Islamsanrun.org. Bulan September benar-benar ceria-menceriakan bagi saya. Tidak kurang tiga sahabat menghadiahi saya buku karya mereka. Satu buku (kitab) hadiah dari Gus Awis sudah saya statuskan kemarin (Jum`at, 17 September). Seminggu sebelumnya saya dihadiahi buku oleh Kang Jajang A Rohmana. Persisnya tanggal 10 September saya menerima buku dari Kang Jajang. Judulnya: ”MEMBEKAP HALILINTAR: Polemik Wahdatul Wujud dalam Injaz al-Wa’d fi Ithfa` al-Ra’d”. ”Membekap Halilintar” adalah terjemahan dari ”Ithfa` al-Ra’d”. Tiga hari dari kedatangan buku Kang Jajang, datang pula buku dari Surabaya, berjudul: ”PESANTREN, KIAI, DAN KITAB KUNING”. Yang ini karya Gus Iksan Sahri. Tiga teman, di tiga kota, masing-masing menghadiahi saya buku karya mereka dengan kualitas isi ciamik dan perwajahan jempolan.
Kali ini saya akan sedikit mengulas ”MEMBEKAP HALILINTAR”-nya Kang Jajang. Abaikan dulu kata-kata ”membekap halilintar”. Itu bukan inti buku yang akan kita obrolkan. Di luar ”halilintar” yang ”dibekap” itu, ada tiga hal yang harus diperhatikan: tokoh sentral, karya yang ditulis sang tokoh, dan tema atau topik utama yang dikupas sang tokoh dalam karyanya itu. Yang pertama adalah Haji Hasan Mustopa, yang kedua: Injaz al-Wa’d fi Ithfa al-Ra’d, dan yang ketiga: wahdatul wujud.
Haji Hasan Mustopa (1852-1930) adalah seorang ulama tasawuf yang pernah menjabat sebagai Hoofd Penghulu Kutaraja dan Bandung. Haji Hasan Mustopa lahir di Cikajang, Garut, berasal dari keluarga santri, sejak kecil bersentuhan dengan dunia pesantren. Di rentang usia 10-17 tahun, Hasan Mustopa belajar ke beberapa pesantren. Di antara gurunya: KH. Hasan Basri (Garut), Kiai Muhammad (Garut), Raden Haji Yahya, Kiai Abdul Hasan (Sumedang) Muhammad Idjra`i, dan Kiai Khalil (Bangkalan). Hasan Mustopa tiga kali pergi ke Mekah. Yang pertama di usia 8 tahun, yang kedua di usia 17 dan sempat tinggal di sana antara tiga-empat tahun, dan yang ketiga di usia 27 lalu mukim di sana sekitar lima tahun. Selama di Mekah, Hasan Mustopa berguru pada banyak guru, baik dari kalangan ulama Arab maupun Nusantara.
Tahun 1885 Hasan Mustopa pulang dari Mekah. Ia kembali bertemu dengan Snouck Hurgronje yang sebelumnya sempat pula berjumpa di Mekah. Hasan Mustopa dikenal akrab bukan hanya dengan Snouck, tapi juga dengan beberapa pejabat kolonial seperti GA. Hazeu, van Ronkel, Plenter, Brandes dan lainnya. Tapi memang paling akrab dengan Snouck. Hasan Mustopa menjadi salah satu informan kunci bagi Snouck dalam mendapatkan pengetahuan lokal tentang Islam. Kenyataan bahwa Hasan Mustopa pernah menjadi elite pribumi yang menjabat sebagai Penghulu Kepala di Kutaraja (1893-1895) dan Bandung (1895-1917) tak dapat dilepaskan dari kedekatannya dengan Snouck.
Bersama Snouck, Hasan Mustopa pernah keliling Jawa. Sepulang dari berkeliling, Hasan Mustopa mengaku banyak menyalin berbagai primbon, kitab, dan pusaka dari Jawa. Di antara koleksi itu terdapat teks Syattariyah. Terbuka kemungkinan, tradisi suluk Jawa inilah yang menginspirasi perjalanan spiritual Hasan Mustopa. Kala itu Hasan Mustopa menunjuk dirinya telah melewati tahap puncak pencarian spiritual. Ia mengaku telah kenyang dengan ilmu-ilmu zahir selama di pesantren dan di Mekah. Tapi pencarian yang lebih intensif akan hal-hal yang lebih spiritual itu baru benar-benar terlihat setelah usianya melewati 40. Kala itu ia banyak ”melahap” ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi, al-Jilli, dan al-Burhanfuri, meski ajaran-ajaran al-Ghazali pun tetap dipedomaninya.
O
Pada 29 November 1902 (28 Sya’ban 1320 H) surat kabar Mishbah al-Syarq yang terbit di Mesir memuat sebuah artikel berjudul ”Syakwa al-Muslimin”. Isinya berupa pengaduan seorang tokoh dari Nusantara tentang nasib kaum Muslim di dunia serta bagaimana penjajah Belanda secara strategis memanfaatkan elite pribumi, Haji Hasan Mustopa, dan mengangkatnya menjadi Hoofd Penghulu Bandung. Artikel tidak menyebutkan siapa tokoh Nusantara yang mengadu itu.
