Islamsantun.org – Kecenderungan hidup kita, sebagian besar adalah soal perayaan terhadap hal-hal yang sifatnya menyenangkan. Selebihnya adalah keadaan di mana kita harus mau tidak mau rela hati, lapang dada menerima hal-hal yang sebenarnya enggan kita terima.
Hasrat kita misalnya, ia menginginkan suatu pemenuhan kesenangan tanpa henti. Layaknya nafsu itu sendiri, hasrat adalah api kehidupan. Memadamkannya secara serta merta sama halnya dengan menggelapkan diri. Sedangkan, membesarkan apinya, sama halnya dengan membakar diri. Maka, keselamatan adalah di posisi tengah di antara kedua tindakan itu. Orang bijak menyebutnya sebagai pengendalian.
Dromologi
Pengendalian pada akhirnya bukan suatu pikiran yang sederhana. Kita seringkali terpeleset dan justru jatuh pada hal-hal sifatnya pelampiasan. Andaikan pun pelampiasan sesekali boleh dipenuhi keinginannya, kita selalu saja mengejawantahkannya secara keliru.
Pada dasarnya, keselamatan hidup manusia itu terletak pada substansi pengendalian. Sedikit saja ada bocor-bocor di wilayah itu, boleh dikatakan hidup kita akan kelabakan. Kita ambil contoh kebudayaan hidup mainstream hari ini. Tatkala teknologi-informasi sedemikian masifnya, Virilio membawa suatu istilah yang disebutnya dromologi.
Pola hidup yang cenderung berpretensi pada kecepatan. Hidup kita begitu sibuknya kejar-kejaran untuk hal-hal yang sesungguhnya sangat artifisial. Ketinggalan trend-trend viral adalah hal yang memalukan dalam kultur kehidupan hari ini. Artinya, dalam dromologi, pengendalian adalah sesuatu yang coba ditanggalkan sebagai pakaian kebijaksanaan hidup.
Hal demikian akhirnya yang membikin cara pandang hidup yang ugahari sudah tidak laku lagi dalam konstelasi tata manajemen kehidupan kita. Orang untuk bisa diakui, bahkan bahagia hidupnya, ya harus sesuai dengan trend-mainstream zaman yang sedang berkembang.
Ikut trend tata nilai kehidupan hari ini. Punya harta yang melimpah, bisa liburan sana-sani, bisa keluar masuk negara-negara sebelah, punya rumah kalau bisa yang dapat diatur suhu dingin-panasnya, sampai berdagang kalau bisa untung itu sepuluh kali lipat, syukur-syukur lebih. Satu lagi, sebisa mungkin sukses itu harus secepat orang bikin mie instan.
Terbawa Arus Trend
Kenapa hal demikian terjadi? Karena hidup yang ugahari itu sesuatu yang usang. Itu kehidupan yang tidak menguntungkan. Tak khayal cara berpikir kehidupan hari ini tidak memberikan tempat untuknya tinggal. Yang boleh bertempat tinggal misalnya: seperti cara hidup yang hedonis, hidup yang mengejar kesuksesan yang takarannya adalah sukses secara materiil-duniawi, termasuk misalnya pergi ke sekolah atau jalan-jalan menikmati hidup kalau bisa jangan pakai motor bebek, minimal ya Rubicon, dan seterusnya.
Hidup sudah sedemikian konsumtifnya memang. Dalam kajian-kajian sosiologi posmo, masalah tindakan konsumsi (Sociology of Consumption) menjadi satu disiplin baru yang menarik untuk disorot sekaligus dianalisa.
Budaya konsumerisme menjadi ciri kehidupan hari ini. Orang tidak lagi mengkonsumsi dalam artian sebagai pemenuhan terhadap manfaat dari apa yang kita konsumsi (bukan soal nilai-guna), asas utilitarian sudah tidak dipakai lagi, karena yang menjadi penting dan yang menjadi tujuan utama adalah soal prestise. Masak iya, Anda beli motor hanya yang penting bisa jalan doang, minimal beli motor ya yang sekaligus bisa membuat prestise diri Anda itu naik gitu loh. Misalnya beli yang merk-nya Aerox, PCX, N-Max dan kawan-kawannya.
