Islamsantun.org – Hampir setiap hari banyak dari kita mendengar maupun membaca dalam headline sebuah surat kabar menyatakan bahwa dunia sedang dalam masa kelam akibat krisis iklim.
Memang benar bahwa sebab deforestasi, pengalihan lahan, perusakan ekosistem oleh industri ekstraktif mengakibatkan dunia saat sedang menghadapi krisis multidimensional seperti krisis iklim, bencana alam, kerentanan terhadap perempuan, hingga pemiskinan massal terutama di dunia ketiga. Kita semua sepakat atas ini dan sama-sama memahaminya.
Narasi media massa ini kian santer bukan sebab dorongan untuk menggerakkan kesadaran masyarakat akan urgensi mendesak atas krisis iklim namun sebaliknya, bahwa dalam logika pasar apa yang sedang digandrungi-ramai dapat dikomodifikasi dan patut untuk didengungkan (Meiksins E, 2021). Artinya, kesadaran atas krisis yang tengah melanda dunia hari ini telah menjadi common sense (Mouffe, 2020) sehingga demi click bait patutlah media-media besar mendengungkannya.
Lusinan riset mulai direproduksi, diskusi-diskusi semakin luas terselenggara, tak terkecuali narasi agamawan-intelektual mulai memfatwakan atas krisis yang sedang melanda. Selanjutnya beragam narasi tafsir mulai dipergunakan untuk melegitimasi perlunya umat memahami bahwa agama (tafsir agama) turut bagian dalam kegelisahan global saat ini.
Pertanyaan mendasarnya, apakah hal demikian telah cukup memadai untuk menghentikan laju krisis yang kian mencekik terutama lapisan paling bawah masyarakat hari ini? Jika tidak, apa yang seharusnya dilakukan?
Nampaknya kita perlu melampaui lusinan kajian mainstream, meskipun kajian tersebut harus dan bukan maksud mereduksi elan vitalnya, menuju suatu pemahaman kongkrit untuk gerakan atau kebijakan yang relevan. Hingga hari ini diskursus kajian keislaman kita dapat disimplifikasi hanya dalam dua kubu besar yang saling overlapping.
Mencari Alternatif yang Memadai
Yang utama dan menjadi arus utama hari ini adalah kajian yang berfokus pada penggalian nalar formal agama dalam bentuk mencari dan mereproduksi narasi dogmatik melalui pendekatan seperti filsafat, teologi, fiqh, sejarah, dlsb (Deta, 2020). Kita dapat menggali pemikiran semacam ini melalui intelektual kontemporer awal seperti Syed Hossein Nasr dalam “Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man”, Ibrahim Abdul Matin dalam “Green Deen: What Islam Teaches About Protecting the Planet”, atau beberapa pemikir Indonesia seperti KH Alie Yafie melalui tawaran Fiqhul Bi’ah-nya dalam “Merintis fiqh lingkungan hidup”, Mudhofir Abdullah dalam “Al-Qur’an & Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah, Dlsb.
Arus kedua adalah kelanjutan dari perpektif arus sebelumnya. Dalam arus ini sedikit banyak berupaya mengintegrasikan dengan keilmuan di luar islam (interdisiplin) yang selain berfokus kajian dogmatis juga lebih apresiatif terhadap disiplin luar islam melalui pendekatan kebijakan publik, ekonomi, antropologi, sosiologi, sejarah, dlsb. Dalam arus ini setidaknya telah melampaui kajian abstrak menuju pemahaman atas realitas dan dinamika masyarakat yang sedang berkembang. Tak jarang arus ini sedikit-banyak memberi counter terhadap tatanan paradigma formal dogmatik yang kurang apresiatif dalam memahami krisis ekologi.
Hanya saja pendekatan dari arus ini masih didominasi nalar elitis dan secara inheren mengafirmasi ataupun kompromistik terhadap variabel penyebab paling penting dari krisis ekologi (Al-Fayyadl, 2015). Sebut saja bahwa salah satu akar dari kerusakan ekologi adalah eksploitasi tambang yang mengorbankan bentang keragaman kehidupan di hutan. Atau tercemarnya laut adalah akibat dari residu industri yang tak mempertimbangkan dampaknya yang tak sederhana.
Alih-alih fokus terhadap jantung problem mode produksi ala kapitalisme atau sisi struktural yang kurang berpihak ekologi, arus kedua ini justru mengarahkan kritiknya terhadap sisi kultural masyarakat. Biasanya mereka fokus terhadap peningkatan kesadaran individualistik dalam misi mitigasi krisis iklim seperti himbauan zero plastik, transportasi listrik, ataupun agenda pembaharuan paradigma pemikiran tradisional.
Jika kita hanya mencukupkan diri dengan afirmasi intelektual pesanan yang mendukung status quo atau terlalu kompromistik maka selamanya krisis ini tak akan terselesaikan. Sebab krisis multidimensi ini tak akan selesai jika hanya dipahami dalam pendekatan yang monolitik eksklusif.
Oleh karenanya pendekatan interdisiplin yang menjadikan islam sebagai basis inspirasi dimampukan mengakomodir paradigma di luarnya sejauh relevan, dalam hal ini adalah analisa kerakyatan dan teori kritik pembangunan (Hadiz, 2022). Tentu ini bukan soal lebih mendahulukan antara teologi atau ideologi belaka melainkan kesadaran atas kompleksitas dari problematika hari ini.
Dua analisa inilah yang mampu memberi tawaran praksis sekaligus menjadi jembatan menuju jantung problematika secara obyektif. Tanpa kesadaran mode produksi kapital berbasis privatisasi dan akumulasi yang abai atas residunya untuk alam dan pekerja, dan tanpa gerakan solidaritas rakyat secara konsisten menuntut kebijakan yang berkelanjutan, maka masa depan anak-cucu hanya akan dibebani dosa yang sebenarnya bukan perbuatan mereka.
Namun sebelum mengupayakan atas agenda alternatif tersebut kiranya perlu memahami catatan Chantal Mouffe menyoal prakondisi yang harus dijadikan konsensus kesadaran: berhenti kompromi dengan agen destruktif agenda kapital yang inheren bertabrakan degan visi ekologis. Selanjutnya, memperluas kanal “kerakyatan” yang berarti menangguhkan jugdement atas heterogennya ekspresi politik lapisan akar rumput (Mouffe, 2020). Dalam konteks ini term Islam politik yang organik menjadi relevan.
Namun sayangnya terdapat tantangan dalam upaya akselerasi wacana alternatif di Indonesia. Di satu sisi kadung distigma dan diasosiasikan dengan komunisme, yang disamakan dengan hantu menakutkan dan terus direproduksi. Di lain sisi gerakan sulit menemukan momentum sebab dalam tataran akar rumput kadung dihegemoni wacana pragmatis kaum reaksioner kanan dan liberal. Sehingga aspirasi kerakyatan justru melegitimasi status quo atau dipreteli hanya sebatas panggilan individual (Hadiz, 2022).
Memang dari sekian alternatif yang diajukan kiranya lebih sulit mengimplementasikan daripada hanya sekedar memahaminya. Hanya saja alternatif ini adalah upaya yang lebih memadai kepentingan hari ini berikut kelanjutan kehidupan mendatang. Di sisi lain sejauh mana para intelektual kita memahami dan mengakomodasi tuntutan ini, disaat itulah klaim islam sebagai agama rahmatan lil alamin sedang diuji.