Islamsantun.org – Kemarin lusa (Selasa, 13 Desember 2022) dua buku dalam satu amplop pos saya terima. Sehari sebelumnya, Daeng Syamsuddin Baharuddin mengabarkan bahwa beliau sudah pun kirim dua buku untuk saya via layanan pos tercepat. Benar saja, dari Bandung ke Tulungagung hanya butuh satu hari. Yang pertama berjudul Halaman Akhir 1: Percikan Pemikiran Nalar Kritis Religius-Spiritual Islam. Yang kedua berjudul nyaris sama dengan yang pertama: Halaman Akhir 2: Percikan Pemikiran Nalar Kritis Sosial-Politik Islam. Kata “Religius-Spiritual” di Halaman Akhir 1 berganti kata “Sosial-Politik” di Halaman Akhir 2. Tentu saja masing-masing menggambarkan penekanan atawa tarikan napas yang dikandung kedua buku tersebut. Tulisan-tulisan yang ada di Halaman Akhir 1 “dirancang” oleh para editornya berada di bawah “core” nalar kritis religius-spiritual, sedang tulisan-tulisan yang ada di Halaman Akhir 2 merupakan kumpulan tulisan yang diyakini para editornya mengandung nalar kritis sosial-politik.
Sesungguhnya, saya sudah punya buku yang pertama: Halaman Akhir 1 sejak setahun yang lalu. Saya sudah pula memberi ulasan atasnya dan memfesbukkannya pada 28 November 2021 dengan judul: Awal dari “Halaman Akhir.” Siapa suka, silakan di-search saja. Buku Halaman Akhir ini akan menjadi trilogy. Artinya akan ada tiga buku serial yang sama-sama mengusung judul Halaman Akhir: Halaman Akhir 1, Halaman Akhir 2, dan Halaman Akhir 3. Yang pertama sudah terbit tahun lalu (November 2021) dan yang kedua sudah terbit tahun ini (Desember 2022). Kita tunggu Halaman Akhir 3. Mudah-mudahan tahun depan bisa terbit, dan semoga saya (seperti Halaman Akhir 1 dan Halaman Akhir 1) kembali dapat kiriman gratis dari Daeng Syams…hehe.
Pertama-tama, mari kita mengadakan “studi komparasi” antara Halaman Akhir 1 dan Halaman Akhir 2. Seperti pernah saya katakan pada ulasan tentang Halaman Akhir 1, bahwa buku ini sebetulnya sama seperti buku Kang Jalal sebelumnya yang berjudul: “Reformasi Sufistik: ‘Halaman Akhir’ Fikri Yathir” yang cetakan pertamanya terbit tahun 1998. Yaitu sama-sama kumpulan tulisan Kang Jalal di kolom ”Halaman Akhir” pada Majalah Ummat. Di kolom “Halaman Akhir” itu, Kang Jalal menggunakan nama samaran Fikri Yathir. Yang jelas, baik buku yang terbit 1998 yang diterbitkan Pustaka Hidayah itu, maupun yang terbit 2021 (Halaman Akhir 1) dan 2022 (Halaman Akhir 2) yang diterbitkan BERNAS Ilmu Utama ini, sama-sama menampilkan kata “Halaman Akhir” untuk menunjukkan bahwa semua tulisan yang ada di dalamnya berasal dari kolom “Halaman Akhir” pada Majalah Ummat. Hanya saja, Pustaka Hidayah memandang semua tulisan Kang Jalal di kolom tersebut sebagai renungan-renungan sufistik, sedang BERNAS Ilmu Utama melihatnya juga sebagai kritik Kang Jalal dengan gayanya yang khas terhadap wajah kekuasaan yang—seperti kata Kang Asep Salahudin , Rektor IAILM Tasikmalaya—despotik, warna politik yang kotor, paham keagamaan yang jumud, dan perilaku sosial menyimpang lainnya.
Jika Pustaka Hidayah mengemas semua tulisan di kolom “Halaman Akhir” dalam satu buku, BERNAS Ilmu Utama mengemasnya secara serial. Yang sedang saya statuskan ini adalah Seri 2. Wajar jika ia lebih tipis dibanding buku “Reformasi Sufistik” terbitan Pustaka Hidayah, karena setelah Seri 2 ini, seperti telah saya singgung, akan menyusul seri selanjutnya. Dari sisi perwajahan, buku “Halaman Akhir” terbitan BERNAS Ilmu Utama terlihat lebih ”tampan”. Selisih 24 tahun antara “Reformasi Sufistik” dan ”Halaman Akhir” mungkin menjadikan yang disebut terakhir lebih piawai “memoles” wajah.
