Islamsantun.org. Sebelum KKN selesai, sebagian besar mahasiswa yang saya dampingi telah merampungkan laporannya. Sejak dua tahun terakhir, UIN Raden Mas Said Surakarta telah melaksanakan KKN-T Kerso Darma. T di sini berarti transformatif, yang merupakan ciri khas model KKN yang diterapkan oleh kampus ini, seingat saya sejak tahun 2003. T di sini juga merupakan brand pengabdian model participatory action research (PAR). Ketika melekat pada kata kerso darma, model kuliah kerja nyata dua tahun terakhir ini tidak dapat dibilang gampang.

Kerso Darma bukan berarti KKN dapat dilaksanakan sak kersane “semaunya”, akan tetapi frase tersebut mengandung arti kerja sosial daring dari rumah. Dua tantangan yang harus dihadapi oleh DPL muda seperti saya. Pertama, KKN sebisa mungkin memiliki sisi transformatif, yang artinya meskipun sedikit harus dapat dilihat perubahannya. Kedua, kerja KKN dilaksanakan secara single-fighter daring dari rumah. KKN yang identik dengan kerja tim kini menemukan momentum disrupsinya; kerja sosial ini harus dikerjakan sendirian. Pagebluk memang membuat kita tangguh menghadapi kenyataan.

Proses Kreatif

Saya membagi lima tahap pelaksanaan KKN. Sebelum KKN resmi dimulai, saya meminta mahasiswa untuk memetakan aset desa, baik ekonomi, sosial, budaya, seni dan agama. Otoritas sosial juga ikut dipetakan dalam tahapan ini. Tahapan ini melihat bagaimana struktur dan sistem sosial berjalan sebelum adanya pandemi. Otoritas sosial, seperti peran RT, RW, sesepuh, atau imam masjid berguna untuk melihat sebenarnya siapa yang paling dipatuhi di desa tersebut.

Ketika KKN resmi dibuka, saya meminta kepada mahasiswa agar minggu pertama digunakan untuk mendeskripsikan situasi desa ketika pandemi berlangsung pada tahun pertama. Karena kebanyakan KKN berlokasi di RT tempat tinggal, momen ini dapat digunakan untuk mengingat kembali bagaimana situasi lingkungan mereka ketika pandemi mulai menerjang desa. Beberapa mahasiswa ngobrol dengan tetangga untuk mencari tahu apa yang luput dari pengamatan mereka. KKN merupakan momen para mahasiswa ini mengenal lingkungannya sendiri lebih dalam.

Setiap akhir pekan, saya menggelar juminar (baca: zoominar) dengan para mahasiswa bimbingan. Selain evaluasi, saya juga memaparkan apa yang harus mereka lakukan seminggu ke depan. Saya turunkan tugas per hari. Mereka harus menulis fakta apa yang telah didapat di google dokumen yang telah saya siapkan. Setiap mahasiswa memiliki google dokumen yang terintegrasi dengan google drive saya, sehingga setiap hari saya dapat memantau apakah mahasiswa telah menuliskan sesuatu hari ini. Selain itu, mereka juga diminta untuk mengunggah ringkasan aktivitas hari ini ke instagram mereka masing-masing. Pihak kampus memang mewajibkan unggahan ke akun IG ini, untuk proses verifikasi bahwa para mahasiswa melakukan KKN.

Memasuki pekan kedua, para mahasiswa melihat perubahan apa yang telah terjadi di lingkungan sosial mereka pada tahun kedua pandemi ini. Minggu kedua ini lebih bersifat analisis, karena melihat perubahan bukan hal mudah. Saya menemukan hal-hal menarik di beberapa tulisan mahasiswa di minggu kedua ini. Kebiasaan-kebiasaan baru yang bermanfaat malah menimbulkan mudarat. Wadah cuci tangan, misalnya, karena tidak dibersihkan justru berubah menjadi sarang nyamuk dan lumut. Aktivitas sosial juga mengalami perubahan signifikan, misalnya arisan yang undiannya kini melalui whatsapp, atau tradisi kumpulan warga yang nyaris absen. Apakah pandemi membuat renggang interaksi sosial?

