Muh. Ganis Fauza*
Kisah para ulama’ ataupun orang-orang berkaromah dalam agama Islam telah menjadi sebuah tradisi wabil khusus bagi para penghuni pesantren. Baik itu kiai kepada santri maupun santri tuwek’an (senior) kepada santri anyaran (junior). Sehingga tanpa mengetahui sumber tertulis dari kisah-kisah orang ampuh itu, santri tetap dapat mengetahuinya. Pewarisan kisah demi kisah diharapkan menjadi motivasi, penggambaran, dan teladan dalam pengimplementasian agama Islam yang sejuk tanpa adanya kafir-mengkafirkan di kalangan santri itu sendiri.
Kiranya begitulah, penggambaran dari kumpulan tulisan Ahmad Khadafi selama bulan Ramadan tahun lalu. Sebenarnya kumpulan tulisan ini adalah tulisan-tulisan yang diminta oleh salah satu seniornya di tirto.id tempatnya bekerja. Menyanggupi permintaan seniornya, Khadafi menyetorkan tulisan dengan tema pesantren dan ke-Islaman yang terbit setiap ba’da subuh kala itu.
Tidak hanya kisah kiai ampuh saja yang berhasil Khadafi hadirkan dengan apik dan renyah dalam buku ini. Namun, juga terdapat kisah para santri dengan segala perilaku khas kaum bersarung. Santri yang kita kenal adalah manusia-manusia yang sedang atau pernah menjalani penggodokan ilmu agama dalam naungan pesantren. Dapat dipastikan dalam kehidupan pesantren akan selalu berwarna. Sebab kehidupan pesantren terbentuk dari berbagai jenis pemikiran, dan perilaku individu-individu santri yang siap digodok oleh kiai.
Pesantren memiliki metode tersendiri dalam mendidik santri-santrinya. Kehidupan sosial santri yang bersinggungan langsung dengan “kiai” menjadi ciri khas pendidikan pesantren. Dalam bukunya, Khadafi mencantumkan beberapa kisah tentang santri.
Seperti tulisannya yang berjudul Sandal bertuliskan “Abah” Kiai Ma’ruf. Khadafi menceritakan tentang kebiasaan buruk yang telah membudaya di kalangan santri yaitu memakai barang orang lain tanpa izin pemilik “ghasab”. Saat itu udara pagi subuh masih menyelimuti tidur para santri di Pesantren Walisongo Sragen, Jawa Tengah, K.H. Ma’ruf Islamuddin pengasuh pondok pesantren itu sedang membangunkan para santri. Kiai Ma’ruf mulai membangunkan santri-santrinya, diawali dengan membangunkan seorang santri yang tidur sebatangkara di teras kamar. Si santri yang tidur di teras itu bangun dengan rasa terkejut dan malu, sebab di depannya berdiri seorang yang paling dihormati di pesantren. Dengan sekejap si santri langsung bangun dan seketika lenyap dari hadapan Kiai Ma’ruf langsung memakai sandal untuk ke masjid.
Usai membangunkan santri-santrinya, Kiai Ma’ruf bersiap menuju masjid, tapi sandal kiai sudah tak ada di tempatnya. Entah siapa yang memakai sandal itu. Tanpa berpikir panjang Kiai Ma’ruf menuju masjid tanpa menggunakan sandal. Singkat cerita di ketahuilah orang yang mengghasab sandal Kiai Ma’ruf adalah Yusuf santri yang tidur di teras kamar. (hal 45-47).
Setelah kejadian peng-ghasab-an sandal milik Kiai Ma’ruf pagi itu, sandal Kiai Ma’ruf ditulisi dengan nama “Abah”. Harapannya agar santri-santri tak berani lagi mengghasab sandal kiai lagi. Awalnya, ide itu memang membuahkan hasil. Sandal Kiai Ma’ruf tak pernah dighasab lagi. Suatu ketika Kiai Ma’ruf menemui seorang santri yang memakai sandal berlabel “Abah”. Kiai mendatangi santri itu dan meminta agar melepaskan sendalnya. Kiai juga bertanya “kenapa kamu pake sendal saya?”. Dengan gugup si santri menjelaskan, bahwa sandal ini adalah sendalnya sendiri. Dia sengaja menulisi sandalnya dengan label “Abah” agar tak dighasab santri lainnya. Namun hal itu malah memicu hilangnya sandal Kiai kembali. Karena hampir semua sandal santri diberi label “Abah”. Dasar santri…
Khadafi juga mencantumkan kisah yang terinspirasi dari perilaku santri yang lainnya. Seperti tulisan Khadafi yang berjudul “Pak Hormon, Abu Hurairah, dan Laqab Para Santri” yang mengisahkan tentang kebiasaan pemberian nama julukan pada santri-santri tertentu. Khadafi menceritakan tentang Embek (panggilan salah satu santri Gus Tawa putra dari Kiai Ma’ruf pengasuh Pondok Pesantren Walisongo, Sragen). Embek, adalah panggilan Yusuf Wahyu yang ia dapatkan dari akal cerdas teman-teman santrinya. Dia dipanggil seperti itu dikarenakan kalau berjalan munduk-munduk dan suaranya cempreng persis cempe anak kambing. Makanya nama Yusuf Wahyu yang bisa dibilang cukup keren dipanggil Embek.
Namun dengan adanya julukan-julukan yang menyebar di kalangan santri juga terdapat kelebihan. Yaitu memudahkan seseorang menandai dan mengingat santri dengan laqab-nya itu. Misal, dalam satu angkatan biasanya terdapat beberapa nama santri yang sama persis. Maka dipergunakanlah nama-nama laqab untuk memudahkan memanggil, menandai dan mengingat nama santri.
Selain kedua kisah tentang santri di atas, Khadafi juga menceritakan pengalamnnya sebagai santri. Khadafi pernah nyantri di pesantren Al-Muayad Solo. Di tulisan terakhirnya dalam buku ini yang ia beri judul Lika-Liku Cinta di Pesantren. Khadafi mencantumkan kisah asmara dengan istrinya, Aisiyah. Yang diakuinya sudah memiliki hubungan khusus semasa masih di lingkungan pesantren.
Memang wajar saja jika ada santriwan demen dengan santriwati. Mereka menjalin hubungan dengan berbagai akal cerdiknya. Saling melempar pandangan saat ada kesempatan, saling memberi surat, saling bergantian memberi buku, sampai memberanikan diri berjumpa adalah bentuk para santri menjalin hubungan dengan sang pujaan hati. Namun semua itu dilakukan mereka bukan berarti tanpa ada rasa takut akan takziran yang bisa saja menimpanya. Tapi namanya juga santri…
Penceritaan Khadafi bisa menjadi bahan bernostalgia para manusia yang pernah nyantri dengan segala liku-likunya. Sebagaimana yang resensor kini rasakan, sebagai seorang yang pernah menelan manis pahitnya dunia pesantren, buku ini bisa berubah menjadi media reka ulang segala ingatan resensor. Mengingatkan kepada sang kiai dengan segala kebajikannya. Seperti itu.
*Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Surakarta. Aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Penelitian Mahasiswa DINAMIKA.