Bepikir Konsumtif
Akhirnya, tatkala cara berpikir konsumtif itu menjadi corak utama kebudayaan kita hidup hari ini, satu hal yang menjadi sangat dikhawatirkan adalah soal upaya-upaya komodifikasi. Komodifikasi dalam berbagai sektor dan jenis hal. Apa-apa sebisa mungkin, bagaimanapun caranya sedemikian rupa diupayakan supaya bisa menghasilkan komoditi, semacam laba atau keuntungan yang bisa dinikmati secara materiil.
Yang viral kemarin misalnya, soal mandi lumpur, diupayakan sedemikian mungkin supaya menghasilkan cuan. Sehingga dalam kekhawatiran yang sangat mengerikan nilai-nilai luhur dalam kehidupan, misalnya nilai kebijaksanaan, nilai etika, moral, kemanusiaan, bahkan nilai kesakralan, sesuatu hal akan menemui bentukannya yang paling konyol.
Kita berani menjual harga diri, martabat hidup, hanya demi uang 10 juta misalnya. Kita rela menggadaikan moral dan etika kita supaya terlihat mewah. Bahkan, kita tanpa pikir panjang berani mengobral hal-hal yang sakral—dalam artian luasnya—demi sesuatu pendapatan yang sungguh-sungguh memalukan, bahkan mencelakakan.
Kehidupan yang kita jalankan hari ini begitu sembrono. Pertimbangan yang kita gunakan dalam menjalani kehidupan hari ini lebih pada soal komoditi. Kita menjadi manusia-manusia pasar yang setiap harinya hanyalah berkepentingan untuk mendapatkan laba yang lebih, lebih dan lebih lagi.
Komodifikasi Ramadan
Bahkan, Ramadan—dengan puasa dan nilai-nilai sakralnya—dalam konteks tertentu, boleh dibilang sudah terpapar budaya konsumtif masyarakat. Kita bisa melihat itu dalam iklan Marjan, Sari Wangi, iklan-iklan makanan dan minuman lainnya. Mereka terlihat memang ikut merayakan kehadiran Ramadan, tetapi pada level perayaan komoditi.
Belum lagi, tentang fenomena komersialisasi Ramadan dalam acara-acara siaran TV Nasional. Bahkan, coba kita pikirkan dan renungkan bersama-sama, puasa pada intinya adalah anjuran untuk menahan diri, soal perut. Tetapi faktanya menu makanan yang kita sajikan dalam bulan Ramadan jauh lengkap dan lezat dibandingkan saat-saat tidak Ramadan. Fungsi lidah kita akhirnya dilatih supaya hebat hanya soal masalah kuliner. Termasuk soal budaya ngabuburit, dan bukber.
Memang tidak salah. Termasuk saya tidak bisa menghakimi itu sebagai sesuatu yang salah. Tetapi, sebagaimana yang sudah saya sampaikan soal komodifikasi tadi. Ramadan yang sesungguhnya adalah anjuran untuk manusianya supaya melakukan restart ulang program-program bawah sadar yang mesti sudah lama terkena bug, cache, bahkan virus bisa normal kembali, justru dijejali oleh malware baru yang sungguh menggugurkan “ruh” Ramadan itu sendiri.
Maka, tak heran apabila setelah Ramadan selesai kualitas kemanusiaan, kepemimpinan, pemerintahan dan termasuk peradaban masyarakat kita masih gitu-gitu aja. Kita tidak pernah benar-benar mendidik ruhani, mental, dan kualitas kepribadian kita di dalam Ramadan. Kita menyambut Ramadan dengan respon kebudayaan yang begitu dangkal. Anak-anak menyambutnya dengan bunga api, sedangkan kaum-kaum dewasa menyambutnya dengan bunga bank. Sungguh kita tidak pernah benar-benar serius, dalam banyak hal—bahkan dalam hal-hal yang seharusnya sangat mudah untuk kita seriusi.
Lantas di akhir bulan Ramadan kita menggemakan takbir. Takbir apa yang sesungguhnya kita gemakan? Kemudian esok harinya kita berhari raya. Sesungguhnya apa yang kita rayakan? Kekonyolan-kekonyolan kemanusiaan kita, atau ada sesuatu hal yang lebih rendah lagi? Tidakkah kita merasa malu? Wallahu a’lam. []