Islamsantun.org – Sebagai muslim, tentu saya juga sangat menantikan momentum Ramadan sebagai bulan yang penuh berkah, bulan yang melimpah ampunan. Saya meyakini betul, betapa banyak dan besar dosa-dosa yang telah saya lakukan pasca Ramadan usai sampai pada bertemunya kembali dalam setiap tahunnya. Jika diakumulatifkan, dosa-dosa saya mungkin akan setinggi dan sebesar gunung Everest. Tetapi, memang, itu tak lebih besar dari keagungan Allah, termasuk ampunan-Nya. Ampunan Allah selalu melebihi apapun.

Syair I’tiraf Abu Nawas-lah yang menjadi satu-satunya syair yang sangat saya gemari untuk hal penyadaran diri. “Wahai Tuhanku, tak pantaslah hamba mengharapkan surga-Mu. Tapi, hamba tak sanggup jika harus Kau hadiahi tempat di neraka.” Sambil menangis sesenggukan melanjutkan. “Terimalah tobat-tobat hamba, Tuhan, ampunilah hamba. Sungguh hamba percaya, Engkaulah Maha Pengampun atas perbuatan dosa-dosa hamba.”

Bayangan

Kegetiran hidup, bayangan-bayangan pesimis tentang hari esok, serta kegagalan saya memahami gerak maju kehidupan membikin semakin ruwet dan terpuruknya saya atas wajah seram kehidupan ini, bahkan juga terhadap gambaran pribadi diri saya sendiri. Membikin saya harus benar-benar berbenah diri. Oleh karena itu, Ramadan, pada akhirnya, menuntut satu perjuangan serius utamanya adalah dalam hal penyadaran diri. Juga penyadaran diri dalam arti untuk suatu hal yang lebih besar.

Penyadaran diri terhadap apa? Tentu, adalah terhadap bentuk-bentuk ketidaksadaran yang sudah terlanjur terlukis dalam selubung akal dan dasar nurani kita.

“Wahai orang-orang yang berselimut!” kata Allah, “Bangunlah!” … “Bangunlah! Lalu, berikanlah perintah (perubahan)…”

Dalam fakta zaman yang sudah sedemikian dewasa usianya, kekaburan demi kekaburan yang terjadi, yang masuk ke dalam lingkaran sesuatu yang umum kita sebut kebenaran, kebaikan dan kebijaksanaan misalnya, justru menjadi semacam selimut yang menutupi selaput kesadaran kita. Artinya, penglihatan, pengetahuan dan pemahaman kita terhadap kebenaran, kebaikan juga kebijaksanaan itu sendiri betapa sulitnya untuk jernih. Jangankan itu, saat ini, kejernihan justru menjadi sesuatu hal yang sudah tak begitu kita percayai keberadaannya.

Di zaman sekarang, kejernihan adalah sesuatu yang non-sense. Ia sudah tidak laku lagi untuk ditawarkan ke dalam resolusi peradaban. Orang lebih suka mencari dan mengonsumsi hal-hal imitatif (baca: palsu). Dengan kata lain, orang lebih menyukai hal-hal yang tidak bernilai, hal-hal yang jauh dari kata esensial-substantif. Self-consciousness kita hari ini berada di level yang sangat dangkal. Itu terjadi karena pewacanaan narasi-narasi besar yang kemudian diiramakan sedemikian rupa indahnya sampai akhirnya kita jatuh cinta secara buta terhadapnya.

Pengandaian Marx

Seolah hari ini kita sedang mengalami kondisi yang ngungun. Itulah yang dalam teori Marxian diistilahkan sebagai false-consciousness. Kesadaran palsu. Tentu mungkin sangat berbeda konteks. Tetapi yang ingin saya katakan adalah, bahwa apa yang membentuk realitas kehidupan kita hari ini tidak lain hampir mirip dengan apa yang dulu pernah terjadi di zaman ketika Marx masih bisa bernafas. Marx masa muda. Sekali lagi, tentu dalam konteks yang sangat berbeda. Toh, jika perjuangan kelas yang diandaikan oleh Marx dahulu pada akhirnya gagal.

Hemat saya, justru dalam kondisi hari ini, false-consciousness yang tumbuh dalam bilik kamar kehidupan kita menemui bentuknya dengan sketsa anasir yang jauh lebih canggih dan halus. Hal itu pulalah yang membuat perjuangan besar untuk ihwal kemanusiaan terasa sangat sulit terjadi. Teknologi, misalnya, menjadi hal yang boleh dikatakan menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Ia membangun kesadaran palsunya yang sangat canggih.

Dulu, Marx mungkin membayangkan suatu perubahan dengan cara yang sangat linier. Sedangkan sekarang kita mengerti bahwa sejarah, realita atau fakta-fakta kehidupan lainnya bersifat sangat kompleks dan siklikal. Perubahan yang terjadi artinya tidak sesederhana sebagaimana konsep dialektika yang dipakemkan oleh Hegel. Artinya, butuh suatu pemahaman yang jauh lebih kompleks lagi demi mencapai perubahan yang sangat mendasar. Hari ini realita menampakkan bentukkannya secara sangat kompleks.

Tentu, saya tidak akan menjelaskan detail maksud dari konsep teori-teori Marxis. Karena itu bukan menjadi tujuan yang ingin saya tuliskan di sini. Hanya saja, saya akan sedikit menggunakan maksud dari analisis materialisme yang diwartakan oleh Marx sebagai suatu pokok upaya saya memahami konsep dialektik Ramadan.

