Di status saya sebelumnya: “Keluar dari Cangkang (Bagian-1)” saya berjanji akan mengulas buku terbaru Prof. Mun’im Sirry, Think Outside the Box, secara serial sesuai jumlah bagian (bab) yang ada dalam buku itu, yakni tujuh bagian. Dari bagian pertama saya telah memilih judul: “Tentang Dua Surat yang Hilang”. Sesuai janji saya, dari bagian kedua saya tertarik dengan “Mushaf Ali bin Abi Thalib”.

Seperti pernah saya katakan lebih dari sekali, ulasan saya lebih dekat untuk disebut khulashah ketimbang review. Seumpama mahasiswa mengerjakan tugas resume dari dosennya. Memang, bagi saya Prof. Mun’im lebih pas sebagai dosen ketimbang teman. Kiranya tugas resume yang saya kerjakan ini nantinya dapat nilai A dari beliau..hehe.

Bagi sebagian, bicara soal mushaf Ali bin Abi Thalib dan mushaf-mushaf non-Utsmani lainnya merupakan hal sensitif. Bisa-bisa orang yang coba bicara tentang keberadaan mushaf-mushaf itu akan dituduh menyebarkan keraguan terhadap mushaf-nya kaum Muslimin. Seperti telah dikatakan, masalah ini masuk ranah iman. Bahwa bagi umat Islam mushaf yang diimani dan diyakini sepenuhnya mencerminkan atau memuat wahyu Ilahi yang tiada sedikit pun keraguan di dalamnya adalah mushaf Utsmani. Nyatanya pun, hari ini seluruh umat Islam, apa pun mazhab dan alirannya, memedomani mushaf al-Qur`an yang sama. Namun, di sisi lain, literatur-literatur klasik cukup kaya dengan narasi (riwayat) tentang keberadaan mushaf-mushaf non-Utsmani.

Yang disebut terakhir di atas masuk ranah pemikiran (akademik) yang tidak perlu terlalu dirisaukan jika ada orang yang coba meng-up-nya kembali. Ketenanggan dan keterbukaan sebaiknya selalu dibawa saat berada di jagat akademik.

Mushaf Ali telah dibicarakan oleh banyak ulama Muslim terdahulu. Hampir dapat dipastikan para ulama Muslim yang menulis sejarah al-Qur’an atau mushaf akan menyinggung keberadaan mushaf Ali. Ulama belakangan pun demikian. Abdus Shabur Syahin dalam Tarikh al-Qur`an, bicara panjang-lebar tentang mushaf Ali dibanding mushaf-mushaf lain seperti mushaf Ibnu Mas’ud atau Ubay bin Ka’ab. Syahin menghabiskan delapan belas halaman membicarakan mushaf Ali. Cukup mudah ditebak, yang dilakukan Syahin dalam Tarikh al-Qur`an tersebut adalah meminimalkan signifikansi mushaf Ali seraya menegaskan keunggulan mushaf Usman.

Sampai di sini poinnya adalah mushaf Ali disebutkan dalam sumber-sumber Muslim, baik Syi’ah maupun Sunni. Berbagai versi riwayat yang menyebut Ali menulis mushaf setelah Rasulullah wafat terekam baik dalam sumber Syi’ah maupun Sunni. Beberapa di antaranya:, dari kalangan Syi’ah: Ushul al-Kafi, Tafsir al-Qummi, dan Majma al-Bayan. Dari kalangan Sunni: Kitab al-Mashahif, al-Burhan, dan al-Itqan.

