Novel ini secara garis besar membentangkan dua tema secara bersamaan: tubuh dan tumbuhan. Penulis novel, Cicilia Oday, terampil mengolah adonan cerita dengan bahan bakar dua hal tersebut, dicampur bumbu mitos dan alusi atas dongeng-dongeng masa lampau, sampai pada akhirnya tersaji sebuah novel–yang masih menyisakan gema di benak pembaca, bahkan selepas proses membaca selesai.

Premis cerita ini bermula saat Adam, bocah berusia 13 tahun, bangun dari mimpi & merasa ada seorang dewasa yang terjebak dalam tubuhnya. Meski punya perawakan kurus, ringkih, berkacamata, dengan tinggi badan kurang dari empat kaki, adam merasa dia bukan lagi anak laki-laki yang kemarin dan cebol sehingga dia berhak untuk meluapkan-menuntaskan segala hasrat yang membuncah tak terbendung. Sampai sini, kita tahu, Adam kemudian menjadi sosok yang memelihara perilaku nista. Saban hari, lelaki dewasa dalam tubuh Adam semakin menjadi-jadi.

Kebiasaan Adam ini tak berkurang sedikit pun dan malah makin intens setelah ada tetangga baru, Eva Wahani, yang mulai tinggal di rumah bercorak lawas tepat di dekat rumah Adam.

Suatu waktu, Adam yang kemudian tinggal di loteng rumahnya tanpa sengaja mengetahui rutinitas Eva Wahani bersih-bersih tubuh di depan cermin, di kamarnya. Adam bisa memandang perempuan muda itu tanpa sehelai pun kain yang membungkus tubuh fisiknya.

Adam lalu penasaran dengan aktivitas Eva Wahani dan memprediksi kapan lagi tepatnya dia akan melakukannya. Sampai pada akhirnya, dia menanti-nanti momen untuk bisa menghasrati Eva Wahani (dari jauh) sebagai objek fantasi seksualnya.

Segalanya berubah signifikan dan menuai konflik sesaat setelah Adam merasakan ada duri yang secara denotatif tumbuh melesak di pangkal kelamin Adam, tepatnya ketika dia mulai gerakan memompa. Dengan rasa yang sakitnya luar biasa, sekaligus perubahan drastis sikap Adam yang hanya diam, diam, dan diam sampai memutus ikatan sosial dengan teman-teman sebayanya, Sara (ibu kandung Adam) menaruh curiga dan berusaha mengumpulkan bukti-bukti–walau bukti visum tidak bisa menandingi firasat seorang ibu.

Sara lantas mengarang cerita, membuat kisah fiktif agar apa-apa yang menimpa Adam adalah bermula dari perbuatan tercela Eva.

Adam hanya korban dan penjahat sebenarnya adalah tetangganya. Dengan siasat ini, Sara bisa berkelit dan seakan-akan menyelamatkan Adam–yang justru menikmati segala privilese dan belas kasih yang mendarat padanya.

Tebaran fitnah buatan Sara rupanya mendapat tanggapan serius dari Lena, adik iparnya, yang juga awak media.

Ia tidak ingin membuktikan apa pun karena hanya orang yang bersalah akan berusaha membuktikan dirinya tak bersalah… Ia telah masuk ke dalam perangkap bernama sistem hukum bodong… dan tidak ada yang peduli untuk mengulik kebenaran di baliknya selama berita itu ada di mana-mana. Orang-orang terobsesi menyebarkan berita palsu karena wajah dan tubuhnya begitu aneh, bukan karena empati terhadap ‘korban’. (hlm. 118)

Kisah yang menghampar di novel ini, pada dasarnya memberi ilustrasi nyata pada sidang pembaca, bahwa hanya dengan kebiasaan buruk seorang bocah pubertas, ditambah dengan rasa khawatir seorang ibu tanpa dasar, bisa menghasilkan fitnah keji terhadap orang tak bersalah dan pembenaran total, atau lebih tepatnya “penyangkalan”, terhadap segala hal, sampai-sampai menolak segala sisi negatif demi mempertahankan harga diri anak dan keluarga.

Sara, yang mengandung Adam–dari janin sampai memperoleh tiupan roh–selama lebih kurang 9 bulan dan melahirkannya, merasa sok tahu betul siapa sebenarnya Adam. Tentu saja, alasan biologis ini bisa melatar belakangi bahwa seorang ibu pasti memahami buah hatinya. Sayangnya, yang terjadi justru sering–untuk tak menyebutnya “selalu”–berkebalikan.

“Kebanyakan dari kita tidak mengenal anak kita sendiri. Mereka seperti… gunung es. Apa yang kelihatan di permukaan, belum tentu seperti itu juga di bawah permukaan.” (hlm. 149)

Kutipan di atas merupa ucapan dari wali kelas Adam kepada Sara, tepatnya saat dia dipanggil untuk datang ke sekolah. Bagian ini agaknya mengajak pembaca guna menimang ulang relasi ibu dan anak, atau skema pengasuhan.

Mempertanyakan kembali hubungan ini niscaya mendasari pembenahan atas bagaimana proses interaksi–selama ini dan ke depannya–demi mendukung kecerdasan kognitif dan kepekaan emosional.

Sebab banyak orang (mungkin) merasa sudah mengetahui atau menempatkan diri sesuai peran sosial-kultural yang melekat pada dirinya, tetapi jarang merasa mawas atau melakukan kontemplasi saat segala hal seolah-olah berada dalam kontrol yang solid. Bahwa hanya dengan pengulangan satu hal buruk, segala hal lain – yang bahkan tak pernah terkira sebelumnya – bisa datang mengetuk.

Dengan seikat narasi ini, buku yang menyabet penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2024 kategori novel ini cocok dibaca oleh sesiapa saja, baik remaja yang lagi nakal-nakalnya di era informatika, perempuan yang sedang beranjak dewasa, atau seorang ibu yang sedang mengasuh anak laki-laki di tengah kepungan piranti digital. Buku ini pun menjadi tanda seru untuk tidak sekenanya mempermainkan organ vital. Barangkali.

 

Tentang Buku

Judul : Duri dan Kutuk

Penulis : Cicilia Oday

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: Pertama, Juni 2024

Tebal : 192 halaman

ISBN: 978-602-06-7601-2

Komentar