Artikel ”Syakwa al-Muslimin” itu kemudian dikirimkan ke Hasan Mustopa disertai surat yang diberi judul: ”al-Radd ‘ala Syaithan Bandung fi Itsbat al-Hayy al-Qayyum”. Surat ini tidak disertai nama pengirim. Tapi, kata Jajang Jahroni dalam Pengantar untuk buku ”MEMBEKAP HALILINTAR”, surat itu diduga kuat ditulis oleh Sayyid ‘Utsman bin ‘Aqil, mufti dan ulama masyhur dari Betawi. Artikel dan surat itu kemudian memantik polemik tentang Haji Hasan Mustopa. Apakah ”penghakiman” atas Haji Hasan Mustopa dalam artikel ”Syakwa al-Muslimin” itu melulu karena ia dianggap menjadi bagian dari strategi kolonial Belanda dengan kesediaannya menjadi Penghulu? Kelihatannya tidak demikian. Citra Haji Hasan Mustopa sebagai seorang yang kontroversial (Sunda: mahiwal) sehingga tidak begitu diterima di tengah masyarakat, sedikit banyak berhubungan dengan ”penghakiman” itu.
Di mana letak ”kemahiwalan” Haji Hasan Mustopa? Ini terkait dengan perjalanan spiritualnya yang telah disinggung di atas. Haji Hasan Mustopa adalah pengikut tarekat Syattariyah dan seorang teosof yang meyakini sufisme bukan hanya jalan menuju kesucian tetapi juga sebagai filsafat kesucian. Pemikiran tasawufnya bercorak wahdatul wujud. Hal itu dapat ditemukan dalam berbagai karyanya. Inilah, menurut saya, yang terutama menjadikan Haji Hasan Mustopa dianggap ”mahiwal”. Ini pula, seperti telah disitir, penyebab utama ”penghakiman” atas pribadi Haji Hasan Mustopa pada artikel ”Syakwa al-Muslimin” dalam surat kabar Mishbah al-Syarq.
Sedikit tentang Sayyid ‘Utsman yang diduga kuat mengirim kepada Haji Hasan Mustopa artikel ”Syakwa al-Muslimin” disertai surat berjudul ”al-Radd ‘ala Syaitan Bandung…” Sebenarnya, baik Sayyid ‘Utsman maupun Haji Hasan Mustopa, keduanya pernah menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Yang disebut pertama pernah menjadi adviseur honorair voor Arabische zaken (penasihat honorer untuk urusan Arab). Sikap akomodatif Sayyid ‘Utsman menjadikannya termasuk orang yang mendapat privilege dari pemerintah Belanda. Ketika Snouck Hurgronje tiba di Hindia Belanda, Sayyid ‘Utsman menawarkan diri membantu tugas-tugas Snouck menyangkut hubungan Belanda dengan umat Islam, khususnya kalangan Arab.
Dari sini jelas pangkal ketidaksukaan Sayyid ‘Utsman pada Haji Hasan Mustopa sehingga menyebutnya ”Setan Bandung.” Sayyid ‘Utsman memang beroposisi terhadap kaum tarekat. Ciri mereka yang beroposisi terhadap tarekat antara lain: pelaksanaan syariat yang ketat, penolakan terhadap segala bentuk praktik keagamaan yang berbau bid’ah dan khurafat, dan keberagamaan yang puritan.
Terhadap ”penghakiman” artikel ”Syakwa al-Muslimin” dan surat berjudul ”al-Radd ‘ala Syaithan Bandung…”, Haji Hasan Mustopa tidak tinggal diam. Ia membela diri dengan sebuah tulisan berjudul: ”Injaz al-Wa’d fi Ithfa` al-Ra’d”. Secara harfiah terjemahannya: ”Pemenuhan Janji dalam Memadamkan Halilintar.” Yang ia maksud ”halilintar” tentu saja tuduhan-tuduhan yang diarahkan padanya, baik dalam artikel ”Syakwa al-Muslimin” maupun dalam surat dari Sayyid ‘Utsman ”al-Radd ‘ala Syaithan Bandung.” Kala itu Haji Hasan Mustopa berusia 50 dan baru lima tahun menjabat Hoofd Penghulu Bandung, sedang Sayyid ‘Utsman sudah berumur 78. Yang satu sedang berada di puncak karir, sedang satunya sudah tua dan telah masuk masa pensiun.