Untuk diketahui, tulisan-tulisan Kang Jalal di Majalah Ummat itu terbit dalam rentang 1995-1998. Kendati begitu, seperti juga telah saya katakan di ulasan tentang buku Halaman Akhir 1, pemikiran-pemikiran kritis yang dilontarkannya masih pun relevan dengan kehidupan sosial-politik-keagamaan dewasa ini. Bahkan dalam beberapa hal, misal soal kejumudan paham keagamaan, justru kritik Kang Jalal terasa lebih menemukan momentum dan sasarannya.
Sekarang ke Halaman Akhir 1 dan Halaman Akhir 2 yang tadi saya ajak untuk kita komparasikan. Keduanya diambil dari ”Reformasi Sufistik” terbitan Pustaka Hidayah. Hanya saja, seperti telah disitir di awal, Halaman Akhir 1 merupakan kumpulan tulisan yang oleh para editornya diyakini memuat nalar kritis Kang Jalal seputar persoalan religius-spiritual Islam. Sementara Halaman Akhir 2 memuat tulisan-tulisan yang oleh para editornya ditandai sebagai lebih banyak mengusung nalar kritis Kang Jalal seputar persoalan sosial-politik Islam.
Di Halaman Akhir 1, yang memberi Pengantar adalah Ustadz Miftah F. Rakhmat, Prolog oleh Ustadz Kholid Al Walid, dan Epilog dari Kang Asep Salahuddin. Di Halaman Akhir 2, “posisi” Ustadz Miftah bergeser menjadi pemberi Prakata Editor dengan judul: “Tulisan yang Punya ‘Jiwa.’” Lalu siapa yang memberi Pengantar untuk Halaman Akhir 2? Nah ini yang menurut saya Halaman Akhir 2 terasa “lebih istimewa.” Pemberi Pengantarnya adalah K.H. Abdurrahman Wahid yang biasa kita panggil akrab Gus Dur. Presiden RI keempat (1999-2001). Gus Dur menulis langsung Pengantar untuk buku Halaman Akhir 2? Tentu tidak. Pengantar Gus Dur untuk Halaman Akhir 2 berjudul: “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa.” Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Prisma, Nomor Ekstra, 1984, Tahun XIII, halaman 3-9. Penerbit BERNAS Ilmu Utama yang menerbitkan Halaman Akhir 2 meminta izin kepada keluarga Gus Dur untuk memuat kembali tulisan Gus Dur tersebut sebagai Pengantar buku Halaman Akhir 2. Sampai sini saya membayangkan “di sana” Kang Jalal sowan ke Gus Dur memohon izin tulisan Gus Dur tersebut dijadikan Pengantar buku Halaman Akhir 2 karya Kang Jalal. Gus Dur mengabulkan permohonan Kang Jalal seraya tersenyum ringan: “Monggo Kang, silakan! Gitu aja kok repot…”
Setelah saya membaca Pengantar Gus Dur: “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, saya jadi paham mengapa Penerbit BERNAS Ilmu Utama sampai “bela-belain” memohon izin kepada keluarga Gus Dur untuk memuatnya kembali dan menjadikannya Pengantar buku Halaman Akhir 2. Gus Dur lewat “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa” antara lain menegaskan bahwa jika kaum Muslim Indonesia tidak mampu membaca perkembangan kesadaran kenegaraan, maka mereka akan terjerumus pada pandangan yang “terlalu idealistis” tentang hubungan Islam dan negara. Menurut Gus Dur, ajaran Islam—sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warganegara kita—seharusnya diperankan sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lainnya, bukannya sebagai faktor tandingan yang berfungsi disintegratif pada kehidupan bangsa secara keseluruhan.