Minggu ketiga merupakan masa merenung. Akhir pekan lalu, saya perkenalkan matriks prioritas masalah, pohon masalah dan pohon harapan, dan analisis gap. Fakta yang mereka cerna kemudian coba direnungkan, apa sebenarnya yang menjadi masalah bagi warga desa, masalah apa yang dapat didampingi dan doable “dapat dilaksanakan” selama sisa minggu yang ada. Sebagian besar mahasiswa berhasil menemukan masalah dan menetapkan rencana aksi secara detail. Ada sebagian kecil yang fokus pada pemanfaatan potensi desa. Ada pula masalah, yang berasal dari DPL lain, yang tidak termasuk keduanya. Ada mahasiswa yang isoman, terpapar covid-19, sehingga membuat pusing DPL, bagaimana mahasiswa isoman dapat melakukan KKN?

Aksi yang dilakukan di minggu berikutnya, secara umum cukup berhasil. Keberhasilan ini dapat diukur dari capaian perubahan yang mereka tetapkan sendiri. Hal menarik lain, setiap mahasiswa melibatkan tetangga dalam proses aksi. Mereka memberdayakan sumber daya dan potensi sosial yang ada. Selain itu, kerja sosial daring menemukan keberhasilannya ketika mahasiswa-mahasiswa ini banyak menggunakan media video untuk proses produksi konten aksi. Diseminasi edukasi juga melalui platform media sosial, seperti instagram, youtube dan whatsapp grup rukun tetangga. Saya harus menegur keasyikan mereka pada saat aksi, karena di minggu terakhir KKN, mereka harus merapikan laporan, yang telah dicicil setiap hari.

Transformasi Kecil   

Tidak semua tulisan dapat ditampung di buku antologi ini. Ruang publikasi yang terbatas membuat kisah-kisah mahasiswa lain (total berjumlah 21 + 1 tulisan) harus mengalah. Secara selektif, saya memilih tulisan yang memiliki representasi aksi dan perubahan yang unik. Secara tidak urut, saya harus menyebut tulisan Aviani Mardika Sari. Aviani pada saat KKN dinyatakan positif. Tidak hanya Aviani, ada beberapa peserta KKN yang juga terpapar. Beberapa DPL sempat bingung.

Tulisan Aviani menjawab kebingungan itu. Dia membuat aksi tutorial memasak masakan lezat, yang divideo, dan disebarkan kepada para isoman lain. Aviani mengundang teman yang pintar memasak untuk mengedukasi cara memasak. Setelah disimulasikan secara pribadi, terhidang masakan baru di hadapan keluarganya. Kebahagiaan mencicipi masakan baru, meskipun sederhana, namun terasa sangat signifikan. Selama menjadi isoman, keluarga Aviani hanya memasak masakan itu-itu saja, sehingga membosankan. Aviani melakukan kerja nyata untuk keluarganya dan teman-teman isoman lainnya.

Tulisan Iftika Mar’atus Sholikah dan Putri Nur Aisyah menitikberatkan pada pemanfaatan potensi desa. Iftika melihat sumber daya alam desa dapat digunakan untuk membuat antiseptik mandiri. Sedangkan Putri memaksimalkan budidaya serei untuk pembuatan ramuan herbal. Ketika harga-harga meloncak tajam, dua aksi tersebut dapat merangsang masyarakat agar kreatif sekaligus inovatif dalam ikhtiar pemanfaatan potensi-potensi alam yang tersebar di lingkungan sekitar.

Saya bayangkan Sari Febrianti dan Prihatin Susilowati harus meyakinkan pihak masjid agar sudi menerapkan protokol kesehatan di masjid masing-masing. Masjid di desa menjadi tempat kontestasi yakin dan ikhtiar selama pandemi. Kebijakan salat di rumah bagi sebagian orang merupakan sebuah konspirasi menjauhkan jamaah dari masjid. Ada pula yang berpendapat, salat di masjid tidak sesuai protokol aman-aman saja, karena kesucian masjid. Sari dan Prihatin memperhatikan bahwa protokol kesehatan belum diterapkan. Mereka bersama pengurus mendesain dan mensimulasikan jaga jarak, masing-masing diterapkan pada waktu salat dan ngaji-baca TPQ ibu-ibu.

Dita Putri dan Saniatul Munawaroh memiliki aksi yang mengarah pada aspek mindset. Siapa yang tidak cemas melihat pemberitaan kasus korban covid-19 meninggal yang terus menanjak? Apalagi jika yang meninggal salah satunya adalah tetangga dekat. Dita menganalisis rasa khawatir justru membuat imunitas drop, sehingga dia menginisiasi aksi manajemen kecemasan. Hal yang sama ditemui Saniatul Munawaroh. Di desanya, sebagian warga masih mengalami ketakutan ketika giliran vaksin tiba. Saniatul mendampingi Pak RT mendata warga yang belum divaksin, dan mengadvokasi mereka dengan cara meminta tetangga yang telah divaksin untuk menceritakan pengalaman setelah divaksin. Melalui video ini, Saniatul meyakinkan warga bahwa vaksin itu aman.

