Islamsantun.org – Sepanjang peradaban umat manusia, kiprah perempuan dalam berbagai koridor tidak bisa dielakkan—meski belum semuanya mendapat apresiasi dan penghormatan yang layak. Mereka, seperti pembawa lilin yang menyala, menerangi sisi-sisi gelapnya.

Sejarah telah meriwayatkan perempuan-perempuan yang memberi sumbangsih besar, yang terus bergeliat di tengah tekanan dan arus zaman, tak terkecuali perempuan yang menempatkan diri selaku ulama. Husein Muhammad, tokoh yang aktif mengampanyekan kesetaraan gender, dalam buku Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah (2020) menyebut bahwa, perempuan ulama memiliki kualitas dan potensi yang tidak selalu lebih rendah dan lemah dari kaum laki-laki.

Para perempuan ulama tersebut telah mengambil peran penting sebagai tokoh agama, intelektual, panutan masyarakat dengan moralitas yang terpuji, dan penggerak panji perubahan. Aktivitas mereka, seturut penjelasan Buya Husein—sapaan akrab Husein Muhammad—bukan hanya dari luar dan dalam ruang domestik (rumah), melainkan juga dalam ranah pendidikan-pengajaran dan politik yang lebih luas. Mereka bersama-sama membangun peradaban dan mengisi ruang-ruang kebudayaan.

Di Nusantara, hadir perempuan-perempuan ulama hebat yang membuat gebrakan, menjadi tokoh panutan, memajukan tradisi literer, bahkan mengubah narasi yang sebelumnya memojokkan kaumnya—membuat perempuan ada di garis periferal atau pinggiran. Mereka sudah sepantasnya mendapat tempat terhormat dalam gelanggang historis. Penghormatan terhadap sosok mereka dilakukan oleh Raedu Basha lewat puisi.

Raedu memuisikan para perempuan tangguh dan elok itu dalam buku Hadrah Nyai. Buku ini menyajikan tokoh perempuan beserta lanskap gerakannya. Rentang sejarah yang cukup panjang menghadirkan banyak tokoh perempuan—dengan pergulatan batin dan segala kompleksitas permasalahan pada zamannya—yang menjadi sumber penciptaan Raedu.

Proses penggubahan puisi oleh Raedu melewati lacakan sejarah lebih dahulu, sebelum menuju tafsir untuk dituangkan ke dalam bait-bait puisi. Penggalian ini mengajak pembaca melampau, menyimak laku dan pengabdian perempuan penting dan bersahaja secara puitis. Ada proses kreatif yang koheren dan simultan di sini. Jadi, puisi tidak asal tulis, nirhistoris.

Puisi-puisi dalam buku ini mencerminkan sikap Raedu sebagai penyair, toh puisi juga bukan teks belaka. Sebuah pendirian yang diyakini oleh Raedu, dengan mengetengahkan perempuan. Kaum itu telah menjadi pokok. Puisi-puisi Raedu seperti sebuah manifesto atas kontribusi perempuan, dari masa ke masa.

Riwayat sekian perempuan yang dikisahkan lewat medium puisi ini terasa hidup. Potret mereka disorot dengan tajam oleh “mata puisi” Raedu. Puisi jadi sarana Raedu memuliakan perempuan dengan imajinasi bertaut referensi-referensi sejarah dan riwayat hidup sang tokoh. Hal itu bisa dibuktikan dari puisi “Syaikha Rahma Elyunusia”. Puisi terpanjang di manuskrip Hadrah Nyai.

Raedu menulis, “Perempuan itu melakukan permulaan/ kata-kata menerobos koma dan titik/ makna menerobos pengejawantahannya/ ia susuri kemudahan/ ia terjang pelik// bahwa pendidikan perempuan/ adalah hak dan kewajiban/ bahwa pengajaran muslimah/ adalah perintah alquran dan sunnah.

Sosok yang digambarkan dalam puisi di atas itu Rahmah El Junusijah (1900-1969). Rahmah El Junusijah, seorang reformator pendidikan Islam dari Sumatra Barat. Bagi Rahmah, perempuan mesti dapat merengkuh luasnya cakrawala ilmu pengetahuan. Usahanya dalam mengembangkan pendidikan adalah dengan pendirian Diniyah Putri Padang Panjang. Berdirinya madrasah ini jadi bukti bahwa “pendidikan perempuan adalah hak dan kewajiban”.

Keberadaan diniyah tersebut memuliakan martabat kaum perempuan dengan pemberian akses pendidikan seluas-luasnya, yang sebelumnya tidak seluas dan ekslusif bagi golongan laki-laki. Kaum perempuan di tanah Hindia Belanda, khususnya Minang, lalu perlahan-lahan mengeja kata dan menyelami samudra ilmu.

sebelum angka dan aksara asing terbaca/ mata laduninya mengeja modernitas/ juga endus hidung tajam/ mendesahkan rasionalitas// rahma melompati zaman/ yang belum kenal isu kemadjoean/ yang lekas dan bergegas/ menyambut seruan kemajuan,” tulis Raedu.

Dari larik-larik puisi di atas, Raedu memuisikan gagasan Rahmah yang revolusioner, tidak terkukung oleh zaman tetapi berupaya menerawang jauh, melompati sekat-sekat adat. Zaman kemadjoean yang ada tepat di depan mata itu disambut dengan cita.

Selain Rahmah El Junusijah, perempuan yang juga gigih memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan adalah Siti Walidah—istri dari KH Ahmad Dahlan, pendiri organisasi massa Islam yang besar di Indonesia: Muhammadiyah. Representasi Siti Walidah ini terbingkai dalam puisi “Tiga Markah Walidah”. Raedu membagi puisi ini menjadi 3 bagian; wal ‘asri, maghrib school, dan sopo tresno. Pembagian ini mencandrakan ruang-ruang yang menjadi titik di mana Siti Walidah menyampaikan ajaran luhur.

Raedu menulis di dua bait paling ujung puisi, “Nama saya walidah/ perempuan yang menganggap perempuan/ mana saja dan kapan saja/ sebagai jelmaan aisyah di zamannya/ mengisi ruang-ruang penuh warna/ seumpama mandala batik kita// di rumah di sekolah/ di masyarakat di tempat ibadah/ segala tempat belajar aisyiyah/ para perempuan jelmaan aisyah.” Bait yang memberi sebuah aksentuasi, atas kedirian dan langkah-langkah diperjuangkan oleh Siti Walidah.

Bila disandingkan, posisi buku ini dengan buku Raedu yang terbit sebelumnya, Hadrah Kyai, bukan hanya sebagai sekuel, tetapi lebih dari pelengkap yang sama-sama membumikan pergulatan seorang tokoh Islam di berbagai soal. Satu manuskrip perihal kyai, satunya lagi tentang nyai. Buku Hadrah Nyai ini secara apik menyuarakan kiprah nyai Nusantara dalam sajak.

Kini, kala gerakan kaum perempuan masih dipandang melalui kacamata yang salah, maka dengan adanya buku Hadrah Nyai tentu jadi sumbangan sastrawi bagi pemuliaan kaum hawa dan pelecut semangat bagi narasi kesetaraan nan adil. Barangkali, di sinilah alamat buku ini berumah.

 

Judul buku: Hadrah Nyai

Penulis: Raedu Basha

Penerbit: Ganding Pustaka

Cetakan: Pertama, Juni 2022

Tebal: 132 halaman

ISBN: 978-602-6505-64-4

Komentar