Beberapa hari yang lalu, saya selesai membaca buku karya Asghar Ali Engineer terbitan Pustaka Pelajar (2004) dengan judul Islam Masa Kini. Buku tersebut secara judul begitu menarik perhatian bagi saya, terutama karena frasa ‘masa kini’, yang mana oleh Asghar diyakini sebagai sebenar-benarnya perspektif terkait posisi dan kondisi Islam zaman sekarang.
Tidak banyak alasan yang melatarbelakangi saya untuk membuka lembaran demi lembaran buku ini selain memang karena Asghar Ali Engineer adalah seorang feminis, dan kebetulan saya adalah salah satu penyuka literatur-literatur terkait feminisme. Berikut ini adalah catatan saya setelah membaca buku Islam Masa Kini.
Berkeyakinan dalam Islam
Sewaktu kecil dulu saya pernah merasakan bangku TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) di sebuah lingkungan yang tenang bersama kawan-kawan yang dipandu oleh seorang ustadz. Ustadz saya mengatakan: iman adalah sesuatu yang kamu yakini dalam hati, sesuatu yang kamu ucapkan lewat mulut, dan sesuatu yang kamu implementasikan lewat perbuatan.
Kini, saya sedikit demi sedikit memahami apa yang beliau utarakan walaupun beliau tidak menjelaskan artinya secara keseluruhan. Bahwa iman adalah kepercayaan yang dibangun untuk menumbuhkan sisi spiritual manusia. Iman dibutuhkan untuk menganalisa segala realitas yang ada. Lebih dari itu, iman digunakan untuk bertindak di atas keyakinan yang dimilikinya sebelum beranjak untuk berkorban demi banyak hal.
Keyakinan terdalam yang dimiliki oleh manusia ini hendaknya digunakan untuk merekonstruksi pemikiran yang mulai melenceng dari tujuan seharusnya, perubahan ke arah yang lebih baik dan melawan kemunkaran yang terjadi di atas muka bumi. Keyakinan yang mendalam juga akan melahirkan sebuah aksi nyata yang disokong oleh tindakan optimisme, percaya diri dan skeptisisme bukanlah pilihan.
Mempercayai dan meyakini segala sesuatu dalam agama Islam tentu tidak bisa dipersempit dalam enam hal yang biasa disebutkan dalam pelajaran agama ketika Sekolah Dasar.
Perihal iman juga seyogyanya merujuk pada tataran sensitivitas individu yang lahir ketika melihat saudaranya tertindas. Lantas, dia pantas disebut seorang mukmin sejati karena Islam adalah agama pembebasan. Islam memandang semua manusia sama derajatnya. Maka, kemudian kita pernah mendengar cerita bahwa Nabi Muhammad membebaskan Bilal dari rantai perbudakan, karena Islam memandang semua mukmin adalah sama, tidak ada yang membedakan di antara mereka. Itulah, contoh aksi nyata dalam meyakini ‘sebuah keyakinan’ dalam Islam.
Rukun iman ada enam adalah sewajib-wajibnya wujud yang harus kita pahami dalam kondisi yang sadar. Namun, realita telah mengatakan bahwa tanpa landasan keimanan yang kuat, enam rukun iman yang telah turun temurun dihafalkan ini bisa menjadi buyar ketika kita hanya sekedar menghafalnya dalam bait kalimat tidak benar-benar memahami maknanya.
Sebuah Sikap Islami
Takbir! Takbir! Takbir!
Beberapa kesempatan di tahun 2019, sebagai mahasiswa yang kuliah di Kota Solo saya menemukan momen yang menggelitik sisi keingintahuan saya. Salah satunya adalah pekik takbir yang digaungkan oleh sekelompok orang di jalan-jalan yang mengatasnamakan agama Islam dan tujuan mereka untuk ‘memerangi’ kaum-kaum yang mereka pandang kafir.
Ini sungguh menarik perhatian, tatkala saya sebagai masyarakat awam hanya mengucapkan kalimat sakral tersebut ketika melaksanakan ibadah shalat. Pun dalam satu waktu, saya tidak serta merta merasa tidak Islami, justru bagi saya pekik takbir yang mereka teriakkan dengan cukup emosional dan kerap kali cukup kasar dengan diselingi kalimat-kalimat provokatif. Saya meyakini bahwa pernyataan yang cenderung emosional tersebut adalah tindakan yang tidak Islami.
Dalam buku Islam Masa Kini dijelaskan bahwa pemaknaan agama hari-hari terakhir dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama, menganggap bahwa agama sebagai seperangkat ritual, dogma dan institusi sedangkan kategori kedua menganggap bahwa agama sebagai sebuah sistem, pemikiran dan nilai. Asghar Ali Engineer menyebut masyarakat awam cenderung lekat dengan ritual-ritual, dogma serta institusi. Bagi siapa saja yang tidak menjalankan ritual tersebut adalah seorang kafir yang mendapat hukuman. Dan tugas seorang intelektual adalah mennerjemahkan makna dogma yang ada sehingga menjadi sebuah nilai dan pemikiran. Singkatnya, tidak mencoba untuk mempersempit hal pada satu makna, tapi satu makna itu dapat diterapkan dan diimplementasikan dalam banyak lini.
Semua Manusia Sama Derajatnya dalam Islam
Apa yang terjadi dengan masyarakat Quraish pada zaman pra-Islam? Terkhusus lagi apa yang terjadi pada perempuan. Perempuan dilarang untuk berpartisipasi dalam segala sendi kehidupan, kecuali untuk urusan pribadi, dapur dan ranjang. Setiap kali seorang anak perempuan lahir, maka bayi perempuan tersebut harus dibunuh, atau dikubur hidup-hidup. Bahkan, dianggap sebagai aib. Sungguh, perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Perlakuan tersebut begitu lekat dengan budaya patriarki yang begitu mendewakan kaum lelaki.
Ayat mana dalam Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai subordinatnya perempuan dalam Islam? Tidak ada satupun ayat yang memandang perempuan sebagai konco wingking, kecuali mereka yang memandang ayat Al-Qur’an sebagai subjektivitas atas nafsu pribadi, bukan untuk menafsirkan dalam bingkai intelektual yang menjunjung tinggi martabat manusia.
Sebuah polemi yang mendiskreditkan perempuan untuk tunduk pada kultur patriarki disebutkan pada Surat An-Nisa’ ayat 34, dan mengabaikan begitu banyak surah yang menjunjung harkat martabat perempuan bahwa kesetaraan adalah bukti nyata. Mereka ada pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 228, Surah At-Taubah ayat 71, Surah Al-Ahzab ayat ke 35 dan masih banyak lainnya. Surah At-Taubah ayat 71 misalnya, menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya dilukiskan sebagai teman tapi juga dibebani tanggung jawab yang sama dalam menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran, menjalankan salat dan membayar zakat.
Islam itu Mengasihi
Jadi, setelah Islam datang dan disyiarkan oleh Nabi Muhammad SAW, Nabi mencoba untuk merekonstruksi dogma yang ada dalam masyarakat Quraish. Dengan menyiarkan agama tanpa kekerasan, mencoba untuk membawa nilai-nilai keislaman dalam setiap perkataan dan perbuatan. Nabi Muhammad SAW juga menghilangkan kultur perbudakan. Islam sangat menghargai kesetaraan, dan membebaskan kaumnya untuk bertingkah laku terpuji bahkan dalam keadaan yang orang awam memaknai sebagai tindakan yang kejipun, beliau tidak marah dan tetap berlaku sabar. Nilai-nilai keislaman tersebut, yang luput dari perhatian kita sebagai umat yang jauh dari kata sempurna.