Mencintai merupakan fitrah kemanusiaan, termasuk mencintai tanah air. Kurang lebih inilah pesan utama yang hendak disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab dalam buku terbarunya “Islam dan Kebangsaan: Tauhid, Kemanusiaan, dan Kewarganegaraan.”

Selayaknya cinta beliau kepada bangsa yang tiada henti, karya demi karya dihasilkan demi mencerahkan anak bangsa. Masih segar di percetakan buku beliau yang berjudul “Khilafah: Peran Manusia di Bumi” dan “Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama”, buku terbaru ini hadir melengkapi sekaligus menjadi oase kebangsaan di tengah apatisme masyarakat terhadap bangsa dan negara.

Misalnya sering kita temukan kecintaan terhadap tanah air dihadapkan dengan cinta pada agama. Seolah-olah cinta pada tanah air berarti tidak setia pada ajaran agama. Terlebih jika tanah air yang dimaksud tidak menjalankan “hukum Tuhan” secara legal formal. Padahal pembelaan pada negara sejajar dengan pembelaan pada agama sebagaimana yang termaktub dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8.

Selain itu, buku ini juga menemukan momentumnya di kala bangsa bahkan dunia saat ini sedang mengalami krisis. Apa yang terjadi saat ini membuat kita terpecah belah dan kehilangan spirit persatuan. Saling tidak percaya antara masyarakat, pemerintah dan tenaga medis dalam menghadapi pandemi covid-19 membuat semangat kebangsaan menjadi kian renggang. Seharusnya yang berjarak adalah fisiknya, bukan solidaritas kemanusiaannya. Sehingga memahami kembali arti kebangsaan di tengah krisis menjadi penting untuk digalakkan.

Pengikat Batin Bangsa Indonesia

Nah, maestro tafsir Indonesia ini pun menegaskan bahwa unsur utama kebangsaan adalah ikatan batin yang mengantar pada tujuan dan cita-cita bersama. Lantas, apa ikatan batin yang mengikat bangsa Indonesia? Jawabannya adalah nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.

Sejatinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai moral universal. Siapa dan apapun agama atau kepercayaannya tentu menerima nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan menjadi basis moral bangsa ini.

Jika kita mau belajar dari sejarah yang diabadikan dalam al-Quran, maka sekian banyak peradaban yang maju dalam bidang infrastrukturnya seperti kaum ‘Ad, Tsamud dan Fir’aun di Mesir, namun hancur bahkan punah karena kebobrokan moralnya. Di sinilah pentingnya mengokohkan konsep kebangsaan yang berlandaskan pada nilai-nilai moral kemanusiaan. Pandemi ini pun mengajarkan kita bahwa melampaui sekat-sekat agama dan identitas kesukuan, kita semua perlu bersatu dalam dimensi kemanusiaan.

Selain itu, penulis tafsir Al-Mishbah ini juga menghubungkan visi ketauhidan dalam pembangunan satu bangsa. Menurut beliau tauhid dan juga konsep eskatologis merupakan hal yang penting dalam karakter bangsa yang unggul. Suatu bangsa yang tidak mempunyai pandangan jauh ke depan akan mandek, tidak berkembang dan akhirnya punah. Secara teori, masyarakat yang mempunyai pandangan kehidupan di akhirat akan terus berusaha secara maksimal selama hidup di dunia sehingga kesuksesan akan diraih.

Namun, pernyataan ini menjadi ironi. Sebab, jika melihat polanya, justru bangsa yang unggul adalah bangsa yang tidak melihat visi agama, hanya mementingkan aspek materi duniawi semata. Kiranya ini menjadi kritik bagi umat Islam, seberapa besar dimensi keagamaan dapat memajukan peradaban. Ataukah sebaliknya, pemahaman keagamaan kitalah yang membuat umat semakin tertinggal oleh perkembangan zaman.

Pemahaman kebangsaan ini juga harus dibedakan dengan sikap ‘ashabiyyah atau kecintaan buta terhadap kelompoknya. Sikap ini pernah terjadi di masa jahiliyah bahkan sepertinya terus diwariskan hingga saat ini. Seringkali paham nasionalisme membuat kita merendahkan identitas kebangsaan lainnya. Ini bukan semangat kebangsaan yang dikehendaki oleh Islam.

Dahulu pada zaman jahiliyah ada ungkapan yang populer, yaitu unshur akhāka zhāliman au mazhlūman, belalah saudaramu baik ia menzalimi atau dizalimi. Sikap semacam itu dikritik oleh Nabi dengan sabdanya: tuhjizuhu ‘an al-zhulmi fadzālika nashruka iyyāhu, menghalanginya melakukan penganiayaan, itulah makna pembelaanmu terhadapnya. Sehingga cinta tanah air bukan berarti mendukung sepenuhnya semua kebijakan negara, meskipun kebijakan tersebut jelas menimbulkan kerusakan. Justru menjadi bentuk kecintaan kita kepada bangsa dengan mencegah dan menghalangi segala upaya kerusakan yang akan terjadi.

Oleh karena itu, mencintai negara pun harus dalam koridor wasathiyah, moderat. Tidak terlampau membenci, mengingkari dan menolak semua hal yang berasal dari negara karena dianggap thaghut. Tetapi, juga tidak cinta mati sehingga luput dalam melihat celah kesalahan yang dapat dilakukan. Dengan kata lain, cinta tanah air bukanlah harga mati, melainkan berjuang dan berproses bersama-sama sesuai dengan ketentuan konstitusi sampai mati.

 

 

 

Informasi Buku

Judul                  : Islam dan Kebangsaan: Tauhid, Kemanusiaan, dan Kewarganegaraan

Penulis               : M. Quraish Shihab

Penerbit            : Lentera Hati

Cetak                  : November, 2020

Tebal                  : 163 halaman

ISBN                    : 9 786237 713395

 

Komentar