Alhamdulillah. Tiap tahunnya selalu saja ada lebih dari satu teman menghadiahi saya buku. Baik teman yang saling-kenal secara luring, maupun teman yang kenal-baik secara daring. Semua teman baik; buktinya mereka sudi memberi saya buku secara gratis, bahkan tanpa saya minta. Beberapa di antaranya saya ulas sekadarnya di Fb ini, satu-dua lainnya belum (tidak) sempat saya ulas. Maapkanlah…
Buku terbaru pemberian teman berjudul: Orkestrasi Hadis Sufi: Resepsi Profetik Jemaah Tarekat Shiddiqiyah dan Sholawat Wahidiyah di Indonesia. Yang memberi: Gus Rizqa Ahmadi. Junior saya di Fakultas Ushuluddin tapi senior saya di bidang perbukuan, perjurnalan, penelitian, dan kecintaan pada ilmu-pengetahuan.
Buku dibuka dengan sebuah “ketegasan” bahwa hadis dan tasawuf bukan dua ranah kajian maupun dua disiplin ilmu yang terpisah dan saling memunggungi. Memilah dan mempertentangkan keduanya merupakan sesuatu yang ahistoris. Buktinya, banyak ahli hadis menjalin relasi baik dengan kaum sufi. Bahkan tidak sedikit periwayat hadis adalah para sufi, pun cukup banyak sufi memiliki konsen yang memadai terhadap hadis dalam sejumlah karya mereka.
Benar, ada yang memandang “sinis” terhadap tasawuf dan menilainya melenceng dari Islam “murni”. Terlepas bahwa yang memandang demikian “tidak seberapa” dari sisi jumlah, di ranah ilmiah “menyingkirkan” tasawuf dari kajian hadis, atau “mengusir” hadis dari kajian tasawuf, sungguh merupakan tindakan gegabah yang bukan hanya ahistoris melainkan juga tidak terpuji secara akademik.
Seperti al-Quran, hadis merupakan teks terbuka. Siapa pun dapat mendatanginya; menyapa, berdialog, bertanya, dan mengambil sari-pati, pesan atau pun jawaban atas pertanyaan yang diajukannya. Mereka yang datang, tidak mungkin berasal hanya dari satu golongan atau satu ragam pemahaman atau satu kecenderungan model keberagamaan. Mereka, dengan segala keragaman dan keberbagaiannya, memiliki kesempatan serta hak yang sama untuk mendapatkan apa yang mereka cari. Di antara mereka yang memanfaatkan keterbukaan hadis itu adalah orang-orang yang cederung pada tasawuf. Mereka yang disebut terakhir ini pun datang, menyapa, dan mengambil dari hadis apa yang mereka inginkan tentang kecenderungan mereka. Tidak boleh ada klaim monopoli hadis hanya untuk golongan tertentu.
Maka itu, tidak heran jika membuka literatur tasawuf, akan ditemukan dengan cukup mudah kutipan-kutipan hadis yang dianggap relevan dengan nilai-nilai tasawuf yang dikembangkan dan dikukuhkan dalam literatur tersebut. Terlepas dari kualitas beberapa hadis yang dirujuk, keberadaan sejumlah hadis dalam literatur tasawuf memberi pesan kuat bahwa menempatkan tasawuf di sebuah lembah yang jauh dari hadis merupakan tindakan serampangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin para pelaku tasawuf sejak awal mengaku diri mempraktikkan satu ekspresi keberagamaan di luar “kendali” hadis yang disepakati ummat sebagai sumber kedua ajaran Islam.
Dalam perjalanannya, Islam menyebar ke mana-mana. Dalam perkembangannya pula, banyak dari ekspresi keberislaman menjadi bercorak lokal di mana Islam tersebar dan diekspresikan. Ini bukan tentang “inti” Islam. Ini soal corak keberislaman yang dalam banyak “fitur”-nya sulit menghindar dari warna-warna lokal. Ini berlaku pula di ranah tasawuf. Inti ajarannya “mapan” dan pasti. Tapi di tingkat ekspresi dan pengamalan, warna-warna lokal cukup mudah ditemukan. Tidak untuk dihakimi, seharusnya. Melainkan dipahami serta diteliti seluk-beluk dan sejarah perkembangannya.
Buku karya Gus Rizqa ini; Orkestrasi Hadis Sufi, dengan lugas menjelaskan rancang-bangun bagaimana teks keagaman (hadis) diresepsi oleh jemaah Tarekat Shiddiqiyah dan Sholawat Wahidiyah. Kemudian dengan kepiawaiannya yang khas, Penulis menunjuk Tarekat Shiddiqiyah dan Sholawat Wahidiyah sebagai dua kelompok sufi yang sangat potensial untuk ditunjuk sebagai kelompok sufi bernuansa lokal.
Setelah itu, Penulis mendiskusikan wacana hadis dalam ruang-ruang tasawuf dan, sebaliknya, wacana tasawuf di bilik-bilik kajian hadis. Diskusi ini menjadi semacam pengantar untuk melihat bagaimana hadis “hidup” (living) di dua komunitas sufi: Jemaah Tarekat Shiddiqiyah dan Sholawat Wahidiyah. Bagi Penulis, hadis-hadis yang “living” di dua komunitas tersebut sekaligus dapat dijadikan potret tentang agama yang hidup. Kajian Living Hadis (dan Living Quran) belakangan memang sedang jadi “primadona” di beberapa Prodi Ilmu Hadis (dan Prodi Ilmu Al-Quran) di sejumlah PTKI.
Masuk dalam diskusi di atas beberapa bahasan antara lain ahli hadis yang sufi dan sufi yang ahli hadis, paradigma intuitif dan epistemologi ‘irfan kaum sufi, hadis-hadis populer di kalangan sufi, takwil sufistik dan validitas hadis perspektif sufi.
Yang menjadi “intinya-inti” buku ini adalah: “Bagaima ragam bentuk atau pola resepsi (respons dan tanggapan) jemaah Tarekat Shiddiqiyyah dan Sholawat Wahidiyah terhadap hadis; bagaimana keberadaan aspek kelisanan (orality) dan keberaksaraan (literacy) dan intertekstualitas di dalam transmisi pemahaman atas hadis; bagaimana model pemahaman mereka dalam mendialogkan antara nilai-nilai di dalam hadis dan tradisi lokal atau situasi sosial (dialektika antara teks dan konteks), serta apa saja motif di balik resepsi tersebut.”
Selamat untuk Gus Rizqa atas terbitnya karya yang luar biasa keren ini.