“Ruh” dari tulisan Gus Dur ini saya lihat secara umum selaras dengan “nafas” Halaman Akhir 2. Sekadar contoh, penegasan Gus bahwa seharusnya Islam diperankan sebagai faktor komplementer dalam bingkai kehidupan bernegara dan berbangsa amat senada dengan tulisan Kang Jalal yang berjudul “Negara Supra-Agama.” Juga sangat sealur dengan tulisan berjudul: “Reformasi Politik Islam.” Dalam “Negara Supra-Agama” antara lain dijelaskan bahwa keadilan adalah esensi ajaran agama. Keadilan adalah juga sifat Tuhan. Ditegaskan pula, untuk memerintah dengan adil, raja (penguasa) harus menjadikan akal sebagai pembimbingnya. Ia tidak boleh membeda-bedakan rakyatnya berdasarkan agama atau keyakinannya. Bila seorang raja (penguasa) sudah mengistimewakan satu golongan—berdasarkan agama, ras, atau aliran—serta meremehkan golongan lain, ia sudah bertindak tidak adil. Yang harus menjadi perhatian raja (penguasa) bukanlah golongan, melainkan kepentingan seluruh bangsa. Tujuan pemerintahan adalah menyejahterakan rakyat, terutama rakyat kecil. Ibadah yang paling utama adalah menolong orang lemah.
Sedang dalam “Reformasi Politik Islam” diterangkan bahwa masih banyak orang Islam yang hatinya terpaut dengan “wadah” Islam tanpa mempersoalkan apa isi wadah itu, dan tanpa menyadari bahwa kepentingan politik dapat dengan mudah mempengaruhi (bahkan memanipulasi) orang-orang Islam dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Dalam politik, program tidak terlalu penting. Program terlalu sulit untuk dicerna dan sukar disederhanakan. Dalam politik nama dan bendera lebih menarik. Semoga Allah merahmati mereka yang dengan tulus mengorbankan dirinya untuk Islam, walaupun untuk namanya saja. Terkutuklah orang-orang yang memanfaatkan keluguan kaum Muslim untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya. Cukup beruntung negeri ini pernah memiliki Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid serta tokoh-tokoh serupa lainnya yang memiliki pandangan bahwa perjuangan Islam harus ditujukan untuk mencapai cita-cita Islam seperti keadilan, kesejahteraan rakyat, dan penghormatan pada kemanusiaan. Para tokoh itu mengerti bahwa dalam platform cita-cita Islam, tidak ada satu kelompok pun yang keberatan, apa pun agamanya. Bukahkah Nabi Saw. memulai perjuangannya dengan mengkritik ketimpangan sosial-ekonomi dan mengakhirinya dengan menundukkan semua warga negara pada pemerintahan hukum?
Terakhir. Abaikan alinea ini. Tidak usah dibaca. Isinya hanya apresiasi untuk buku Halaman Akhir 2 dari seorang Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama UIN SATU Tulungagung. Seperti ini bunyinya: “Kang Jalal ibarat ensiklopedia. Tentang apa kita bertanya, ia siap menjawab. Perkara apa kita cari, ia membantu menunjukkan. Ketidakjelasan yang meliputi nalar, ia urai dengan gaya tutur santai namun mencerahkan. Keremangan yang mengelilingi pemahaman, ia singkap dengan narasi-narasi ringan namun kaya akan paparan logis. Orang menyebut Kang Jalal pakar ilmu komunikasi. Tapi membaca karya-karyanya, tidak terkecuali buku yang sedang Anda baca ini, kiranya Anda tidak akan menyangkal jika saya katakan Kang Jalal, yang menguasai enam bahasa, adalah ilmuan-cendekiawan serba bisa. Tentang apa saja ia bicara, kita akan mendapatkan kejelasan logika, kecermatan melihat duduk-perkara, keindahan rangkaian kata dan kepiawaian mengkontekstualisasikan pesan moral sebuah gagasan.”
Sungguh sebuah kebahagiaan mendapat kehormatan dari Penerbit via Cak Nas untuk memberi apresiasi atas buku Halaman Akhir 2 ini. Meski setelah saya baca ulang, apresiasi ini lebih tepat untuk seluruh tulisan dan pemikiran Kang Jalal, ketimbang secara spesifik untuk buku ini. Tapi tak apa. Apa yang relevan untuk keseluruhan (tulisan dan pemikiran Kang Jalal), mestinya relevan juga untuk sebagian (karya buku Kang Jalal). Dengan hanya membaca buku Halaman Akhir 2 ini saja sampai tuntas, Anda akan sepakat dengan saya bahwa Kang Jalal itu ilmuan-cendekiawan ensiklopedis.
Demikian, dengan ini saya telah menunaikan janji saya di setatus sebelumnya untuk membuat ulasan tentang buku terbaru yang saya punya: Halaman Akhir 2 (Percikan Pemikiran Nalar Kritis Sosial-Politik Islam).