Buku karya Islah Gusmian ini menambah khazanah tafsir Nusantara baik yang ditulis dengan menggunakan bahasa lokal (Jawa, Sunda) dan bahasa nasional. Belum pernah ada penelitian yang membahas tentang tafsir Al-Qur’an yang dihubungkan dengan konteks masa rezim kekuasaan politik di Indonesia, kecuali buku yang saat ini telah mengalami cetakan kedua. Sekalipun bahwa buku ini lebih bersifat deskriptif-analisis, namun penulisnya berhasil melihat lebih jauh bagaimana dialektika Al-Qur’an dengan realitas historis ditafsirkan.

Dengan mengacu pada batasan penelitian selama masa rezim Orde Baru, penulisnya berupaya mengumpulkan dan menganalisis karya-karya tafsir Al-Qur’an–baik yang bercorak tematik maupun holistik–sehingga dapat dipisahkan kemudian, mana tafsir dengan “perspektif bungkam” (makna konotatif yang mengacu pada diamnya mufassir atas realitas sosial politik pada saat itu); mana yang “perspektif gincu” (makna denotatif yang memperlihatkan corak penafsiran sebatas “lip service” dalam mendukung kekuasaan politik); dan mana yang dengan perspektif kritis berani bersikap kontra terhadap rezim melalui kritisismenya terhadap ayat-ayat berkonotasi politik.

Melalui pijakan teori yang dibangun merujuk kepada Amin al-Khuli dimana “konteks sosial politik dan aktivitas penafsir merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai dan mempengaruhi praktik penafsiran Al-Qur’an”, Islah kemudian membuat kategorisasi tafsir berdasarkan pada tiga tiplogi: bungkam, gincu, dan kritis. Sekalipun bahwa perspektif bungkam ini sepertinya mendominasi corak penafsiran Al-Qur’an di era ini, sehingga mengingatkan bahwa betapa teguhnya rezim Orde Baru dalam membungkam nalar kritis masyarakat, termasuk para tokoh agamanya.

Tafsir versi Kemenag juga tampaknya tak luput dari “peneguhan” atas kekuasaan rezim, bahkan penunjukkan para mufassirnya tak lebih dari mereka yang menjadi perpanjangan tangan penguasa. Perspektif bungkam yang dominan ini tentu saja menyuguhkan realitas Al-Qur’an yang historis menjadi ahistoris bahkan dogmatis, melenceng dari aspek progresivitas, kehilangan makna “change and continuity” dan dalam banyak hal, relevansi Al-Qur’an sebagai “shalihun li kulli zaman wa makan” justru terabaikan dalam realitas sejarah.

Kekhasan Buku 

Penelitian tentang tafsir Nusantara memang telah banyak dilakukan, hanya saja mungkin tidak memperhatikan realitas sosial-politik dimana para penafsirnya hidup. Para peneliti Barat seringkali hanya tertarik pada konteks vulnerabilitas makna-makna ayat suci yang dihubungkan dengan konteks sosio-historis atau lebih memberi tekanan pada konteks komparatif dengan tafsir sezaman (contemporality) antara tafsir Nusantara dengan tafsir Dunia Muslim lainnya.

Tokoh-tokoh seperti Riddle, Federspiel, atau Anthony Johns, nampaknya juga lebih cenderung kepada aspek pemikiran, corak, dan budaya, sehingga wajar jika mereka menyandingkan tafsir Nusantara dalam ruang Dunia Melayu yang spektrumnya lebih luas, yaitu Asia Tenggara. Sepanjang yang saya ketahui, para peneliti Barat juga cenderung mengenyampingkan tafsir bercorak Nusantara, seperti yang ditulis oleh Syekh Nawawi al-Bantani.

Tafsir “Marah Labid” misalnya dianggap oleh Johns sebagai “tafsir yang tidak bercorak Indonesia karena ditulis di Mekah dan tidak ditemukan di dalamnya makna Keindonesiaan dari sudut manapun”. Kesimpulan Johns ini seharusnya perlu dikoreksi, sebab jika melihat kepada karya tafsir Syekh Nawawi ini, terdapat nuansa politik yang sangat kuat melalui “perlawanan” anti kolonial ketika beliau menafsirkan beberapa ayat yang berkonotasi politik. Kebenciannya kepada kolonialisme jelas pengaruh langsung dari realitas sosial-politik dan budaya pada saat itu sehingga mempengaruhi pemikirannya sebagai ulama Nusantara sekalipun Nawawi hidup dan menetap di Hijaz.

Namun demikian, buku yang ditulis oleh Islah ini memang memberikan gambaran dinamika tafsir di Indonesia secara komprehensif terutama proses dialektikanya dengan realitas sosial-politik pada masa Orde Baru. Sekalipun bahwa, yang dimaksud dengan karya tafsir kritis terhadap kekuasaan lebih bernada apologetis dan dikemas dalam bentuk deskriptif-tematik beberapa ayat dalam Al-Qur’an sehingga tidak sampai menyentuh aspek mendalam sebagaimana kitab tafsir pada umumnya.

Kekuasaan politik dikritisasi dalam konteks pembacaan ulang atau reinterpretasi atas beberapa ayat saja yang berkonotasi politik-kekuasaan lalu menghadirkannya kembali dalam realitas kekinian. Indonesia memang telah melahirkan banyak tokoh yang dengan latar belakang disiplin keilmuannya dipergunakan untuk menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an. Sebuah upaya ijtihad yang progresif, dimana ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, namun tetap tak kehilangan makna tetap mengalirkan kesegaran pemikiran dan tak pernah habis dibahas oleh banyak orang. Terima kasih atas sumbangsih ilmu pengetahuan yang berharga ini. Buku ini sangat layak dibaca oleh para mahasiswa dengan kecenderungan tafsir dan juga umum. Salam ta’dzim dari saya.

 

Data Buku

Judul Buku    : Tafsir Al-Quran dan Kekuasaan di Indonesia
Penulis           : Dr. Islah Gusmian, M.Ag
Penerbit         : Yayasan Salwa Yogyakarta
cetakan 1       : Maret 2019

Komentar