Islamsantun.org – Tren moderasi beragama belakangan ini menguat, setelah serentetan peristiwa yang bernuansa “kekerasan” atas nama agama justru muncul di ruang publik. Jauh sebelum peristiwa 9/11, barangkaki Martin Van Bruinessen yang menyebut istilah “conservative turn” sebagai fenomena kebangkitan “Islam politik” di Indonesia setelah mundurnya Soeharto dari kekuasaan.

Bruinessen melihat simbol-simbol Islam yang bercorak Arab memenuhi jalan-jalan sebagai bagian dari ekspresi keagamaan mereka, sekalipun bahwa gairah politik memang sedang menguat setelah kran demokrasi mulai dibuka setelah 32 tahun. Beragam narasi kemudian muncul sebagai bentuk kontestasi wacana yang membenturkan ideologi dengan agama, atau politik dan agama yang dibingkai dalam ruang-ruang kekuasaan politik.

Perjalanan reformasi di Indonesia tentu saja tidak berjalan mulus, ibarat iman yang “yazid wa yanqus” naik turun dalam konstelasi demokrasi yang masih diperburuk oleh kenyataan “status quo” yang tidak saja sistemik, tetapi menjadi bagian dari realitas kultur dalam masyarakat di Nusantara.

Banyak pihak yang khawatir akan masa depan keragaman (pluralistik) dan keberagamaan (religiusitas) masyarakat Indonesia yang telah berpengalaman menata berbagai konflik dari tingkat lokal, nasional, bahkan transnasional melalui berbagai upaya bersifat naratif-ilmiah penyebaran buku, diskusi, aturan-aturan pemerintah, dengan melibatkan tidak hanya “state-actor” tetapi juga tokoh-tokoh agama dan masyarakat.

Keterlibatan mereka dengan berhasil menangani konflik merupakan bukti paling konkrit, bahwa penerimaan atas keragaman (toleransi) dan sikap “jalan tengah” (moderasi) adalah akar tradisi yang telah jauh hadir dalam rentang sejarah panjang Nusantara.

Salah satu dosen di UIN Surakarta dan juga aktivis Muslim yang fasih menyuarakan moderasi beragama, Nur Hafid berhasil memotret rentang panjang pentingnya reproduksi kultur keberagamaan sejak 1911-1999 (hal. 70) setelah berbagai peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama terjadi di wilayah Solo. Kegelisahan akademiknya muncul ketika Kota Solo yang dikenal “Njawani” dengan kultur tepo seliro dan saling menghormati justru distigmatisasi sebagai “kota sumbu pendek” dan “mudah terbakar”.

Kafid, kemudian melakukan penelitian dengan menggandeng berbagai kalangan akademisi dan pemerintahan untuk menyuarakan kontra-narasi yang dimanifestasikan melalui program-program berbasis kurikulum, khususnya di madrasah aliyah untuk penguatan kultur yang disebutnya sebagai “reproduksi kultur” keberagamaan moderat di kalangan generasi muda Muslim.

Kegelisahan akademik ini sukses membuka ruang baru moderasi beragama dengan terlibat langsung dengan Kementrian Agama yang kebetulan sedang mengimplementasikan program tersebut. Bak gayung bersambut, Kafid pada akhirnya berhasil mempertahankan disetasinya setebal lebih dari 250 halaman di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan saat ini bukunya diterbitkan oleh Elex Media Kompetindo.

Bagi Kafid, moderasi merupakan sebuah evolusi dan proses yang terus berjalan dalam ruang diskursus publik, muncul sebagai “mainstream” dalam konteks sosial-politik dan pada akhirnya “mentradisi” dalam suatu budaya politik. Ia berharap, moderasi beragama di Indonesia menjadi semacam “habitus” yang ia ambil dari kerangka berpikir Boeurdiou.

Sayangnya, Kafid tidak mengeksplorasi sisi kesejarahan Solo, terutama narasi-narasi moderasi telah lama berakar dalam bentuk sastra pesantren yang justru ditulis oleh mereka yang justru mengkritik kekuasaan. Padahal, aspek ini akan sedikit menambah “kekuatan” penelitian ini jika hendak mengasumsikan moderasi sebagai habitus.

Buku yang ditulis Nur Kafid ini telah menjawab berbagai kegelisahan akademik mengenai bagaimana dan dengan cara apa moderasi beragama ini dapat mengubah cara pandang Islam yang serba ketat dan kaku dengan melakukan “pembenaran” sendiri ke arah cara pandang Islam yang seimbang (tawazun) dan adil (tawasuth). Saya meyakini dan sangat yakin bahwa akar ajaran Islam yang paling fundamental adalah moderat dan sangat toleran. Hal ini didasarkan pada praktik hidup semasa Nabi yang terkodifikasi kedalam Sunnah yang dipraktikkan sendiri oleh Rasulullah sehari-hari.

Agama yang paling disukai Allah, kata beliau, adalah yang “cenderung kepada kebenaran” (hanifiyyah) dan berwatak toleran (assamhah). Warisan tradisi Islam jelas diabadikan dalam Al-Qur’an dan Kitab Suci ini ketika membicarakan ajaran-ajaran Islam secara formal, senantiasa mengedepankan praktik-praktik sosial yang moderat yang semata-mata berbasis pengetahuan diskursif yang muaranya mengharap ridha Allah semata. Dalam seluruh tradisi sosial Muslim, prinsip adil sangat ditekankan, sebab adil lebih dekat kepada takwa dan takwa merupakan identitas sejati seorang Muslim

Komentar