Cemas, khawatir dan takut merupakan tiga kata yang lahir salah satunya akibat hoaks yang beredar di masyarakat melalui media sosial. Melihat situasi ini terjadi di desanya, Winda Ika bersama teman sepesantren membangun sebuah gerakan antihoaks. Memberdayakan potensi teman-teman santri, Winda membuat video edukasi tentang verifikasi kebenaran berita. Video tersebut disebarkan ke whatsapp grup warga dan mengajak mereka berdialog untuk mengenal berita hoaks. Lain halnya dengan Annisa Damayanti, yang memberikan edukasi tentang Covid-19 varian delta kepada warga. Di desanya, Annisa melihat beberapa warga masih belum ngeh gejala-gejala yang dialami ketika seseorang terpapar Covid-19. Annisa menggandeng kawan dari karang taruna untuk membuat video kreatif edukasi. Annisa juga mengajak kawan yang sedang kuliah di program studi kesehatan masyarakat untuk mengisi kontennya. Whatsapp grup lagi-lagi menjadi media efektif untuk mendistribusikan video kreatif edukasi tersebut.

Pandemi juga melahirkan epistemologi daring. Setiap orang dipaksa untuk berpikir dan berperilaku secara online. Melihat TPA di masjidnya mandeg karena pandemi, Sela Widyawati bersama ustazah di kampungnya menginisiasi pembelajaran desain kurikulum daring. Aksi Sela menunjukkan peran nyata peserta KKN sebagai fasilitator. Sela meminta ustazah profesional dari masjid tetangga untuk mendampingi para ustazah TPA membuat kurikulum daring. Tantri Lestari yang beraksi di desa lain membuat program tak kalah unik. Kondisi desa yang minim sinyal membuat Tantri dan teman-temannya mendirikan rumah sinyal. Salah satu rumah warga yang kaya sinyal dijadikan ruang akses sinyal sekaligus ruang belajar daring. Orang tua yang mempersilakan anaknya belajar di rumah sinyal dengan sukarela iuran membeli kuota. Setiap pertemuan, para orang tua memberikan uang dua ribu rupiah. Aksi ini sekali lagi memperlihatkan signifikansi KKN-T kerja sosial daring dari rumah.

Moderasi dan Kearifan  

Kisah-kisah di buku ini mengandung aksi yang menyuratkan unsur moderasi beragama dan kearifan lokal. Pemberdayaan dan optimalisasi sumber daya alam dan manusia di lingkungan sekitar membuktikan bahwa kearifan lokal dapat digunakan untuk meminimalisasi dampak pagebluk. Pembuatan antiseptik dan wedang serei dapat dijadikan contoh. Kearifan-kearifan lain juga dapat ditemukan di kisah-kisah lain secara tersirat. Bagaimana mahasiswa mengidentifikasi dan memutuskan sebuah aksi dengan tetangganya merupakan sebuah kearifan lokal sendiri, yang tidak akan ditemui dalam pembelajaran di kampus.

Tanpa sikap moderasi, beberapa aksi akan mustahil terlaksana. Desain protokol kesehatan yang diterapkan di masjid dan TPQ menjadi bukti bahwa transformasi kecil dapat diwujudkan dengan sikap moderasi beragama. Keberhasilan mahasiswa KKN meyakinkan dan mengubah mindset pengurus masjid patut diapresiasi. Tidak menerapkan protokol kesehatan tidak mesti disebabkan oleh ketidaktahuan; terkadang hal tersebut dilahirkan dari sikap interpretasi Covid-19 yang kurang arif dengan mengatasnamakan agama. Dengan menerapkan protokol kesehatan, misalnya jaga jarak ketika salat jamaah, para pengurus masjid telah mereinterpretasikan fikih salat yang selama ini diamini. Moderasi beragama melahirkan sebuah fikih slamet. Selamat membaca.

Bersama empat antologi lain, silakan diunduh kisah-kisah mahasiswa KKN terbitan LP2M UIN Raden Mas Said Surakarta. Klik https://lp2m.iain-surakarta.ac.id/2021/12/16/terbitan-lima-book-chapter-lp2m-dokumentasikan-moment-kkn-masa-pandemi/.

Komentar