Islamsantun.org – Saat ini kita sedang memasuki bulan Ramadan. Bulan yang disepakati oleh banyak orang, meski tidak melalui musyawarah tingkat Desa, sebagai bulan penuh berkah dan penuh ampunan. Di bulan yang mulia ini, Allah akan memberikan pahala berlipat ganda bagi orang yang menjalankan ibadah. Begitu pun, Allah akan mengganjar dosa berlipat ganda bagi yang melakukan maksiat.
Bulan Ramadan menurut saya, bukan hanya tentang nikmatnya minum es degan saat berbuka, sholat tarawih cepat, atau sahur tergesa-gesa di ujung waktu, tapi bulan Ramadan juga tentang berbondong-bondongnya orang-orang memburu diskon. Ya, kita bisa bersepakat bahwa bulan Ramadan, selain identik dengan orang-orang yang bertaubat, juga identik dengan orang-orang mencari diskon.
Ramadan Diskon
Pada bulan Ramadan ini aneka diskon belanja bertebaran. Tawaran diskon tersebar dari toko online hingga offline. Mulai dari produk kosmetik, pakaian hingga makanan. Dan jika ngomongin soal diskon, maka hal ini kita juga akan bicara tentang dunia perbelanjaan, dunia ekonomi, dan sejenisnya.
Dewasa ini, siapa coba orang yang nggak doyan belanja? Saya yakin, mayoritas pembaca tulisan ini adalah orang yang pernah, sering atau bahkan mantan pembelanja ulung. Tak dapat dimungkiri bahwa, manusia membutuhkan yang namanya papan, sandang, dan pangan. Apalagi, di bulan Ramadan menjelang lebaran, keinginan (alih-alih menyebut kebutuhan) manusia akan sandang dan pangannya, meningkat.
Bagi orang yang punya uang banyak, mereka akan dapat dengan mudah memenuhi hasratnya untuk belanja pakaian, makanan, dan barang konsumtif lainnya, semata agar bisa tampil elegan, dan terhormat saat hari raya Idul Fitri tiba. Tapi, bagaimana dengan kondisi orang yang ekonominya pas-pasan? Tentu, orang yang masuk kategori ini akan melakukan perhitungan demi perhitungan ketika akan belanja atau memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan berburu diskon adalah jalan ninja yang mereka tempuh.
Orang dengan kondisi ekonomi “wah” saja kadang masih suka berburu barang diskon, apalagi orang dengan kondisi ekonomi yang “lemah”. Dengan adanya diskon, promo atau sejenisnya, hal itu akan mendorong orang-orang untuk lebih aktif berbelanja. Apalagi menjelang lebaran. Hampir dipastikan, setiap sudut pusat perbelanjaan akan dipenuhi oleh lautan manusia yang ingin membeli bahkan memborong barang seperti baju, celana, cemilan, hingga makanan.
Bersumber dari Keinginan
Fenomena memburu produk diskon di pusat perbelanjaan, agaknya menjadi hal wajar menjelang hari raya Idul Fitri saban tahun. Prinsip “irit tapi puas” mungkin jadi alasan banyak orang berburu barang diskon. Mereka tak peduli ketika harus antre berjam-jam, berdesak-desakan di mall misalnya, asal dapat barang yang mereka inginkan dengan harga promo atau diskon, mereka puas.
Berburu barang promo, atau diskon menjelang lebaran memang hal yang wajar dan masuk akal. Tapi bagaimana jika jatuhnya adalah berlebih-lebihan. Membeli barang (misal baju lebaran) satu atau dua kali lewat sistem diskon, tentu masih normal. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang rela menghabiskan duitnya hanya untuk membeli pakaian lebaran? Padahal di rumah masih banyak pakaian yang masih dalam kondisi bagus, dan akan tetap kelihatan baju baru saat dipakai di hari raya.
Adanya keinginan untuk membeli suatu produk yang berlebihan merupakan awal munculnya perilaku konsumtif. Individu akan secara terus menerus membeli barang hanya berdasarkan apa yang mereka inginkan, bukan berdasarkan apa yang dibutuhkan. Faktor keinginan tersebut dapat dilihat dari masyarakat yang kemudian membeli sesuatu hanya untuk menaikkan prestise, gengsi dan alasan lainnya.
Apalagi barang-barang yang diinginkan bisa dibeli dengan mudah yakni lewat metode online. Tanpa harus keluar rumah, barang yang diinginkan bisa kita dapatkan. Tentu, karena mudahnya berbelanja di zaman sekarang ini, menjadikan jiwa konsumtifnya seseorang semakin liar, makin menjadi-jadi. Disinilah kita harus tahu batas. Mana barang yang menjadi kebutuhan,dan harus tahu mana yang sekiranya itu hanya sebuah keinginan. Jangan sampai gaya hidup konsumtif menguasai kita.
Lalu, Apalagi?
Dalam Islam, segala yang dilakukan oleh umat manusia diatur dan dimanfaatkan atas dasar kesejahteraan, bukan berlebih-lebihan walaupun memiliki pendapatan yang banyak, walaupun rumahnya bertingkat-tingkat, walaupun mobilnya berderet-deret.
Berkaitan dengan budaya konsumerisme, bahwa Islam sangat tidak menganjurkan, sebagaimana diatur dalam Al Qur’an Surah Al A’raf ayat 31, yang artinya “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”
Kemudian dalam surat al-Isra’ Ayat 26 dan 27 yang artinya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Ayat ini secara tegas menyamakan sifat orang yang suka menghambur-hamburkan harta secara boros dengan setan atau iblis, sebab keduanya sama-sama memiliki dampak yang negatif. Orang yang boros akan menyia-nyiakan hartanya dengan hal yang tidak bermanfaat.
Oleh karena itu, mari kita pergunakan harta yang kita miliki dengan baik. Jauhi pola hidup konsumtif. Jika tidak butuh-butuh banget, nggak usah dibeli, apalagi jika di kemudian hari kita tidak bisa menggunakan barang itu sebagaimana mestinya. Beli barang atau produk yang sesuai kebutuhan kita saja. Menaikkan gengsi atau pamor boleh, tapi sewajar-wajarnya saja, nggak usah terlalu berlebihan. Daripada uangnya buat beli barang atau produk yang sebenarnya tidak kita butuhkan, mending uangnya ditabung buat modal nikah.
*Khairul Anwar, Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UIN K.H Abdurahman Wahid Pekalongan