Membaca buku catatan perjalanan selalu berkesan. Sebab, di satu sisi pembaca dapat memperoleh gambaran geografis seputar daerah yang dituju. Alasan lainnya adalah melalui buku tersebut, sang penulis menumpahkan semua proses intelektual dan emosional selama perjalanan berlangsung.
Misalnya buku catatan perjalanan Prof. Nasaruddin Umar ke berbagai negara yang didokumentasikan dengan apik berjudul “Geliat Islam di Negeri Non-Muslim”. Begitu juga buku Mbak Maria Fauzi yang berjudul “Berdiri di Kota Mati” seputar nostalgia peradaban Mesir dan Eropa.
Nah, buku “Catatan Mbak Admin” ini juga bagian dari proses rekaman perjalanan yang unik dari Ning Ienas Tsuroiya , putri dari Gus Mus. Bersama dengan suaminya, Gus Ulil Abshar Abdalla—atau sering disebut Lurah Pondok, mereka bekerja sama dalam mengaji sekaligus mengkaji Ihya’ Ulumiddin, magnum opus Imam Al-Ghazali.
Tak perlu diragukan kemampuan Gus Ulil dalam mendedah kitab tasawuf fenomenal ini. Kelihaian beliau adalah dalam memadukan pengajian ala pesantren sekaligus pengkajian secara kontekstual. Namun, peran Gus Ulil semata belum mampu menjadi kekuatan membumikan ajaran Imam Al-Ghazali. Di sinilah peran Mbak Ienas, yang kemudian dikenal dengan sebutan Mbak Admin dalam membawa suasana pengajian kitab ala pesantren ke dunia virtual.
Tentu telah banyak kajian seputar internet, dunia virtual yang semuanya serba instan dan cepat. Setelah sebelumnya jagat dunia maya kita diramaikan dengan narasi-narasi keagamaan yang cenderung tekstual, kaku, melihat sesuatu serba hitam-putih, kehadiran kajian Ihya’ menjadi oase kesejukan dalam beragama. Paling tidak, sebagai netizen, kita diberikan wacana yang beragam sehingga terdapat pilihan dan pertimbangan.
Secara pribadi, saya lebih banyak bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Gus Ulil. Ada beberapa karya terbaru beliau yang saya lahap seperti “Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-Meditasi Ibn ‘Ata’illah dalam Kitab Al-Hikam”, “Jika Tuhan Mahakuasa Kenapa Manusia Menderita?” dan “Sains Religius, Agama Saintifik”. Buku yang terakhir ini ditulis bersama dengan Haidar Bagir. Perjumpaan intelektual ini membuat saya berdecak kagum dengan sosok Gus Ulil yang penuh dengan sumber pengetahuan.
Setelah membaca buku ini, saya kemudian disadarkan bahwa di balik sosok Gus Ulil ada seorang perempuan penuh talenta dan dedikasi yang mendorong suami untuk maju berkarya. Memang peran sebagai admin layaknya editor atau penerjemah buku, jarang terpublis, namun posisinya sangat strategis. “Inilah kredonya: Tanpa Mbak Ienas, tidak ada Ngaji Ihya. Itu berarti Kopdar Ngaji Ihya pun tidak akan ada”, tegas Bu Lies Marcoes dalam epilognya.
Jika Kiai Faqih mempopulerkan qiraah mubadalah dalam relasi antara suami dan istri, maka konsep ini telah mengejawantah dalam kerja Pak Lurah dan Mbak Admin. Keduanya tidak berebut panggung, tetapi ada upaya saling mengisi sehingga terjadilah orkestra pengajian Ihya’ yang mendunia.
Boleh dikatakan, buku ini sebagai gambaran betapa keberkahan dari ngaji Ihya` itu benar adanya. Siapa sangka, dimulai dari kajian perdana secara daring di bulan Ramadan tahun 2017, kemudian berkembang hingga saat ini. Kopdar (kopi darat) demi kopdar telah dilakukan, bukan hanya keliling Indonesia, bahkan dunia. Keberkahan dari mengaji kitab Imam Al-Ghazali telah membawa Pak Lurah dan Mbak Admin ke Korsel, Amerika dan benua Eropa.
