Nabi bersabda, barangsiapa yang bergembira dengan datangnya puasa, niscaya Allah haramkan atas tubuhnya api neraka. Ungkapan ini singkat dan padat namun masih sering disalah-artikan maknanya. Bergembira dipahami sebatas uforia simbolik saja; memasang pernak-pernik Ramadan di sekitar masjid dan mushola, ramai pawai anak-anak TPA, siswa-siswi yang berlomba membuat poster penambah gempita, namun lupa bahwa gembira yang sebenarnya adalah rasa senang dibarengi kesiapan; mental, fisikal, dan spiritual. Tak jarang, pada akhirnya, kita berkata, “loh! kok tiba-tiba sudah puasa! ga terasa, kok mendadak Ramadan tiba!” ungkapan penegasan kegagapan dalam menyambut puasa. Bayangkan, bila kampung kita mendapat berita akan didatangi Kepala Negara. Pasti orang sekampung akan heboh menyiapkan kedatangannya berhari-hari sebelumnya. Tapi apa kabar dengan kedatangan Ramadan kita?
Faktanya, kita sudah memiliki banyak informasi tentang puasa, pengetahuan tentang istimewanya puasa. Bahwa istimewanya puasa Ramadan dibanding ibadah lainnya ibarat keberkahan Masjid al-Ḥarām dibanding masjid-masjid lainnya. Kenapa? karena puasa Ramadan adalah ibadah yang hanya bisa diverifikasi pelakunya, tidak seperti ibadah lain yang tampak terlihat oleh mata. Itu pula yang kemudian ditegaskan oleh Allah, al-ṣaum lī wa Anā Ajzi bihi, puasa itu untuk-Ku dan hanya Aku yang berwenang memberi takaran pahala untuknya.
Nilai Puasa
Puasa adalah ibadah ritual-formal yang ada dalam tradisi agama samāwī. Al-Qur’an menegaskannya dalam Q.S. 2:183, kamā kutiba ‘alā allażīna min qablikum. Bahwa puasa sejatinya sudah disyariatkan dalam tradisi ritual agama-agama sebelum Islam. Banyak uraian tafsir yang menjelaskan ibadah puasa agama Yahudi dan Nasrani. Meski detilnya hanya bisa diduga, yang jelas, syariat Nabi Muhammad sebagai syariat pamungkas dari agama-agama sebelumnya telah menganulir kemudian mengintrodusir tata cara baku tertib puasa bagi mereka yang beriman, allażīnā āmanū.
Dengan demikian, sehebat apapun motivasi seorang muslim dalam berpuasa, apabila menyimpang dari aturan-aturan fiqh puasa dianggap nihil, tidak sah. Inilah salah satu nilai puasa, yaitu nilai normatif, puasa yang dipraktikkan secara legal-formal dan praktiknya boleh berseberangan dengan tata cara yang sudah ditetapkan. Sayangnya, banyak dari kita yang berhenti pada nilai pertama, sehingga puasa seringkali terasa hambar dan hampa, hanya sebatas menjalankan kewajiban yang sesuai dengan aturan saja. Puasa hanya sekedar menahan (ngempet) untuk kemudian berpesta pora saat waktu buka tiba. Untuk itu, nilai-nilai dalam ibadah puasa harus saling berkelindan dan tak boleh terpisahkan agar makna puasa tidak berhenti sebatas aturan saja.
Agar puasa tidak berhenti dalam format fiqh-oriented belaka, ada nilai kedua yang perlu dipahami dan hayati. Nilai puasa yang kedua adalah purifikatif (taṣfiyah, penyucian), yang tertulis dalam firman Allah la‘allakum tattaqūn, agar kalian bertakwa. Puasa formal ‘hanyalah’ sarana awal untuk mencapai tujuan lebih tinggi, yaitu menjadi pribadi yang takwa; mengerjakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangannya. Sehingga ‘latihan’ menahan lapar-dahaga tidak hanya berhenti dalam bentuk ‘menahan’ tapi juga bertransformasi dalam bentuk penjagaan; mengerjakan perintah, meninggalkan larangan. Pemahaman dan penghayatan utuh atas nilai purifikatif ini nantinya akan menghindarkan kita dari peringatan Nabi Muhammad tentang banyaknya mereka yang berpuasa tapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga.
