Judul : Formulasi Nalar Fiqh (Telaah Kaidah Fiqh Kontekstual)

Penyusun : Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf

Editor : Syahrowardi dan M. Imdad Robani

Penerbit : Khalista Surabaya & Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005 (Kaki Lima)

Cetakan ke-6 : Surabaya, 2017

ISBN Buku 1 : 979-99452-3-2 (xx+333 halaman)

ISBN Buku 2 : 979-99452-4-0 (viii+ 459 halaman)

_________________________________

Berkembang di tengah masyarakat anggapan bahwa mereka yang belajar di pesantren memiliki keahlian khusus (specialty) di bidang agama Islam. Anggapan ini boleh jadi benar, karena para santri dibiasakan mempelajari keilmuan dalam rumpun kajian dasar agama seperti studi Alquran, Hadis, Ushul Fiqh, Fiqh, Tasawwuf, Tajwid, Nahwu, Sharaf, dll. Selama di pesantren, tidak hanya ketekunan belajar yang dilatih namun juga keberanian dalam berijtihad intelektual, mengkaji persoalan baru yang belum ditemukan penjelasannya di rujukan dasar agama.

Selain kajian Tafsir Alquran, Fiqh adalah adalah ilmu yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim. Fiqh merepresentasikan ‘respon agama’ terhadap persoalan manusia. Tentu domain Fiqh bukan hanya soal pelabelan halal dan haramnya suatu hal, namun juga perosalan lain misalnya seputar metodologi kajian Fiqh itu sendiri.

Buku di hadapan pembaca berjudul Formulasi Nalar Fiqh (Telaah Kaidah Fiqh Konseptual) ini merupakan seperangkat pemahaman atas rumusan kaidah Fiqh para ulama. Kaidah Fiqh lahir dari perumusan atas produk hukum Fiqh yang telah lebih dahulu ada. Kaidah Fiqh adalah hasil berpikir induktif atas material dan produk Fiqh pada suatu masa dan tempat.

Kaidah Fiqh adalah intisari yang bersifat merangkum dan bermaksud menemukan benang merah dari produk hukum Fiqh dengan dalil dasar agama (Alquran dan Hadis). Jika ditarik garis lurus untuk dirunut keterkaitannya dengan ajaran Islam, ujung awal garisnya adalah Alquran dan Hadis, berurut-turut kemudian adalah kaidah Ushul Fiqh, hukum-hukum Fiqh, dan kaidah Fiqh.

Kaidah Fiqh hadir paling akhir namun menjadi paling strategis karena berada di antara idealitas Ushul Fiqh dan praksis hukum Fiqh. Kehadirannya mirip rumus universal yang diyakini sebagian pihak berlaku sepanjang masa, meski hal ini akan terbantah seiring waktu karena kaidah Fiqh adalah hasil dialektika. Dialektika, seiring perbedaan waktu dan tempat, akan menghasilkan rumusan kaidah baru yang berbeda.

Meski kemungkinan perubahannya kecil, kaidah Fiqh yang kita kenal sekarang ini boleh jadi direvisi pada masa mendatang jika prasyarat dan keadaannya memaksa. Meski tidak tsubuut (tetap atau abadi), setidaknya kaidah Fiqh sanggup menjembatani gagasan inti Alquran dan Hadis dengan Ushul Fiqh dan putusan hukum Fiqh selama ini.

Pembahasan kaidah Fiqh di buku ini terbagi dalam 3 kelompok. Pertama, kaidah universal, al-qawaa’id al-khams al-kulliyyah, berisi 5 kaidah Fiqh yang berlaku di empat madzhab Fiqh Sunni. Kedua, kaidah umum representatif, al-aghlabiyyah, berisi 40 kaidah Fiqh yang berlaku umum di kalangan Syafi’iyyah. Ketiga, kaidah unik atau dapat diperdebatkan, al-mukhtalaf, berisi 20 kaidah Fiqh yang diperdebatkan di kalangan Syafi’iyyah karena memuat 2 jawaban atau lebih untuk 1 persoalan.