Materialisme yang saya maksudkan bukanlah perihal soal seseorang mendewakan hal-hal yang bersifat materiil sebagai tujuan dari segala tujuan hidup. Kalau hal seperti itu yang dimaksud, tentulah itu sama sekali lain dari apa yang diinginkan oleh bulan Ramadan. Menjadi dua hal yang sama sekali bertolakbelakang. Sama sekali tidak bisa dihubungkan sebagai sebuah bangun kesadaran.

Marx menggunakan analisis materialisme dalam artian bahwa dunia materiil yang menyangkut persoalan ekonomi-produksi itulah yang sebenarnya perlu dilakukan perubahan secara mendasar dalam konteks perjuangan kelas waktu itu. Bukan dunia yang menjadi imajinasi metafisis para filsuf-filsuf idealis. Dimana pada akhirnya itu hanya akan membawa andaian pembahasaan yang abstrak-kosong, apabila perubahan yang dimaksud tidak benar-benar diimplementasikan di wilayah konkret-materiil.

Dari posisi itulah perubahan mesti diimplementasikan. Maka, upaya membangun sekaligus membentuk pemikiran sadar manusia harus dikontekstualisasikan dalam tatanan kehidupan yang materiil. Pendek kata, masalah-masalah yang sedang (dan akan) terjadi di wilayah kehidupan materiil manusia itulah yang secara konkret harus benar-benar dilakukan perubahan, lebih-lebih revolusi.

Misalnya, adalah tentang problem hubungan dikotomis dan diskriminatif antara kaum pejabat dengan kaum marginal, kaum kaya dengan kaum miskin, diskriminasi, memandang rendah liyan, bahkan tindak kekerasan simbolik superior-inferior, termasuk pula masalah kesetaraan, disintegrasi sosial, dan terutama kemiskinan, dst. Hal-hal demikianlah yang sangat penting untuk dilakukan perubahan.

False Consciousness

Semua itu tentu hanya akan bisa tersentuh, jika kita benar-benar terlepas (baca: terbebas) dari apa yang itu disebut dengan false-consciousness. Tetapi, memang problemnya lagi, adalah pada abad ini, kesadaran-kesadaran palsu tersebut telah berhasil menampilkan bentuknya yang canggih, halus dan berlapis-lapis. Ini tentu menjadi PR panjang umat manusia yang mesti diselesaikan demi benar-benar terbebas dari ilusi kesadaran yang selain itu bermaksud menggiring, tetapi juga sekaligus menindas.

Oleh karenanya, Ramadan, menurut saya, tujuan sebenarnya adalah untuk mencuci (baca: menghapuskan) kesadaran-kesadaran yang bersifat sangat ilusif-manipulatif tersebut. Lewat pendidikan puasa dan maksud ”taqwa” sebagai tujuan akhirnya. Sehingga kita sebagai umat Islam benar-benar fitri kembali. Akhirnya, manusia bisa kembali ke fitrahnya melakukan perubahan untuk hal kemanusiaan itu sendiri. Misalnya dengan berupaya mengentaskan kemiskinan, dan aneka kesenjangan sosial lainnya.

Dengan kata lain, Ramadan bukan hanya soal untuk kepentingan mendapatkan balasan surga belaka, tetapi lebih dari itu adalah ihwal: kemanusiaan. Kita dididik untuk menahan diri supaya tidak terus-terusan menjadi manusia yang rakus. Manusia yang tanpa perhitungan nilai-nilai kemanusiaan dengan seenak jidat mengeksploitasi besar-besaran terhadap alam, terhadap hak-hak vital hidup manusia, lewat penciptaan suatu policy, atau bahkan undang-undang yang hanya menguntungkan kaum-kaum elitis-kapitalis.

Ramadan adalah semacam madrasah yang mendidik para insan-manusia supaya ia tidak menjadi sosok-sosok arogan yang seolah-olah merasa dirinyalah yang paling berhak terhadap segala hal. Ramadan mengajarkan bahwa ”taqwa” bukanlah soal meninggalkan kehidupan dunia secara serta merta. Sebab, taqwa bukanlah soal orang secara utopis mencari pahala surgawi semata. Akan tetapi, taqwa adalah soal terjadinya sublimasi psikologis kaum-kaum beragama yang sadar bahwa hal yang paling penting dari agama adalah soal: kemanusiaan. Yakni, tentang bagaimana nilai-nilai ruhani-ilahiyah mampu ditariknya sedemikian jauhnya sampai menyentuh ruang-ruang dapur mereka yang papa, miskin dan terpinggirkan.

Artinya, momentum Ramadan bukanlah soal imajinasi kita yang menginginkan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan surgawi semata. Atau soal-soal dimana kita sibuk mengurusi kualitas peribadatan orang lain, yang jatuhnya malah melakukan judgment ke orang lain tersebut. Momentum Ramadan, justru adalah pembelajaran soal bagaimana hal-hal yang surgawi tersebut mampu dikonkritkan dalam praktik kehidupan sosial-ekonomi-kemanusiaan yang kita jalani setiap harinya. Yakni, soal bagaimana kita diajarkan untuk menjadi orang yang sibuk memberikan manfaat secara sosial, secara kemanusiaan kepada sesama manusia. Ramadan bukan hanya urusan langit, tapi lebih dari adalah juga urusan bumi.

Komentar