Sedangkan di Indonesia, salah satu kota yang paling sering dikunjungi adalah Yogyakarta. Alhamdulillah, saya pun beberapa kali hadir dalam kopdariyah tersebut yang selalu penuh sesak dengan jamaah yang ingin pula kecipratan barokah.
Secara umum, potret ngaji Ihya yang diuraikan dalam buku ini menegaskan beberapa hal. Pertama, penyebaran narasi pesan harus menyesuaikan media yang terus berkembang. Jika pesan ingin tersampaikan secara luas, maka “tidak bisa tidak” alias harus menggunakan media baru, facebook, youtube, dll. Tanpa itu semua, kita hanya akan menjadi penonton dan kalah dalam berkontestasi menyuarakan narasi keislaman. Sehingga misi menyuarakan nasihat Imam Al-Ghazali di jagad maya adalah upaya keren, patut diapresiasi dan diramaikan oleh para santri. Bahasa gaulnya: “viralkeun“.
Kedua, meski pesan direkam secara daring, namun perjumpaan fisik, kopdar, tetap tidak dapat tergantikan. Ini yang direkam dalam buku cetakan Afkaruna.id dengan sampulnya yang menawan. Membaca lembaran demi lembaran tulisan Mbak Admin yang doyan durian ini, mengajarkan saya betapa pentingnya membangun relasi persahabatan lintas suku juga agama.
Berjumpa dengan beragam orang membuat kita berwawasan terbuka, tak mudah menyalahkan yang berbeda. Ini yang mungkin kurang atau bahkan hilang dari kita sekarang, “wisata perjumpaan”. Jika dalam buku “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita” Gus Ulil menulis kata pengantar pentingnya “wisata akidah” bersama Al-Ghazali, maka dalam buku ini, Mbak Admin mengajak pembaca untuk melakukan “wisata perjumpaan” juga bersama sang Hujjatul Islam. Bentuk perjumpaannya beragam, mulai dari pengajian, ziarah makam wali, diskusi di meja makan, hingga tadabbur alam.
Ketiga, buku ini juga menggambarkan sisi lain dari Pak Lurah dan Mbak Admin. Bagi para santri, keduanya adalah sosok spesial dan paket komplit. Bahkan mungkin tidak sedikit santri Ihya` yang masih jomlo, mengidolakan keduanya sebagai contoh pasangan ideal. Namun, melalui buku ini, kita akan melihat sisi kemanusiaan dari keduanya; bisa capai, lelah, letih, sedih, takut, suka, bahagia, dan luapan emosi lainnya. Pun perbedaan pendapat sering terjadi karena hal yang sepele, mau naik kereta atau pesawat, mau lanjut diskusi atau harus beristirahat.
Dengan membaca dimensi ini, harapannya para santri online dapat semakin terhubung dengan sang guru. Bahwa di satu sisi, sang guru juga adalah manusia yang bisa berbuat salah. Namun, di sisi lain, kita diajarkan betapa sang guru di tengah keterbatasannya tetap semangat berbagi pengetahuan dan pengalaman, demi membumikan ajaran Imam Al-Ghazali.
Terakhir, saya membayangkan pengajian tasawuf Imam Al-Ghazali yang memadukan tradisi pesantren dan media baru akan menjadi trend positif di masa mendatang. Dalam bahasa Buya Hamka ialah “Tasawuf Modern”. Menjadi seorang sufi, tak perlu terikat dengan tarekat tertentu, tetapi nilai-nilainya telah menjadi laku dalam kehidupan.
Spirit Imam Al-Ghazali dapat hidup di tengah krisis moralitas masyarakat modern. Di saat yang bersamaan, kita juga tetap dapat merayakan kehidupan modern, menggunakan media sosial, berkeliling dunia ala backpacker-an, namun, hatinya tetap menjadi seorang sufi, tak tertipu dengan gemerlap duniawi.