Islamsantun.org – Al-Qur’an menempati posisi sentral dengan dijadikannya sebagai landasan hidup yang paling utama dalam peradaban umat Islam. Posisi tersebut selalu mengalami transformasi (perubahan) dan transmisi (penyebaran), baik cara penggunaannya, pembelajarannya, maupun cara sosialisasinya. Hal itu terjadi karena adanya trend yang sedang berlangsung dan sistem kebiasaan baru masyarakat yang serba digital dengan melibatkan teknologi, mesin, dan alat elektronik dalam pelaksanaannya. Proses penggunaan sistem digital dikenal dengan istilah digitalisasi. Digitalisasi yaitu suatu proses peralihan dari manual ke bentuk digital.
Adanya Transformasi di era digitalisasi mengharuskan manusia melakukan segala aktivitasnya menjadi berkaitan erat dengan dunia digital, dan demikian juga pada Al-Qur’an. Dahulu saat akan berinteraksi dengan Al-Qur’an dilakukan secara langsung dengan membuka mushaf dalam keadaan suci yaitu dengan cara berwudu, dilakukan pada waktu dan tempat tertentu, menggunakan pakaian yang menutup aurat. Namun saat ini, jika ingin berinteraksi dengan Al-Qur’an dapat dilakukan secara digital, kapanpun, dimanapun, dan tidak perlu dalam keadaan suci. Membacanya cukup dengan cara mendownload aplikasi, mengunjungi web, ataupun bergabung dengan grup-grup media sosial yang menyediakan fitur Al-Qur’an di dalamnya. Sehingga hal ini menggambarkan kemudahan akses yang terjadi dari adanya transformasi pembelajaran Al-Qur’an di masa modern.
Disamping itu, Al-Qur’an juga mengalami transmisi yaitu sejak diturunkannya hanya berupa ucapan-ucapan lisan yang sampaikan Jibril AS kepada Rasulullah SAW yang kemudian para sahabat menuliskannya di pelepah kurma, di batu dan di objek lainnya, beralih kepada pengodifikasian berupa mushaf atas prakarsa Abu Bakar, alasannya dikarenakan sepeninggalan Rasulullah SAW banyak hafidz Al-Qur’an yang meninggal di medan perang. Usaha pengodifikasian dilanjutkan oleh Utsman. Hingga saat ini mushaf Al-Qur’an tersebut masyhur dengan sebutan mushaf Utsmani. Seiring dengan berkembangnya teknologi Al-Qur’an yang semulanya berbentuk fisik berupa lembaran-lembaran atau mushaf ditransformasikan kedalam bentuk digital yakni dengan software komputer maupun aplikasi dalam handpone (Muhammad Fajar Mubarok, 2021). Dengan begitu, dapat diketahui bahwa Al-Qur’an bertansformasi dan bertansmisi dari awal diturunkannya hingga era digitalisasi modern saat ini.
Lalu, jika Al-Qur’an sudah digitalisasikan seperti dewasa ini, yang sering dipertanyakan yakni apakah hal tersebut menghilangkan kesakralan dari Al-Qur’an itu sendiri atau tidak? Kesakralan diartikan sebagai kesucian, segala sesuatunya dinilai suci bergantung pada setiap individu yang mempercayai dan menjadikannya suci, sehingga kesakralan bukan sifat yang tetap, melainkan nilai sifat diberikan oleh masyarakat yang menyucikannya (Rahman, 2020). Al-Qur’an sendiri dalam Islam dianggap sebagai sesuatu yang sakral, dikarenakan kedudukannya sebagai Kalamullah serta pedoman utama kehidupan umat Islam dan masyarakat menganggap suci kedudukan tersebut. Dengan adanya transformasi dan transmisi Al-Qur’an di era digital modern ini menarik untuk di bahas mengenai sifat kesakralan tersebut.
Hadirnya Al-Qur’an digital menjadi sebuah respon dari berbagai fenomena digital yang terjadi. Hal tersebut memberikan kemudahan bagi siapapun yang ingin berinteraksi dengan Al-Qur’an, mempelajari dan juga mengkajinya. Banyak sekali aspek-aspek yang dapat dijadikan kajian Al-Qur’an baik yang klasik seperti ulumul qur’an, di dalamnya membahas historisasi sebab turunnya ayat (asbabun nuzul), muhasabah, ayat muhkamat dan mutasyabihat, nasikh mansukh dan lainnya yang berkaitan dengan teks Al-Qur’an. Disamping kajian ulumul qur’an yang ditawarkan, hadir juga kajian-kajian kontemporer yang berkaitan dengan isu-isu masyarakat dari sudut pandang Al-Qur’an seperti kajian living qur’an, yakni Al-Qur’an yang hidup dalam masyarakat dan kajian tafsir tematik dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai masalah yang akan dibahas untuk ditemukannnya solusi dari masalah tersebut.
