Buku kumpulan puisi Lima Rukun terbit bersamaan dengan pameran seni lukis dan puisi bertajuk sama di Studio Jeihan, Bandung, 28 September hingga 5 Oktober, 2013. Pameran tersebut menghadirkan lima penyair-pelukis: Acep Zamzam Noor, A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Jeihan Sukmantoro dan Sapardi Djoko Damono.

Buku puisi Lima Rukun berisi 52 puisi yang bukan puisi baru. Dapat dijumpai misalnya puisi ‘Ibu’ D. Zawawi Imron atau puisi ‘Ayat-Ayat Api’ Sapardi Djoko Damono. Juga puisi mbeling Jeihan Sukmantoro yang tak berkurang kembelingannya hingga sekarang. Pemilihan puisi di buku Lima Rukun erat kaitannya dengan lukisan-lukisan yang dipamerkan.

Adapun pameran dan penerbitan buku Lima Rukun sejak awal diniatkan Jeihan sebagai ‘pentahbisan’ Sapardi Djoko Damono menjadi pujangga. Menurut pengakuan Jeihan, ide ini bermula dari obrolannya dengan Gus Mus (A. Mustofa Bisri) beberapa bulan silam. Terungkap keresahan Jeihan akan absennya pujangga di Indonesia hari ini. Padahal, dahulu kehadiran pujangga penting untuk ikut menentukan kebijakan raja, semisal Ronggowarsito di kraton Surakarta. Keresahan Jeihan disambut pula oleh D. Zawawi Imron dan Acep Zamzam Noor. Keempatnya sepakat bahwa saat ini Sapardi telah mencapai taraf pujangga. Sapardi telah selevel dengan Amir Hamzah.

Adalah Jakob Sumardjo yang diberi ‘beban’ mendedahkan argumen kepujanggan Sapardi. Jakob Sumardjo, pada catatan penutup buku kumpulan puisi Lima Rukun, menceritakan beberapa tahun terakhir ini Jeihan kerap menyampaikan kepadanya sebuah konsep: puncak seni adalah puisi, puncak puisi adalah filsafat, puncak filsafat adalah sufi. Jeihan berpendapat jika Sapardi telah memenuhi rumusan itu. Sapardi tak hanya seorang penyair, tapi juga seniman, intelektual, dan filsuf yang sarat muatan

Selanjutnya, Jakob Sumardjo memberi penjelasan makna pujangga (dari kata pu dan jangga, berarti empu dan leher). Menurut Jakob, pujangga berarti master atau maestro jalan kerohaniaan atau keilahian. Dunianya adalah spriritualitas. Jika dikembalikan pada taraf sufi dalam gagasan Jeihan, pujangga itu berada di tingkat ujung hakikat, satu tingkat sebelum masuk ke pengalaman makrifat. Penjelasan Jakob dilengkapi gambar/skema guna memudahkan pembaca memahami argumen kepujanggan Sapardi.

Jakob melihat kesufian/kepujanggan Sapardi antara lain pada sajak ‘Prologue’, ‘Jarak’, ‘Tuan’, ‘Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari’, ‘Kami Bertiga’, ‘Akuarium’, ‘Sonnet: Hei! Jangan Kaupatahkan’, dan ‘Metamorfosis’. Uraian Jakob mengenai sajak-sajak tersebut dirasa cukup menjadi argumen kokoh kepujanggaan Sapardi. Pun demikian perdebatan mengenai argumen Jakob tetap terbuka.

Catatan penutup Jakob Sumardjo menjadi kekuatan buku puisi Lima Rukun. Penyeimbang dari absennya puisi-puisi baru masing-masing penyair. Meski sebetulnya puisi yang dipilih masuk antologi ini dapat dibaca sebagai satu kesatuan untuk mengantar Sapardi menjadi pujangga. Kekuatan lain buku ini adalah biografi singkat para penyair-pelukis yang terasa ‘segar’ lantaran ditulis khusus untuk buku ini, walaupun sebagian informasi bisa dibaca di buku mereka terdahulu.

Buku ini, menurut pengakuan Jeihan, hendak menyentil pemerintah atau siapa saja yang memberikan gelar atau pengharagaan tanpa memberi argumen yang kuat. Ia kesal dengan penghargaan abal-abal yang saat ini menjamur. Ibarat sebuah kota, buku ini dapat dipandang sebagai tugu yang menjadi penanda. Tugu yang akan terus dikenang orang.

Judul        : Lima Rukun
Penulis    : Acep Zamzam Noor, A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Jeihan Sukmantoro dan Sapardi Djoko Damono.
Penerbit    : Jeihan Institut bekerjasama dengan Editum
Cetakan    : I, September, 2013
Tebal        : 182 halaman
ISBN        : 978-602-8876-17-9

 

Sumber foto: FB Abi S Nugroho

Komentar