Tilas-tilas perkembangan Islam, terutama di tlatah nusantara, dapat dipindai melalui perkelut-melutan kosakata keislaman di dalam Bahasa Indonesia. Misalnya taufiq, hidayat, berkah, manfaat, akibat, mudharat, selamat, sehat, dan berpatah kata lainnya. Sayangnya, meski kerap membanjiri ruang wicara, sebagian besar kosakata keislaman itu ternyata seringkali melentur dan melaur. Bahkan kosakata tertentu acapkali dilafalkan oleh banyak orang untuk melisankan perkara kabur. Sebagai teks, kata-kata itu kerap meranap karena ditinggal oleh sang konteks. Sehingga pemahaman atasnya, tulis M Quraish Shihab dalam buku ini, tidak mampu menukik sampai ke dalam lubuk kata (hlm. xxiii).
Dari ustaz sampai hijrah
Ustaz termasuk satu di antara berjuntai kosakata keislaman yang kering makna. Seseorang yang gemar berbusana arabis dan terampil berpetuah di tengah-tengah masyarakat seringkali dipanggil ustaz. Padahal makna ustaz tidak sekaprah itu. Shihab mengabarkan bahwa ustaz berasal dari kata ustad dalam Bahasa Persia. Ustad artinya seseorang yang sudi menularkan kemampuannya dalam satu bidang ilmu, seni, dan karya kepada orang lain. Bahasa Arab kemudian menyerapnya menjadi ustaz. Dalam tradisi keilmuan di Timur Tengah, ustaz tidak boleh asal dirapal. Ia khusus disematkan sebagai panggilan untuk guru besar atau profesor di sebuah perguruan tinggi (hlm. 274).
Ustaz terkadang malah dianggap sesusur-galur dengan ulama. Padahal, makna asal keduanya tidak pernah bersekamar. Ulama merupakan kata berbentuk plural dari ‘alim, yang berarti ahli ilmu-ilmu keislaman. Al-Quran memuat kata ini sebanyak dua kali dalam dua ayat berlainan tempat. Berdasarkan dua dalil itu, Shihab mengatakan bahwa seorang ulama tidak mesti harus ahli ilmu-ilmu keislaman. Pakar sains, empu ilmu sosial-humaniora, dan maestro seni atau ilmu-ilmu lainnya juga bisa disebut ulama. Hanya saja, mereka akan dicatat sebagai sebenar-benar ulama atau pewaris para nabi bila mereka sanggup menggebuk pagebluk kemasyarakatan.
Insya Allah juga ada dalam daftar kata lumpuh makna yang dibidik oleh pengarang Tafsir Al-Mishbah ini. Telah mafhum bahwa kata ini di Indonesia acap dituding sebagai agen perjalanan ke alam kekaburan, dan ketidakpastian. Makna awal insya Allah adalah; bila Allah berkehendak. Insya Allah di lidah seseorang mengandung isyarat perihal kemantapan si pemilik lidah untuk menepati dan menetapi suatu perbuatan. Meski demikian, haram baginya untuk menjumawa atau menjamin kemutlakan keterjadian perbuatan itu seturut kedaifannya di hadapan kehendak Tuhan (hlm. 65). Jadi, insya Allah merupakan kata keramat pemuat optimisme sekaligus kerendah-hatian.
Ada satu kata religius yang masyhur di ruang publik masyarakat Indonesia hari ini, namun masih terdengar ganjil di telinga khalayak luas, yaitu hijrah. Belakangan, kata ini kerap mengeriap dalam gerakan religius-politis anak-anak muda muslim perkotaan. Sebanjar dengan popularitas ustadz-ustadz youtube dan para selebritis milenial perindu Tuhan. Hijrah, dalam uraian Shihab, berarti meninggalkan keburukan sambil mengikatkan diri pada kebaikan. Pada masa awal Islam, hijrah dilakoni untuk mengamankan iman, bukan bergagah-wajah dengan hukum halal-haram. Oleh karena itu, hijrah terkait dengan jihad atau perjuangan mencongkel dorongan buruk dari dalam diri sambil mendongkel niat untuk menggali kealpaan sang liyan (hlm. 374).
Elan gigit
Masih ada berjuntai kosakata keagamaan lain yang diwedar Shihab di buku ini dengan kalimat renyah sepanjang dua hingga empat halaman. Ada syariah, mazhab, fatwa, sakinah, mawaddah, taufiq, muballigh, munafik, kafir, takbir, ummat, ta’aruf, adil, berkah, dan lainnya. Tercatat ada 139 kosakata keagamaan yang terberai ke dalam tujuh bab; Seputar Akidah dan Kepercayaan (1-36); Seputar Zikir dan Doa (38-95); Seputar Ibadah (98-150); Seputar Pencerahan Kalbu (152-187); Seputar Perkawinan (190-228); Seputar Nama dan Gelar (230-297); dan Aneka Istilah Keagamaan Lain (300-492).
Sayangnya, buku ini hanya bertawaf di ruang bedah linguistik positivistik semata. Shihab nyaris tidak menetra setiap kata dari matra analisis relasi bahasa dan (ke)kuasa(an). Kata kafir dan munafik yang dibabar-singkat cuma dalam tujuh halaman (hlm. 236-242), seharusnya bisa diperpanjang. Bukankah dua kata yang belakangan melambari tindak tutur masyarakat religius-politis di Indonesia ini menghajatkan penjelasan lebih kritis dan dalam? Pemahaman pembaca tentu akan termakmurkan bila Shihab juga menyidik kuasa rezim sosial-politik berikut tertib pengetahuan (episteme) yang meranahinya. Telah jamak diketahui bahwa sepanjang sejarah hingga hari ini, kedua kosakata itu sangat ringan ditudingkan demi penunaian maksud satu golongan.
Selain itu, Shihab tidak mencantumkan daftar pustaka di buku yang mengingatkan pembaca pada Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta; Paramadina, 2002) karya M. Dawam Rahardjo, ini. Padahal tidak jarang ia melansir karya-karya berderajat dan pendapat para pakar kajian keislaman bertaraf. Semoga kelalaian ini bukan didasari oleh keinginan Shihab untuk membincangkan topik pelik dengan dengan kalimat bajik. Secara keseluruhan, tentu saja buku ini tidak bisa begitu saja dipinggirkan. Setidaknya elan gigitnya bisa disumbangkan untuk menguatkan kebijaksanaan dalam ber(bahasa)agama.
Identitas Buku
Judul Buku : Kosakata Keagamaan: Makna dan Penggunaannya
Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati
Cetakan : Pertama, Februari 2020
Tebal : 520 halaman
ISBN : 978-623-7713-04-3
Harga : Rp. 175.000,-