Islamsantun.org. Ada hal menarik saat kita berkunjung ke toko buku. Selain mendapati dan menjumpai rekomendasi buku terbaru dari banyak penerbit, dalam lanskap buku berkategori sains populer, setidaknya kini mulai mengarah ke bahasan topik yang lebih spesifik. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa keberadaan ilmu pengetahuan memerlukan langkah metode yang ketat dan lengkap dalam menggambarkan realitas yang terjadi pada kehidupan. Ilmu pengetahuan di tengah kehadiran zaman tafsir terus diharapkan untuk menjelaskan fenomena maupun peristiwa yang terjadi.

Pada bidang sains, ilmu berkembang tak sebatas pada keberadaan cabang keilmuan saja seperti biologi, fisika, kimia, kedokteran, astronomi, maupun farmasi. Jauh dari itu, tiap-tiap keilmuan memiliki spesifikasi yang lebih mendalam. Cakupan itu meliputi hal seperti ke perilaku manusia, kajian data, teknologi terbarukan, benda mikro, hingga fase perkembangan zaman. Sederet terjemahan buku sains populer tersebut mewarnai dunia pasar buku kita. Ada satu hal yang disayangkan ketika kenyataannya tak banyak dari kalangan akademisi maupun ilmuwan kita sendiri yang memproduksi pengetahuan jenis tersebut.

Merujuk pada beberapa buku terjemahan terbaru di bidang saraf ada buku Mengapa Kita Tidur: Mengungkap Kemampuan Tidur dan Bermimpi karya dari Matthew Walker, bidang kosmologi ada Tiga Menit Terakhir: Renungan Sains Mengenai Alam Semesta karya Paul Davies, pada bidang informatika dan data ada Mahadata: Bagaimana Revolusi Informasi Mengubah Hidup Kita karya Brian Clegg, dan dalam bidang perkembangan zaman ada Revolusi Industri Keempat karya Klaus Schwab. Di luar itu masih banyak tentunya terjemahan buku sains populer sejenis yang dilakukan penerbit di Indonesia.

Kendati demikian, satu dilema yang terjadi akan perkembangan sains populer di Indonesia, utamanya terjemahan karya dari cendekiawan maupun akademisi luar negeri selang waktunya cukup lama dari pertama kali diterbitkan. Tentu saja, kalau dikorelasikan lebih mendalam akan lanskap perkembangan ilmu pengetahuan cukuplah ada situasi ketertinggalam momentum terhadap perkembangan ilmu terkini. Meskipun juga, hal itu tetap ada nilai positifnya berupa keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang dalam skala global.

Situasi kemandekan dalam ilmu pengetahuan di Indonesia terkadang disebabkan oleh hal yang bersifat teknis. Saat seorang akademisi Universitas Mataram, Ahmad Junaidi mempublikasikan tulisannya dalam laman The Conversation pada 17 Juni 2021 misalnya mengungkapkan bahwa ketidakminatan akademisi di banyak perguruan tinggi di Indonesia dalam menulis sains di media massa bukan terkait dengan kemampuannya. Namun, melainkan dari itu tak ada regulasi yang jelas akan apresiasi dari lembaga terkait ketimbang kepenulisan ilmiah dalam jurnal yang memiliki reputasi—terdapat angka kredit sebagai riwayat prestasi akademisi terkait.

Maklum, ketika realitas yang terjadi tidak banyak berseliweran tulisan-tulisan populer di media massa kita. Ada pun masih sedikit. Ruang media massa kita masih terpenuhi diskursus seputaran isu politik dan sosial. Apalagi ketika kesadaran yang muncul dai kalangan akademisi, peneliti, maupun cendekiawan harus pamrih. Melakukan sesuatu ketika ada apresiasi yang berhubungan dengan hal bersifat material. Sederet kenyataan tersebut membawa pada refleksi bersama atas budaya ilmiah di kalangan pendidikan tinggi.

Kembali ke Tanggung Jawab

Ada hakikat tanggung jawab yang mestinya disadari atas proses refleksi dari pengakraban terhadap realitas. Hal itu berupa bagaimana upaya terus-menerus dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya memiliki muara pada penyebaran gagasan demi gagasan kepada siapa saja tanpa terkecuali. Banyak orang awam butuh informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dalam lanskap ilmu dan pengetahuan. Mereka juga butuh informasi akan teknologi yang sedang dikembangkan dalam dunia sains.

Sebab, di periodesasi ilmu pengetahuan sebagai salah satu jalan peradaban, kita terus menghadapi berbagai macam ancaman dalam hidup. Ancaman tersebut mulai dari keruhnya wacana publik dengan hadirnya ilmu semu (pseudosains), banjir informasi yang simpang siur kebenarannya, jeratan berita bohong, hingga realitas publik yang diwarnai keberadaan politik identitas. Ilmu pengetahuan bukanlah sebuah produk yang selesai dan tidak akan berkembang lagi. Namun, ilmu pengetahuan terus menerus menyaratkan untuk membaca, melakukan analisis, dan menyususn metode dalam memberikan gambaran akan realitas yang lengkap, utuh, dan sempurna.

Hematnya, hari ini kita disuguhkan realitas kajian keilmuan yang semakin spesifik dan mendalam pada topik tertentu. Mau tidak mau iklim akademik harus beradaptasi, dengan menyusun strategi dan taktik pengembangan ilmu pengetahuan baik jangka pendek, menengah, dan panjang. Pada gilirannya dengan lahirnya iklim akademik tersebut menjadi sebuah upaya bersama untuk mewujudkan bangsa yang terus berani menguji rasionalitas dalam banyak bidang di kehidupan ini.

Upaya tersebut tentunya bukan sebatas melibatkan kalangan akademisi maupun cendekiawan saja. Namun, dalam skala luas perlu sokongan dari berbagai pihak. Seperti ilmu pengetahuan perlu dukungan media massa dalam kepentingan pembumian gagasan demi gagasan yang ada dan berkembang. Dukungan dari struktur masyarakat untuk membangun diri sebagai pribadi yang rasional, berani berpikir kritis, dan bertindak skeptis. Hingga dalam ranah pengembangan perlu sokongan dari pihak industri untuk bahu-membahu mewjudkan kegunaan ilmu pengetahuan untuk banyak orang. Begitu.[]

 

*Joko Priyono, Penulis Lepas dan Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Sekretaris LTN NU Kota Surakarta 2019 – 2024.

Komentar