Islamsantun.org. Pagi kemarin (Senin, 4 Juli 2022), ketika saya masuk kantor, terlihat di meja sebuah buku bersampul warna putih dengan tulisan judul warna dominan biru. Langsung muncul di benak penilaian reflek tentang perwajahan buku itu secara umum: bagus. Putih dan biru. Dua-duanya saya suka. Layouting, perwajahan, komposisi tulisan, jenis dan ukuran font; semua bagus. Saya suka. Pujian ini tulus, bukan lantaran saya mendapatkan bukunya secara gratis.
Judul utamanya: DARI CARBELLA KE CANBERRA. Anak judulnya: Geliat Akademik, Jaringan Intelektual, dan Wacana Keagamaan di Panggung Internasional. Penulisnya dua dosen muda kaya talenta, sarat pengalaman, luas wawasan, mumpuni keilmuan, dan mapan pengetahuan. Gus Wildani Hefni dari UIN KHAS Jember dan Gus Rizqa Ahmadi dari UIN SATU Tulungagung. Pada 2019, mereka berdua mendapat beasiswa Program Partnership in Islamic Education Scheme (PIES) yang diberikan Pemerintah Australia bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kemenag RI.
PIES adalah pendidikan tingkat doktoral di Australian National University (ANU) Canberra. Dosen-dosen di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) umumnya tahu tentang program beasiswa PIES ini yang oleh Pemerintah Australia memang diperuntukkan bagi dosen-dosen PTKI. Tapi sedikit sekali dari mereka yang lolos dalam seleksi untuk mendapatkannya.
Gus Wildani dan Gus Rizqa adalah dua dari mereka yang jumlahnya tidak banyak itu. Di luar beasiswa PIES pun, saya kira tidak keliru kalau dikatakan bahwa berkesempatan ke Australia merupakan: “It’s my dream…” bagi siapa pun. Antara lain dalam kerangka ini kita dapat memahami mengapa Gus Wildani dan Gus Rizqa terdorong ”mengabadikan” jejak-jejak akademik-sosial-keagamaan mereka selama di Negeri Kanguru dalam sebuah buku.
Namun demikian, buku ini lebih dari sekadar “rekaman” perjalanan, bukan cuma catatan pengalaman berada di negeri orang. Buku ini jauh dari keinginan untuk berkata pada kita: ”Ini loh kami baru pulang dari Australia…!” Meski dikemas dalam gaya-bahasa yang ringan dan sederhana sebagaimana diakui para penulisnya, buku ini memiliki racikan makna akademik yang kental serta menawarkan sajian wacana intelektual yang cukup kentara. Seperti apa gambaran umum tentang buku ini, saya sarikan endorse dari tidak kurang lima orang beken wal keren dalam belantika keilmuan-keislaman baik di Tanah Air maupun Australia.
Gus Nadir (Nadirsyah Hosen), Pengajar di Monash University Australia, dan Rais Syuriah PCINU Australia-New Zealand mengakui bahwa “buku ini menghadirkan ekspresi keberhasilan menjalani tirakat kehidupan akademik di Ibu Kota Australia, Canberra. Inspiring.” Gus Adib (HM Adib Abdushomad, M.Ag, M.Ed, Ph.D (Mantan Ketua Masyarakat Islam Australia, Mantan Katib Syuriah PCINU Australia-New Zealand, Kasubdit Pengembangan Akademik Diktis Kementerian Agama) memastian bahwa “buku ini sangat penting tidak saja sebagai ‘rekam jejak’ personalitas para penerima beasiswa PIES di kampus Australian National University (ANU), tapi juga menjadi guideline bagi siapa saja yang akan melanjutkan studi di Australia, khususnya di Canberra.” Prof. Akh. Muzaki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.d (Rektor dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya) memuji Gus Wildan dan Gus Rizqa sebagai “mirip dengan ilmuwan kenamaan lain. Sebut saja Ibnu Batutah. Buku ini menjadi contoh yang baik untuk ditiru oleh mereka yang menjunjung tinggi ilmu dan inetelektualisme.”
Sementara itu, Emeritus Professor Virginia Hooker AM FAHA (Department of Political and Social Change, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, ANU College of Asia and the Pacific) memberi testimoni bahwa “buku yang ditulis oleh dua akademisi muda dan berbakat ini lebih dari sekadar catatan perjalanan akademik dan itulah yang membuat buku ini sangat berharga dan menarik. Buku ini menggambarkan dengan baik interaksi kami dengan dua akademisi asal Indoensia itu. Kami saling bertanya tentang topik yang kami minati. Mereka adalah partner bagi kami dalam membangun kolaborasi akademik. Buku ini menjadi bukti otentik bagaimana kami bersinergi dan menjalin komunikasi.”
