Maklumat itu (masih) terbaca saat industri perbukuan Indonesia berlimpahan buku-buku sastra dicap “Islam” atau “islami”. Cap tambahan adalah best seller atau mega best seller. Novel-novel menggunakan judul-judul menggiring imajinasi pembaca ke iman, pertobatan, dakwah, dan islamisasi. Buku-buku itu laris. Sekian novel digarap menjadi film. Setelah keruntuhan rezim Orde Baru, buku-buku itu hadir pamerkan kejutan-kejutan jumlah pembaca dan pembuatan acara-acara besar. Para pengarang berselera “Islam” atau “islami” lekas menjadi idola. Di tatapan mata penggemar, mereka menjadi pendakwah atau juru bicara Islam di Indonesia. Mereka pun menjadi idaman dan pemberi petuah bijak di media sosial, berharap tebar pengaruh sepanjang hari.
Maklumat itu dikerjakan Kuntowijoyo puluhan tahun, sejak mula tekun menulis teks-teks sastra. Penulisan memang terjadi belakangan dan teranggap sebagai garapan terakhir Kuntowijoyo (1943-2005). Ia memberi warisan buku-buku berupa novel, kumpulan cerita pendek, kumpulan puisi, drama, sejarah, agama, dan lain-lain. Persembahan akhir dijuduli Maklumat Sastra Profetik. Maklumat berisi renungan-renungan argumentatif. Ia telah menunaikan ibadah sastra sejak muda dan bergumul dengan beragam isu di kesusastraan Indonesia. Pilihan mengumumkan sastra profetik mengacu ke biografi kepengarangan dan cara membaca pasang-surut sastra Indonesia. Pada abad XXI, memang pengamatan tak terlalu mendalam tapi memungkinkan terbaca secara kritis asal kita berpegangan ke Maklumat Sastra Profetik.
Kita mulai dengan mengingat buku kumpulan cerita berjudul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993). Buku terpenting untuk mengerti sastra profetik. Sapardi Djoko Damono (1993) agak mengecap kebiasaan Kuntowijoyo menulis cerita dengan menghadirkan dua tokoh “berhadapan” sebagai anak dan kakek. Pembuatan tokoh dengan pemberian karakter di situasi pelik mengenai pengalaman religius dan sejenis “terapan” ilmu-ilmu sosial menantang pembaca berpikir serius. Di hadapan pembaca, cerita itu sederhana. Sulit di renungan jika tak memiliki tumpukan referensi dan kemauan hening sejenak. Pengarang berlatar sejarah dan rajin menulis esai-esai bertema agama itu sedang “mengerjai” pembaca. Cerita-cerita memang sederhana tapi tergiang ke pembaca.
Mahfud Ikhwan mengaku sebagai pembaca teks-teks sastra gubahan Kuntowijoyo. Pembaca serius dan terpengaruh. Penulis novel berjudul Kambing dan Hujan itu merasa “terjerat” dan “terpikat”. Ia tak mungkin berpaling. Kemauan menggubah sastra selalu saja mengingatkan dan mengembalikan ke pesonaa-pesona prosa buatan Kuntowijoyo. Mahfud Ikhwan berulang mengumumkan ke publik bahwa ia terpengaruh Kuntowijoyo. Buku berjudul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga jadi buku paling mengena dan terbaca tanpa bosan dalam kenikmatan berimajinasi sampai ke raihan makna-makna. Tahun demi tahun, Mahfud Ikhwan terus membaca ulang buku-buku Kuntowijoyo dengan pengakuan itu “saat-saat penuh perenungan sekaligus rekreasional”.
Kita mengandaikan Maklumat Sastra Profetik dibaca para pengarang mengaku mendakwahkan Islam atau melulu menulis novel bercap “islami”. Mereka pasti sewot dan memberi daftar protes ke Kuntowijoyo. Sastra itu ibadah. Kuntowijoyo menjelasan bersastra itu ibadah tanpa harus blakblakan menaruh doktrin agama atau bermaksud menjadikan buku seperti ceramah panjang bergelimah nasihat. Maklumat itu mungkin tak terbaca pula bagi penggemar novel-novel laris berjudul Ayat-Ayat Cinta atau Negeri 5 Menara. Pada masa berbeda, para pembaca ingin jadi kolektor petuah islami di novel-novel pengarang berinisial TL belum merasa penting mempelajari sastra profetik. Mereka lekas saja mengutip dan menaruh di media sosial agar terakui ada di umat pembaca sastra keagamaan. Ingat, mereka belum beranjak dari melulu “agama”.
Kita simak pengertian-pengertian sastra profetik di maklumat: “Sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab.” Pengertian lain: “Sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan.” Kita tak lupa membaca kalimat pendasaran: Realitas sastra adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas.” Kita anggap itu bisa dimengerti tanpa gegabah dan rumit. Kalimat-kalimat Kuntowijoyo bersinggungan pula dengan sekian pemikiran sastra pernah diajukan Abdul Hadi WM, YB Mangunwijaya, AA Navis, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Taufiq Ismail. Kita menaruh Maklumat Sastra Profetik di alur tulisan-tulisan diajukan para pemikir sastra mengenai sastra keagamaan, sastra dan religiositas, sastra sufistik, sastra dan Islam, atau sastra islami.
Sastra profetik dijelaskan Kuntowijoyo terkandung di puisi, cerita pendek, novel, dan drama. Orang-orang mungkin cenderung mengagumi Kuntowijoyo di prosa. Mereka membaca novel-novel berjudul Khotbah di Atas Bukit, Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin & Satinah. Sekian orang memilih dua buku kumpulan cerita berjudul Dilarang Mencitai Bunga-Bunga dan Hampir Sebuah Subversi. Kita menduga sedikit orang mau menekuni buku-buku puisi berjudul Suluk Awang Uwung, Isyarat, dan Makrifat Daun, Daun Makrifat. Di prosa, pengaruh Kuntowijoyo paling terasa.
Persembahan puluhan buku sastra itu bukti patokan bersastra: “Bagi saya, sastra saya semua sebenarnya adalah transendensi. Saya menulis karena bagi saya hidup ini adalah misteri yang mengagumkan.” Keinsafan dalam menggubah sastra, tak berpikiran gubahan sastra harus meraih penghargaan, menghasilkan honor besar, atau sampai di kemonceran sepanjang masa. Bersastra itu cara mengabdi kepada Tuhan. Dampak dari sastra semakin menjelaskan pertimbangan makna-makna religius, sosial, politis, etis, dan kemanusiaan. Kuntowijoyo menamai semua itu sastra profetik meski belum terlalu akrab dengan publik sastra Indonesia abad XXI. Di pembacaan M Wan Anwar, ibadah sastra Kuntowijoyo itu “menjejak bumi, menjangkau langit”. Kini, kita membaca lagi Maklumat Sastra Profetik sambil memandang dan membaca buku-buku sastra terbaru di latar abad XXI. Begitu.
Informasi Buku
Judul : Maklumat Sastra Profetik
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Diva Press dan Mataangin
Cetak : 2019
Tebal : xxvi + 149 halaman
ISBN : 978 602 391 750 1