Nilai ketiga dari puasa adalah preventif (al-wiqāyah, penjagaan). Bahwa dengan pelaksanaan puasa yang sesuai fiqh dan menghayati maknanya untuk menggapai takwa, akan membawa pada kesadaran hikmah puasa, yaitu penjagaan diri dari maksiat. Rasulullah pernah didatangi salah seorang sahabat yang tidak bisa mengelola nafsunya, tapi untuk menikah juga belum siap dengan materi dan harta. Pesan Nabi jelas dan tegas, puasalah! karena puasa adalah benteng, al-ṣaum junnah. Islam menyadari betul fitrah manusia, bahwa nafsu pertama yang harus terpenuhi adalah perutnya, jika nafsu perut ini diuji dengan lapar, ia tidak mampu berlanjut pada nafsu berikutnya; seks (bawah perut). Sehingga, untuk mengelola dan mengontrol nafsu berikutnya, berlapar puasa adalah solusi terbaiknya. Secara logika, bila perut lapar, fokus utama adalah memenuhi asupan makanan, tidak terpecah pada fokus pemenuhan nafsu berikutnya.
Selanjutnya yang keempat adalah nilai preservatif (pemeliharaan). Ibadah puasa yang dijalani sesuai ajaran dan dihayati sebagai sarana ketakwaan, akan membuka banyak hikmah, salah satunya hikmah pemeliharaan. Ṣūmū taṣiḥḥū, berpuasalah engkau akan sehat. Banyak kajian-kajian ilmiah yang membuktikan bahwa praktik puasa sebagaimana yang diajarkan fiqh memiliki efek kesehatan yang luar biasa; mengontrol gula darah, memberikan waktu rehat bagi organ tubuh, proses detox, dan manfaat kesehatan lainnya. Tapi harus diingat, hal ini terjadi bilamana dan hanya bila dijalani dengan nilai normatif-purifikatif. Karena tanpa pemahaman dan penghayatan nilai-nilai tersebut, puasa akan menjadi ajang pesta pora saat berbuka, sehingga bukan sehat yang didapat justru sakit yang mendekat.
Klasifikasi Puasa
Dalam menjalankan ibadah puasa, ada maqām, tingkatan kualitas para pesertanya. Ini bisa kita jadikan bahan refleksi, berada di maqām mana puasa kita. Abū Ḥāmid al-Ghazālī memberikan panduan perenungan ini. Menurutnya, tingkatan mereka yang berpuasa setidaknya dibagi menjadi tiga. Pertama, maqām puasa orang ‘awwām. Puasa pada level ini masih berhenti pada nilai normatif. Puasa dijalankan hanya untuk menggugurkan kewajiban, menahan lapar, dahaga, dan tidak berhubungan suami istri bagi yang sudah berkeluarga, dari subuh mingga maghrib tiba. Kelas awwām sudah merasa cukup dan gugur kewajiban dengan menjalankan batas minimun puasa. Maka sering kita dapati, banyak yang berpuasa tapi tetap berkata buruk, menggunjing, bahkan berbuat dosa. Kelompok inilah yang disinyalir Rasulullah di atas sebagai kelompok yang puasanya tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga.
Kelas berikutnya, yang kedua, adalah puasanya orang-orang khāṣṣ (khusus). Level puasa pada tingkat ini tidak lagi berkutat pada aturan fiqh saja. Tapi mereka juga berusaha menjaga seluruh anggota tubuhnya dari perbuatan-perbuatan tercela yang dilarang agama. Sehingga puasa mereka memberi dampak purifikatif, efek takwa dalam akhlak dan perilakunya. Sedang kelas yang tertinggi, yang ketiga adalah puasa level khāṣ̣ al-khāṣ̣ṣ,level VVIP, yang menurut al-Ghazālī levelnya para Wali dan Nabi. Puasa mereka tidak lagi berhenti pada fiqh dan menjaga anggota tubuhnya, tapi motivasi dan niatnya sudah terjaga dengan sempurna. Mereka sudah mencapai ma’rifat dan hakikat makna ajaran puasa. Mencapai level ketiga ini tentu teramat sulit meraihnya. Tapi setidaknya, kita bisa berada satu kelas dengan mereka yang berpuasa pada level kedua, dan menghindaripuasa bersama mereka di kelas pertama, yaitu puasa orang-orang ‘awwām, puasa yang hanya mendapat lapar dan dahaga, puasa yang jauh dari takwa.
Wa Allāh A‘lam bi al-Ṣawāb