Riwayat paling detil antara lain terdapat dalam Tarikh al-Yaqubi. Ketika Nabi meninggal, Ali tidak terlibat dalam perdebatan tentang kepemimpinan pasca-Nabi. Kita tahu, perdebatan itu berakhir dengan pengangkatan Abu Bakar. Ketika itu, Ali fokus mengurus jenazah Nabi, dan setelahnya fokus mengumpulkan al-Qur’an. Tentang inisiatif Ali mengumpulkan al-Qur’an ini, ada riwayat yang dituturkan sendiri, ada pula yang dinarasikan orang lain. Ali pernah menuturkan sendiri bahwa dia tidak akan melepaskan jubahnya sampai dia mengumpulkan al-Qur’an dalam satu buku di antara dua sampul. Sebuah riwayat mengatakan Abu Bakar meminta seseorang untuk mendatangkan Ali lantaran Abu Bakar tidak melihat Ali di hari pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah. Abu Bakar bertanya kepada Ali, “Kamu tidak suka dengan kepemimpinan saya?” Ali menjawab bahwa dia sibuk menghimpun al-Qur`an di rumah Nabi.
Beberapa ulama seperti Ibnu Sa’ad, Ibnu Jizzi, dan Suyuti menyebut riwayat yang menyebut bahwa mushaf Ali disusun berdasar urutan turunnya surat al-Qur’an. Namun, kalau mengacu pada susunan mushaf Ali yang dirangkum oleh Yaqubi, tidak nampak mushaf Ali disusun secara kronologis atau berdasarkan urutan waktu. Disebutkan dalam Tarikh Yaqubi, mushaf Ali terbagi dalam tujuh bagian; tiap bagian terdiri beberapa surat. Bagian pertama misalnya, terdiri dari surat al-Baqarah, Yusuf, al-’Ankabut, al-Rum, Luqman, dan seterusnya; bagian kedua: Ali Imran, Hud, al-Hijr, al-Ahzab, dan seterusnya; bagian ketiga: al-Nisa`, al-Nahl, al-Mu`minun, Yasin, dan seterusnya.

Ini tidak mengagetkan bagi mereka yang intens mengkaji mushaf-mushaf non-Utsmani. Urutan surat dalam berbagai mushaf memang tidak sama. Sebagai misal, dalam mushaf Ibnu Mas’ud tidak ada al-Fatihah dan dua surat terakhir. Urutan suratnya pun berbeda dari mushaf Usmani. Menanggapi hal ini, al-Razi mengatakan tak mungkin mushaf Ibnu Mas’ud tidak mencakup al-Fatihah dan dua surat terakhir. Riwayat yang menyatakan demikian pasti batil (naqlun bathilun).

Lantas apa kata para ulama mengenai mushaf Ali? Ulama Sunni umumnya tidak percaya keberadaan mushaf Ali, sebab Ali sendiri mengakui mushaf Usman. Riwayat yang beredar di kalangan ulama Sunni, Ali pernah meng-copy mushaf Usman ketika ia berada di pucuk pimpinan (menggantikan Usman yang terbunuh). Menarik kesaksian Ibnu Nadim, seorang bibliografer. Ia mengaku pernah melihat penggalan mushaf Ali. Dalam kitabnya, al-Fihrist, ia mengatakan melihatnya di kediaman Abu Ya’la Hamzah al-Hasani dengan tulisan tangan Ali sendiri. Kata Ibnu Nadim, “Banu Hasan mewarisi penggalan mushaf Ali tersebut.” Ibnu Nadim hidup lebih dari dua abad setelah Ali. Ini menjadikan pengakuannya tentang mushaf Ali sulit diverifikasi.

Perlu disebutkan, di sebagian kalangan ulama Syi’ah ada keyakinan naskah imam Ali, yang biasanya disebut ”jami’ah”, masih tersimpan. Keyakinan ini berasal dari pernyataan Imam Ja’far al-Shadiq yang direkam berbagai sumber Syi’ah, bahwa “Jami’ah” ditulis di atas kulit binatang paling bagus. Meski keyakinan ini berkembang luas, faktanya tak ada yang bisa menunjukkan di mana keberadaannya sekarang. Fakta sejarahnya: ternyata kaum Syi’ah sepanjang masa menggunakan mushaf Usmani.