Semua kajian yang berkaitan dengan Al-Qur’an kini dipermudah dengan adanya digitalisasi, seperti dengan aplikasi-aplikasi kajian Al-Qur’an dan Tafsir, contohnya Al-Qur’an digital, Maktabah Syamilah, kitab-kitab berkaitan ilmu Al-Qur’an versi pdf, tafsirweb.id, audio visual ayat-ayat Al-Qur’an, visualisasi pesan-pesan Al-Qur’an melalui poster dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini tentunya sangat bermanfaat bagi masyarakat umum dan khususnya bagi para pengkaji bidang ilmu Al-Qur’an, karena referensi yang mereka perlukan mudah didapatkan, dan bahkan diakses secara gratis. Akan tetapi, dari kemudahan-kemudahan yang ada akan memunculkan masalah-masalah yang tidak disadari sebelumnya yakni hilangnya unsur otoritas (keahlian dalam bidang ilmu) dan otentitas (keasliannya), dan masalah lainnya seperti hilangnya kesakralan Al-Qur’an.
Pada umumnya, Al-Qur’an yang berbentuk mushaf secara fisik dinilai sakral dengan berbagai perlakukan istimewa terhadapnya. Seperti menyentuhnya harus dalam keadaan suci, hal ini disampaikan dalam QS Al-Waqiah ayat 79“ tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan”. Akan tetapi, beralihnya Al-Qur’an kepada media digital seperti handpone menjadikan nilai kesakralannya dipertanyakan, hal ini terjadi karena menyentuhnya tidak lagi harus dalam keadaan suci. Padahal nilai-nilai substansial yang bersifat sakral akan lebih efektif disampaikan melalui media digital yang saat ini banyak digunakan oleh masyarakat. Hal ini dapat terjadi apabila nilai-nilai kesakralan tersebut tetap terjaga dan terpelihara (Rustandi, 2019). Walaupun demikian, pernyataan awal mengenai status kesakralan membaca Al-Qur’an digital harus di telusuri secara mendalam, agar tidak ada keraguan dalam menggunakannya.
Jika difahami betul fungsi terapan dari Al-Qur’an digital yang ada, dapat di ketahui bahwa membaca Al-Quran digital tidak mengurangi nilai kesakralan yang melekat padanya, dikarenakan Al-Qur’an digital bukan lagi seperti mushaf (naskah) yang mana menyentuhnya harus dengan keadaan suci. Bentuk Al-Qur’an digital bukan lagi dzohir (tampak), perumpamaannya seperti membaca Al-Qur’an di balik kaca yang tidak menyentuh langsung tulisan Al-Qur’an tersebut. Sehingga harus dibedakan antara menyentuh mushaf dengan membaca Al-Qur’an. Menyentuh mushaf seperti yang sudah sebutkan “tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan” sehingga mengharuskannya untuk berwudu (meskipun sekarang banyak pendapat ulama yang membolehkan menyentuh mushaf tanpa berwudu dengan alasan-alasan tertentu). Adapun membaca Al-Qur’an maka tidak berwudu sebelumnya menjadi sah-sah saja tanpa mengurangi nilai kesakralan yang telah ada, akan tetapi lebih utama jika berwudu, agar turun Rahmat Allah Ta’ala.
Selanjutnya, yang menjadi tolak ukur tetap sakralnya Al-Qur’an digital yakni kembali kepada historisnya yang mana Al-Qur’an di tulis kedalam berbagai media seperti pelepah kurma, batu dan lainnya. Sehingga ketika seseorang membaca Al-Qur’an di mushaf ataupun digital dipandang sama karena keduanya tidak ada pada masa awal diturunkannya Al-Qur’an. Sehingga, kesakralan Al-Qur’an bukan dilihat dari mana membacanya tapi eksistensi penghayatan membacanya dengan penuh penghambaan dan juga keikhlasan yang dapat menghadirkan ketenangan batin, pemaknaan, dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun membaca Al-Qur’an digital tidak mengurangi nilai-nilai kesakralan yang terkandung, akan lebih baik jika memperhatikan adab-adab utama dalam menggunakannya, yakni membuka aplikasi dengan niat yang baik untuk beribadah mengagungkan ayat-ayat di dalamnya, menutup aplikasi Al-Qur’an jika sudah selesai menggunakannya, tidak meletakan handpone di bawah, tidak melangkahi, maupun tidak membawa masuk ke kamar mandi jika sedang membuka aplikasi Al-Qur’an.
Tidak hanya itu, adab-adab membaca Al-Qur’an lainnya dapat diterapkan dalam menggunakan aplikasi Al-Qur’an digital agar nilai kesakralannya dapat terasa secara lahir maupun batin. Dengan begitu, adanya transformasi dan transmisi mushaf Al-Qur’an ke digital menjadi jawaban atas maraknya sistem digital dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakannya tidak mengurangi kesakralan yang melekat pada Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah mukjizat yang luar biasa bahkan jika nanti dunia akan kiamat kesakralannya tidak akan hilang. Semoga kita semua semakin mencintai mukjizat yang luar biasa ini, semoga kita semakin mencintai Al-Qur’an. Aamiin..
Referensi
Muhammad Fajar Mubarok, Muhamad Fanji Romdhoni. 2021. Digitalisasi Al-Qur ’an Dan Tafsir Media Sosial Di Indonesia. Jurnal Iman Dan Spiritualitas 1 (1).
Rahman, M. Mukhlish. 2020. Tradisi Bacaan Al-Q Ur’an Untuk Ibu Hamil (Studi Murottal Al-Qur’an Dalam Media Youtube ). Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits 14 (2).
Rustandi, Ridwan. 2019. Cyberdakwah: Internet Sebagai Media Baru Dalam Sistem Komunikasi Dakwah Islam. Nalar: Jurnal Peradaban Dan Pemikiran Islam 3 (2).