Sedangkan Emeritus Professor Greg Fealy dan Dr. Sally White (Department of Political and Social Change, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, ANU College of Asia and the Pacific) memberi pengakuan bahwa “buku ini ditulis dengan semangat dan kepedulian untuk mengungkap persamaan dan perbedaan antara Australia dan Indonesia dalam konteks akademik. Penulis buku ini memupuk semangat untuk mendorong pertukaran informasi dan analisis yang jujur sekaligus bermakna antara Indonesia dan Australia. Kami merekomendasikan kepada publik untuk membaca buku ini.”
Selain memberi testimoni, Emeritus Professor Virginia Hooker juga memberi Prolog untuk buku ini. Sedang Emeritus Professor Greg Fealy dan Dr. Sally White menulis Introduction. Prolog dan Introduction ditulis dalam bahasa Inggris.
Kemudian Abad Badruzaman (dosen biasa-biasa saja UIN SATU, maniak Facebook dan Instagram) secara umum melihat buku ini berhasil dengan apik menggambarkan bagaimana dua pelajar Muslim Indonesia “berdecak kagum” akan kemajuan sebuah negara-benua yang bertetangga dengan kita. Kemajuan yang mereka kagumi tentu saja terutama dalam bidang akademik. Mereka mengakui bahwa mereka menemukan surga akademik di Australia. Saya menambahkan, Australia merupakan salah-satu negara yang menjadikan ilmu-pengetahuan sebagai panglima pembangunan. Kemajuan yang dicapainya antara karena itu. Semoga saya tidak keliru dengan pernyataan ini.
Pergulatan Islam di Australia juga digambarkan dengan cukup jeli. Lima tulisan menopang penggambaran seperti apa pergulatan Islam di Australia saat ini. Islam dan kajian Islam di masyarakat akademik Australia dipetakan lewat dua tulisan: “Geliat Islam di Canberra: Aktivitas Kehidupan Keagamaan”, dan “Fikih Minoritas dalam Kontestasi Budaya Australia.” Jika bagian awal buku ini lebih menggambarkan “kekaguman”, maka bagian menjelang akhir saya lihat lebih mengekspesikan “kekhawatiran dan kecemasan”. Ekpresi itu terlihat pada judul Bagian IV: ISLAMOFOBIA DAN KECEMASAN BUDAYA DI AUSTRALIA.
Bagian akhir (Bagian V) secara tematik merupakan pavorit saya: PROMOSI ISLAM WASATIYAH DI PANGGUNG INTERNASIONAL. “Sayangnya” tiga tulisan yang menjadi penopang bagian ini belum sepenuhnya menunjukkan upaya promosi yang memadai. “Memperkenalkan Intelektualisme Wasathiyah”, “Menjadi Khatib Idul Adha”, dan “Mengisi Kajian Keagamaan di KBRI Australia”, terasa belum mencukupi bagi sebuah promosi untuk sebuah proyek besar nan luhur: Islam Wasatiyah. Tapi, harap diingat, keberadaan Gus Wildani dan Gus Rizqa selama beberapa waktu di Negeri Kanguru memang bukan untuk secara khusus mempromosikan kewasatiyahan Islam. Mereka berdua berada di sana terutama untuk mengikuti Program Partnership in Islamic Education Scheme (PIES). Artinya, kalau di sela-sela Program itu mereka menyempatkan diri mempromosikan kewasathiyahan Islam, maka itu justru merupakan “nilai lebih” mereka yang layak mendapat apresiasi yang sepantasnya.
Di luar ranah akademik, secara politik kawasan, Indonesia-Australia terjalin hubungan bilateral yang bisa dibilang erat. Bahwa sesekali kita mendengar adanya “ketegangan” antara keduanya, saya pikir wajar belaka dalam sebuah hubungan antara dua negara, terlebih jika mereka bertetangga. Di mata Australia, Indonesia adalah mitra strategis yang keberadaannya tidak mungkin diabaikan, tidak akan dipandang sebelah mata. Salah-satu indikator akan hal itu, Anthony Albanese PM Australia saat ini, menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan kunjungan bilateral pertama setelah ia dilantik jadi Perdana Menteri.
Mungkin ada yang bertanya, “Carbella itu di mana sih?” Itu “rekaan” para penulis dari kata Karbela. Karbela sendiri singkatan dari Karet Belakang. Sebelum Gus Wildani dan Gus Rizqa berangkat ke Oz, mereka dikursuskan bahasa Inggris terlebih dulu di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan. Nah, selama kursus itu mereka nge-kos di Jalan Karet Belakang atawa Karbela. Karbela kemudian “disandingkan” dengan Canberra. Supaya “kompak” huruf awalnya, dan (mungkin) terutama demi mendongkrak daya tarik buku, Karbela kemudian “dipaksa” jadi Carbella…