Keyakinan umum lain di kalangan Syi’ah, mushaf Ali ini bukan hanya merupakan mushaf pertama yang ditulis setelah Nabi wafat, melainkan juga memiliki sejumlah keunggulan. Misalnya, mushaf itu disertai catatan tentang “asbab nuzul” dan penjelasan
“nasikh-mansukh”. Disebukan pula, mushaf Ali didasarkan pada bacan asal yang diturunkan pada Nabi. Makanya, kata ulama Syi’ah, seandainya yang diterima adalah mushaf Ali, niscaya tidak akan ada perbedaan bacaan. Untuk diketahui, ulama-ulama Syi’ah umumnya menolak perbedaan qira`at yang diakomodasi oleh kalangan Sunni.

Satu pertanyaan menarik dimunculkan: Kenapa mushaf Ali atau peran Ali dalam pengumpulan al-Qur’an luput dalam narasi kaum Sunni? Pertanyaan ini dapat dijawab dari berbagai perspektif. Konflik kepemimpinan di awal sejarah Islam memberi ”warna” tersendiri bagi jawaban atas pertanyaan ini. Kepentingan ideologis atau sektarianisme merupakan ”warna” lainnya yang terlihat lebih kental. Sementara kalangan Syỉah mengagung-agungkan mushaf Ali, kalangan Sunni berusaha meminimalkannya.

Ini mengingatkan pada kontroversi besar di Mesir yang dipantik penulis Sunni yang mempertanyakan kenapa nama Ali tak terdengar dalam sejarah pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Usman. Penulis itu adalah Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah.

Buku Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah diberi Kata Pengantar oleh Thaha Husain, seorang pemikir-penulis Mesir yang juga tidak sepi dari kontroversi. Abu Rayyah heran mengapa peran Ali tak terlihat dalam sumber-sumber Muslim awal. Justru yang disebut-sebut adalah orang-orang yang derajat pengetahuannya di bawah level Ali. Apa yang menyebabkan Ali disingkirkan dari proses pengumpulan al-Qur’an? Padahal, Ali merupakan penulis wahyu yang memiliki kedekatan khusus dengan Nabi.

Reaksi terhadap karya Abu Rayyah itu luar biasa negatif. Tidak kurang dari Musthafa Sibai, yang menuduh Abu Rayyah dengan segala sifat tercela. Sibai merasa tak cukup dengan mengkritik karya Abu Rayyah dengan karya tandingan, melainkan juga menghakiminya dengan berbagai cercaan. Celaan dan cercaan Sibai terhadap Abu Rayyah memang sebegitu sengit. Tapi setidak-tidaknya ia bukan cuma fasih mencela dan mencerca seperti kebiasaan banyak dari kita, melainkan melahirkan karya tandingan. Apa yang disebut terakhir patut kita tiru, dengan sebisa mungkin menghilangkan kebiasaan mencela dan mencerca.

Apa yang dipertanyakan Abu Rayyah soal tersembunyinya peran Ali dalam proyek mushaf al-Qur’an layak direnungkan. Tidak ada kewajiban untuk sepakat dengan satu jawaban. Kita percaya, iman kita teramat kuat untuk tergerus dengan sekadar merenungkan sebuah pertanyaan. ”Sisi baik” dari mencuatnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah munculnya kesadaran betapa persoalan-persoalan ideologis dan sektarianisme tak bisa dinafikan untuk menjelaskan kenapa satu versi sejarah keluar sebagai pemenang di kemudian hari (won the day)!

——

Tambahan:

Saya punya buku Antologi Islam: Sebuah Risalah Tematis Keluarga Nabi. Judul aslinya: Encyclopaedia of Shia. Cukup tebal; 788 halaman. Terdiri dari 15 bab. Bab yang relevan dengan tulisan di status ini adalah Bab 14: “Keyakinan Syi’ah terhadap Kelengkapan al-Qur`an.” Bab ini menghabiskan tidak kurang dari 65 halaman; dari halaman 681 sampai 746.

Berikut saya kutipkan bagian terpenting dari Bab 14 tersebut:

Hadis kedua dalam Ushul al-Kafi yang telah disalahartikan oleh kaum Sunni, menyatakan bahwa al-Qur`an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, memiliki ayat sejumlah tujuh belas ribu. Meskipun hadis ini termasuk ke dalam hadis lemah, ada penjelasan untuk hal itu yang diberikan berikut ini oleh Syaikh Shaduq yang merupakan ulama Syi’ ah paling utama dalam bidang Hadis.

