“Air yang tak mengalir akan merusak eksistensi dan potensi dirinya”

Begitu nasehat Imam Syāfi’ī dalam Dīwān Imām al-Syāfi‘ī, kiasan yang menganjurkan kita untuk mengembara agar semakin berdaya-guna.

Bagi mereka yang berjarak dari kampung halaman dan tanah kelahiran, tanah perantauan ibarat ‘gurun’. Bukan gurun dalam arti gersang, karena faktanya tanah perantauan bagi banyak orang adalah simbol kesuburan. Kesuburuan yang membuat para perantau nyaman membangun istana masa depan di luar kampung halaman. Tak jarang selanjutnya mengajak saudara dan handai taulan menapak jejak ke perantauan untuk bersama mengejar kemakmuran.

Lalu kenapa perantauan ini disebut gurun? Iya, gurun, gurun keterasingan. Setiap perantau adalah gelandang yang asing. Datang sendirian bermodal semangat merubah hidup dan kehidupan, jauh dari rumah dan orang-orang yang disayang. Di tanah orang memang seringkali ditemukan pengganti bagi segala hal yang tertinggal di kampung halaman, meski selalu ada saja yang tak tergantikan.

Gurun adalah keterasingan, meski keterasingan bukan melulu soal terkucil dan tertinggal. Tanah rantau biasanya justru menawarkan gempita melebihi kampung halaman. Keterasingan adalah kerinduan yang mendesak sesak kepada kampung halaman lengkap dengan hal-hal tak tergantikan.

Untuk kenyataan ini, kreatif menciptakan sumber-sumber kegembiraan adalah keterampilan wajib bagi para perantau. Di tengah gurun kerinduan, sumber kegembiraan adalah oase untuk tempat  singgah setiap kali lelah. Sumber-sumber itu harus banyak dan bervariasi agar bila salah satunya kering, oase lain masih menyajikan kesegaran.

Pulang kampung adalah salah satu oase tempat singgah untuk menyirami gersangnya kerinduan. Meski sementara, ia menawarkan pelepas dahaga tentang kampung halaman yang tak tergantikan di perantauan. Setiap perantau dipastikan memiliki hasrat untuk selalu kembali pulang yang harus dituntaskan.

Mudik adalah cara terbaik untuk memberi masa bagi para perantau untuk sejenak menyadari, bahwa orang tua mereka sudah tak lagi sama. Orang tua yang hanya berharap terbaik baik anak-anaknya, seringkali terabai dan terlupa, terganti dengan kemakmuran di perantauan.

***

Demi cinta! Iya, mudik itu lahir demi cinta. Cinta seorang anak yang kepada Bapak yang terpendam dalam cita-cita di perantauan. Kerinduan seorang anak pada Ibu yang disamarkan oleh hiruk pikuk pekerjaan. Orang tua memantau perkembangan anaknya beranjak kuat dan remaja, lalu kemudian, sang anak merantau dan tak pernah tahu hari-hari ketika Bapak-Ibunya yang dulu kuat perlahan mulai melemah dan renta.

Mudik hadir untuk ketulusan, bukan untuk flexing barang mewah ke tetangga, juga bukan untuk pamer prestasi saat hari raya, apalagi saling unjuk status dan citra saat kumpul keluarga. Pulang kampung harus dihayati dan maknai sebagai sangkan paraning dumadi, di mana kenangan indah dibangkitkan, di mana senyum Bapak Ibu dan kaki renta mereka untuk kita bersimpuh memohon maaf atas segala dosa dan kesibukan mengejar cita-cita yang melupakan bahagia mereka.

Mereka sejatinya tak butuh permintaan maaf kita, justru kitalah yang butuh itu untuk menampar kesadaran, bahwa betapa banyak rizki, rahmat, berkah yang berlimpah di tanah perantauan adalah curahan kebaikan yang bermuara pada doa mereka. Capaian, prestasi, dan status kita saat ini, berkelindan erat dengan keringat dan guratan-guratan keriput masa yang semakin tampak di wajah dan tubuh mereka.

Pulang kampung dihadirkan untuk tajdīd al-niyyah (pembaharuan niat) agar nafsu duniawi yang mendominasi kesibukan-kesibukan kita diimbangi dengan sentuhan motivasi ukhrawi. Untuk menengok sebentar dua orang istimewa yang rela kesepian demi kebahagiaan anak-anaknya. Pulanglah! Tapi untuk kembali ke ‘asal’, kepada kesadaran akan kemanusiaan, kembali pada niat dan doa baik yang dirapalkan tanpa henti oleh mereka, tanpa putus asa, agar kita, anak-anaknya bahagia.

Pulanglah! Bersimpuh pada mereka, peluk mereka, karena hadir kita adalah hadiah terindah bagi mereka di hari raya.

Komentar