Artikel ”Syakwa al-Muslimin” menuduh Haji Hasan Mustopa melakukan konspirasi politik untuk mengkristenkan Muslim Priangan. Ini sebuah tuduhan tak berdasar. Hasan Mustopa tegas menolak misionaris Belanda yang dipimpin GJ. Grashuis yang berencana menyebarkan agama Kristen kepada orang Islam. Hingga di sini sesuatu layak dicermati, yaitu: alasan penolakan Haji Hasan Mustopa terhadap Kristenisasi adalah bahwa ”tidak dibenarkan mencampuradukkan sebuah keyakinan dengan keyakinan orang lain, sebab hal itu dapat membingungkan masyarakat awam.” Terlihat alasan itu lebih mencerminkan dampak sosial ketimbang teologis. Hasan Mustopa sendiri tidak peduli dengan keyakinan orang yang dinilainya bersifat sangat pribadi. Baginya, hakikat agama terletak pada makna yang dikandungnya, bukan pada bentuk formalnya. Benar dan salah, dalam pandangan Hasan Mustopa, hanyalah persesuaian antara entitas dengan dimensi ruang dan waktu. Bagi kalangan awam, pemikiran model begini memang jelas ”mahiwal”.
Lalu Sayyid ‘Utsman menuduh Haji Hasan Mustopa tidak menghormati syariat. Tuduhan ini juga tidak benar. Meski Hasan Mustopa seorang teosof, ia tetap menekankan pentingnya syariat dalam kehidupan spiritual seseorang. Sembahyang dan puasa, tegas Mustopa, wajib dilaksanakan meski yang bersangkutan belum merasakan kenikmatan spiritualnya. Dalam banyak karyanya, Mustopa sering menceritakan aktivitas kesehariannya yang tidak jauh dari buku, al-Qur`an, wirid, sembahyang dan masjid. Dalam kadar tertentu, orang seperti itu sangat saleh. Hasan Mustopa menegaskan bahwa tasawuf yang dijalaninya didasarkan atas landasan syariat yang diajarkan Nabi Muhammad. Di akhir ”Injaz al-Wa’d…” Mustopa mengatakan bahwa dirinya adalah pengikut sejati Nabi Muhammad bermazhab Syafi’i.
Lalu apa kesimpulan dari polemik antara Sayyid ‘Utsman dan Haji Hasan Mustopa? Saya ikut Kang Jajang Jahroni, bahwa polemik antara keduanya buka semata-mata bersifat doktrinal antara seorang faqih dan seorang sufi. Faktor-faktor lain seperti konflik kepentingan, arogansi intelektual, dan juga kecemburuan, cukup logis untuk ditunjuk sebagai penyulut polemik itu.
O
Tersisa dua hal penting: Pertama: apa itu wahdatul wujud yang menjadi ”core” polemik ”Injaz al-Wa’d…”?, dan kedua: apakah Haji Hasan Mustopa seorang mata-mata atau kolaborator Belanda dengan kesediaannya menjadi Penghulu di Kutaraja, Aceh dan Bandung.
Menurut Ibnu ‘Arabi, terdapat hubungan-keterikatan antara Allah, alam dan manusia. Hubungan itu tidak dapat dipahami kecuali melalui konsep wahdatul wujud. Seperti ini “skema”-nya: Allah tidak semata-mata mengadakan alam kecuali bahwa Dia ingin dilihat “penampakan”-Nya; Dia ingin Diri-Nya dilihat. Alam yang diadakan-Nya merupakan perwujudan dari nama dan sifat-Nya yang berasal dari-Nya. Setelah Allah menciptakan alam yang keberadaan awalnya seperti wujud tanpa ruh, bagaikan cermin kosong, lalu Allah tiupkan padanya dari ruh-Nya sehingga alam siap menerima limpahan-Nya yang suci, ketika itu alam tak lagi wujud tanpa ruh, bukan lagi cermin kosong, melainkan cerminan-Nya. Di antara wujud alam itu, Adam (manusia) adalah pusat dari penampakkan yang ada di cermin. Adam adalah ruh dari wujud alam.
Wahdatul wujud tidak sama dengan panteisme. Ajaran wahdatul wujud sebenarnya penegasan bahwa yang mempunyai wujud hakiki hanya satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan. Wahdatul wujud tidak bersifat panteistik yang menggangap segala sesuatu sebagai Tuhan, tapi tidak juga monoteistik (ketunggalan Tuhan yang transenden, mengatasi dan sepenuhnya berbeda), melainkan monorealistik. Yakni, menegaskan ketunggalan segala yang ada dan mengada.
Itu tentang yang pertama, yakni wahdatul wujud. Adapun persolan yang kedua; apakah Haji Hasan Mustopa seorang mata-mata atau pun kolaborator Belanda, biar Kang Jajang Jahroni dan Kang Jajang Arohmana yang mengupasnya. Mereka berdua adalah sebenar-benar pakar dalam bidang ini. Saya sendiri, sebagai warga USA (Urang Sunda Asli), cukup malu tidak tahu banyak tentang banyak tokoh dari Tatar Sunda, termasuk Haji Hasan Mustopa ini. Lagi-lagi Kang Jajang adalah maestro dalam bidang ini.