Syaikh Shaduq berkata: “Kami mengatakan bahwa begitu banyak wahyu yang telah diturunkan yang tidak dimasukkan ke dalam al-Qur`an sekarang, yang jika dikumpulkan, tidak diragukan lagi jumlahnya tujuh belas ribu ayat…Meskipun semua itu wahyu, tetapi ayat-ayat tambahan itu bukan bagian dari al-Qur`an. Jika ayat-ayat itu bagian dari al-Qur`an, pastilah akan dimasukkan ke dalam al-Qur`an yang kita miliki.”

Transkrip al-Qur`an yang ditulis oleh Imam ‘ Ali Ibn Abi Thalib berisi komentar dan tafsiran hermeneutik (tafsir dan takwil) dari Nabi Suci Saw, sebagian di antaranya diturunkan sebagai wahyu tetapi tidak merupakan bagian dari teks al-Qur`an. Sejumlah kecil teks seperti itu bisa ditemukan di dalam beberapa hadis Ushul al-Kafi dan yang lainnya. Bagian-bagian informasi ini adalah penjelasan Ilahi atas teks al-Qur`an yang diturunkan bersama dengan ayat-ayat al-Qur`an tetapi bukan bagian dari al-Qur`an. Jadi, ayat-ayat yang berupa penjelasan dan ayat-ayat al-Qur`an seluruhnya berjumlah tujuh belas ribu ayat. Sebagaimana diketahui oleh kaum Sunni, hadis Qudsi juga merupakan wahyu, tetapi bukan bagian dari al-Qur`an. Sesungguhnya al-Qur`an memberi kesaksian bahwa apa pun yang dikatakan oleh Nabi adalah wahyu. Allah Yang Mahakuasa berfirman di dalam al-Qur`an tentang Nabi Muhammad bahwa: “Dan dia (Muhammad) tidak mengucapkan sesuatu berdasarkan kemauannya. Ucapannya itu tidak lain adalah wahyu yang diturunkankan (kepadanya).” (QS al-Najm [53]:3-4).

Jadi, semua perkataan Rasul Allah adalah wahyu dan tentu saja, ucapan atau perkataannya tidak terbatas pada al-Qur`an. Perkataannya itu termasuk tafsiran al-Qur`an, sebagian di antaranya merupakan wahyu yang langsung diturunkan, sebagaimana juga sunnahnya, sebagian di antaranya merupakan wahyu tidak langsung.

Hadis ketiga di dalam Ushul al-Kafi yang sering disalahartikan adalah sebagai berikut. Abu Ja’far berkata: “Tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bahwa dia memiliki al-Qur`an dengan penampilan fisiknya [zahir] dan maknanya [batin] secara lengkap, kecuali para wali [Awliyya] (Ushul al-Kafi, hadis 608).

Hadis ini juga berkaitan dengan fakta bahwa penjelasan al-Qur`an tidak ada. Meskipun secara fisik kita memiliki al-Qur`an tetapi maknanya (penjelasan dari Tuhan), tidak bersamanya. Hadis-hadis yang merujuk pada al-Qur`an yang dihimpun oleh Imam Ali-lah yang memiliki penjelasan.

Perlu ditekankan di sini bahwa semua ulama besar imam Syi ah sepakat bahwa al-Qur`an yang sekarang ada di antara umat Islam adalah al-Qur`an yang sama yang telah diturunkan kepada Nabi Suci, dan tidak diubah. Tak ada sesuatu pun yang ditambahkan kepadanya, dan tak ada sesuatu pun yang hilang darinya.

Al-Qur`an yang telah dihimpun oleh Imam Ali as, tidak termasuk penjelasan-penjelasannya, dan al-Qur`an yang ada di tangan umat sekarang ini, sama di dalam kata-kata dan kalimat-kalimatnya. Tidak ada kata, ayat, dan surat yang hilang

Komentar