para ekstrimis agamis yang diam.

Sebenarnya sikap yang sama berlaku terhadap GM. NU memandang apa yang disampaikan GM hanya soal tafsir dan pemilihan diksi dalam menyampaikan pesan agama pada publik. Dalam konteks ini, GM mencoba menggunakan diksi dan mengkonstruksi pola pikir sesuai dengan audience agar mudah diterima dan dipahami. Hal yang sama juga dilakukan oleh UAS dan EE. Sehingga persoalan akan selesai dengan klarifikasi dan permohonan maaf.

Persoalan muncul ketika sekelompok orang yang berpkiran ekstrim dan radikal mencoba memaksakan pikiran dan tafsirnya kemudian memprovokasi masyarakat. Mereka menggunakan mimbar masjid, spanduk, baliho untuk membakar emosi massa agar mengikuti logika dan kemauan mereka. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan tindakan anarkhi dan intimidasi  untuk menekan aparat dan kelompok lain yang tidak sependapat. Bahkan mereka telah melakukan agitasi yang bisa memancing konflik.

Kondisi inilah yang membuat NU harus bersikap menghadang gerakan kaum ekstrimis radikal yang telah menjadikan kasus GM sebagai momentum untuk membikin kegaduhan dan merusak tatanan sosial kebangsaan dengan  simbol agama dan mengeksploitasi sentimen kelompok. NU melihat persoalan ini bukan semata pembelaan terhadap GM yang kebetulan orang NU, tapi persoalan keadilan dan wujud  komitmen  pada nilai yang menjadi pijakan yaitu tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran).

Konteks keadilan ini terkait dengan sikap sekelompok orang yang bersikap tidak adil terhadap GM. Pada UAS dan EE yang menggunakan diksi yang lebih kasar (Nabi gagal dan sesat) mereka diam dan menutupinya dengan berbagai argumen dan tafsir. Sementara kepada GM  mereka tidak hanya menista tapi juga melakujan agitasi, provokasi bahkan intimidasi untuk menekan publik melalui berbagai cara. Ketidakadilan ini harus dihentikan dan dilawan. Ketika masyarakat diam karena takut dituding melawan agama, maka NU tampil untuk melawan katidakadilan yang dilakukan oleh gerombolan ekstrimis-radikal.

Konsisten pada sikap tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran) ini bukan pekerjaan mudah, karena untuk menjaga sikap tersebut, NU harus berhadapan dengan kaum ekstrimis. Dan konsekwensinya, NU akan dihantam dari berbagai arah. Di kakangan kaum ekstrimis liberal, NU dituduh oportunis dan plinplan; di kalangan kaum estrim kiri, NU dituduh antek kapitalis sebagaimana yang dilakukan PKI; Di kalangan kaum ekstrim kanan Islam radikal, NU dituduh liberal, antek kekuasaan bahkan dianggap kafir.

Melihat fenomena sosial yang ada—seperti pola agitasi dan provokasi, gesekan di akar rumput dan pancingan pada massa NU untuk melakukan kerusuhan— ini mengingatkan kita pada cara yang dilakukan oleh PKI pada dekade 40an s/d 50an. Pola dan cara yang dilakukan kaum ekstrim kanan dan kebencian mereka kepada NU sama persis dengan perilaku PKI terhadap NU.

Konsistensi NU pada Islam yang moderat dan toleran serta komitmennya pada spirit kebangsaan membuat NU dimusuhi oleh kaum ekstrimis radikal. Mereka menganggap NU sebagai penghalang untuk merealisasikan agenda mereka. Inilah yang menyebabkan kelompok ekstrimis teroris tidak suka pada NU. Dari sini terbayang bagaimana sulitnya mempertahankan sikap toleran dan moderat di tengah pusaran arus ekstrimisme di negeri ini.**

 

Komentar