Membangun Nalar Fiqh, Mencetak Mujtahid Kekinian

Nalar riset kepenulisan tafsir mengharuskan pelakunya menaklukkan prasyarat mufasir, serta memiliki kesadaran konteks baik waktu dan tempat. Jadilah nalar tafsir yang peka dan relevan bagi waktu dan tempat di mana teks tafsir dikonsumsi. Hal ini berlaku pula bagi nalar Fiqh yang, mau tidak mau, perlu menyesuaikan dengan lokalitas persoalan Fiqh-nya.

Melalui buku ini pembaca diajak menelusuri ruang-ruang epistemologis kajian Fiqh yang sanggup menyulap pembacanya menjadi seorang mujtahid kekinian. Betapa tidak, berbekal rujukan kitab-kitab Fiqh empat madzhab (yang sayang sekali didominasi kitab Syafi’iyyah) serta usaha keras para penyusunnya menghadirkan ulasan mendalam, penjelasan atas masing-masing kaidah Fiqh berhasil menghidupkan nalar Fiqh pembacanya.

Pembaca tanpa diminta kesediaannya dijamin berfantasi tentang hal-hal baru yang belum diputuskan hukumnya secara Fiqh. Gagasan Islam Nusantara, fenomena hijrah di kalangan muda-mudi, hal-hal asing berlabel syar’i (komodifikasi agama), dan beberapa topik lain mungkin akan menemukan relevansinya setelah pembaca tuntas berinteraksi langsung dengan ulasan kaidah Fiqh di buku ini.

Jika dalam dalam studi Alquran dan Hadis kita mengenal tafsir dan syarah sebagai wasilah untuk menjelaskan teks yang dikaji, apa yang tersaji di buku ini sepadan dengan keduanya. Sebut saja penjelasan tentang ‘Obyek-Objek Rukhshah’ yang sedianya cukup diulas ringan 7 objeknya, oleh para penyusun buku dibahas secara melimpah, baik ulasan maupun rujukannya (hlm. 185-195). Penjelasan melimpah juga terjadi pada pembahasan ‘Aplikasi Rukhshah’ yang merentang dari persoalan rukhshah dalam mu’amalah, pernikahan, zhihaar dan ayman, qishash, dan rukhshah bagi tuan dan budaknya serta bagi mujtahid (hlm. 196-203).

Lahir dari santri Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi­ien (MHM) Lirboyo Kediri, buku ini ramah bagi pembaca awam karena menghadirkan pengantar panjang (86 halaman) di bagian awal buku yang menuntun pembacanya menyiapkan diri menelaah kaidah Fiqh yang cukup rumit. Hadir dalam narasi yang mudah dipahami, buku ini juga ramah bagi peneliti Fiqh yang bermaksud melakukan telaah lanjutan melalui kehadiran catatan kaki yang lengkap serta indeks.

Apa yang tidak terkatakan dari buku ini adalah ketekunan dan keberanian santri dalam menghadirkan bacaan layak-rujuk bagi kalangan pesantren dan perguruan tinggi.

Ketekunan terlihat dari mendalamnya pembahasan kaidah Fiqh yang diulas. Keberanian terlihat dari pembahasan sub-topik yang tidak lazim dibahas di kalangan tradisionalis namun dirasa perlu dibahas.

Akhirnya, buku dengan tebal 800 halaman lebih ini mengundang kita semua menikmati hidangan mengenyangkan ala intelektual pesantren, wa bil khusus Pesantren Lirboyo Kediri, yang dikenal sebagai gudangnya para pemikir. Buku dengan jenre syarah ini dijamin sanggup membuat pembaca merasa telah menyelesaikan perjalanan panjang menelusuri logika berpikir dua sumber utama ajaran Islam, Alquran dan Hadis. Selamat membaca.

Ahmadi Fathurrohman Dardiri, M.Hum. (Dosen Tafsir pada Fakultas Syariah IAIN Surakarta)

Komentar