Islamsantun.org – Fadhli Lukman, The Official Indonesian Qur’ān Translation: The History and Politics of Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cambridge, UK: Open Book Publishers, 2022.
Bulan Oktober tahun ini merupakan saat membahagiakan bagi Mas Fadhli, karena buku yang berasal dari disertasinya di Universitas Freiburg tahun 2019 lalu akhirnya bisa terbit. Tidak banyak disertasi hasil riset doktoral di luar negeri sampai diterbitkan oleh penerbit luar negeri.
Buku Fadhli membahas isu peresmian terjemahan Al-Qur’an oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Al-Qur’an dan Terjemahnya (QT). Apakah statusnya sebagai terjemahan resmi berdampak pada isi terjemahannya? Ia tidak membahas hal teknis dalam penerjemahan dan kesalahan-kesalahan penerjemahannya, sebagaimana dibahas dalam banyak kajian sebelumnya.
Tiga hal yang menjadi fokusnya. Pertama, proses teknis dalam proyek penerjemahan; Kedua, interpretasi dalam terjemahan; Ketiga, QT dan kasus Ahok. Fadhli menggunakan perspektif Walid Saleh, sarjana tafsir kenamaan, tentang tafsir sebagai tradisi genealogis. Terjemahan, baginya, merupakan bagian dari tradisi genealogis tafsir. Ia sama sekali tidak terisolasi. Walid Saleh menyebut adanya dua genre tafsir: tafsir ensiklopedis dan tafsir madrasah yang juga bersumber dari tafsir ensiklopedis. Fadhli kemudian menambahkan genre terjemahan sebagai yang ketiga, karena merupakan kompendium dari tradisi tafsir tersebut. Di sini, penerjemah harus segera memutuskan kosa kata yang mewakili pandangan terpilih dari begitu banyak ragam tafsir.
Studi Fadhli menegaskan peran besar tafsir dalam produksi terjemahan Qur’an. Terjemahan yang mengalami perubahan dari edisi ke edisi menunjukkan bagaimana produksi terjemahan dipengaruhi oleh tradisi tafsir yang didapatkan para anggota komite penerjemahnya. Komite penerjemah sangat penting di sini dibanding penerjemah individual, sehingga kepentingan tradisional Sunni yang dianut mayoritas Muslim Indonesia mendapat legitimasi dibanding individu. Baginya, ideologi Sunni jauh lebih menentukan dibanding argumen kepentingan politik pemerintah, karena sedikitnya isu politis yang terlihat dalam terjemahan. Sunnisme dalam QT sangat terikat dengan genealogi tafsir berbahasa Arab yang dijadikan sumber terjemahannya.
Selain itu, Fadhli juga menegaskan bahwa QT berkontribusi pada terpeliharanya otoritas keagamaan negara melalui pengadopsian ideologi arus utama Sunni. Karenanya, temuannya membantah Federspiel yang secara berlebihan menganggap bahwa QT menciptakan semacam standar wacana Islam kebangsaan. Buku ini juga menegaskan bahwa QT berkontribusi pada tumbuhnya industri percetakan Al-Qur’an di Indonesia dan mendorong penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesarjanaan Islam Indonesia.
Kesimpulan Fadhli sebetulnya cenderung berbeda dengan buku Hamam Faizin , Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an di Indonesia, yang juga berasal dari disertasi dan terbit sebelumnya tahun 2021. Fadhli menyoroti bagaimana QT tidak ada hubungan formal dengan pemerintah (Kementerian Agama RI) dibanding mengikuti kepentingan arus utama ideologi Sunni. QT cenderung menghindari kontroversi sehingga mengedepankan penerimaan masyarakat. Ini berbeda dengan temuan Hamam yang justru menegaskan bahwa QT mencerminkan bagaimana perubahan terjemahan dari edisi ke edisi sangat dipengaruhi oleh perubahan rezim pemerintahan, dari Orde Lama, Orde Baru hingga era pasca reformasi. QT tidak semata-mata menggunakan ideologi Sunni sebagai dasar, karena dengan cara itu justru memudahkan jalan bagi masuknya kepentingan politik pemerintah.
Buku Fadhli tentu saja tidak bisa lepas dari jejak artikel Moch Nur Ichwan yang terbit jauh sebelumnya. Di banyak bagian Fadhli menggunakan kasus terjemahan kata tertentu yang sudah diulas oleh Ichwan. Misalnya, isu gender, terjemahan ulul amri, dan kalimat akābira mujrimīhā. Meski demikian, Fadhli menilai studi Ichwan masih terbatas dalam hal edisi terjemahan resmi itu. Memang wajar karena tulisan Ichwan diterbitkan tahun 1999 saat edisi 2002 dan 2019 belum dibuat. Tulisan Ichwan tampak banyak mengilhami Fadhli. Tulisan Fadhli menjadi semacam pengembangan atau update dari argumen yang juga disuarakan Ichwan.
Bukan hanya tulisan Ichwan, kajian Fadhli juga terkoneksi dengan buku Hamam. Studi Hamam menempatkan QT dalam dialog perubahan isu intelektual daripada peran politik negara. Meski menyebutkan era pemerintahan, Hamam menghubungkannya dengan bingkai waktu periode rezim tersebut yang tidak sepenuhnya ditujukan pada projek QT saja. Fadhli menegaskan bahwa banyak studi sarjana sebelumnya mengasumsikan bahwa QT mengandung muatan motif politik pemerintah, tetapi tidak mampu menjelaskan bagaimana tepatnya QT membentuk wacana ini.
Studi Fadhli tentu saja memiliki kontribusi penting dalam memberikan perspektif alternatif dalam membaca terjemahan dilihat dari genealogi tradisi tafsir. Namun, argumen Fadhli tentang hal ini didasarkan pada ekspektasi yang terlampau ideal. Pada kenyataannya, seperti yang pernah saya alami saat terlibat langsung dalam projek terjemahan Al-Qur’an bahasa Sunda, proyek terjemahan resmi selalu ditandai oleh ketergesaan waktu di tengah kompleksitas ritme kerja para anggota komite yang terlibat dan keterbatasan anggaran yang harus habis dan dilaporkan pada tahun berjalan.
Tidak banyak waktu yang tersedia bagi komite penerjemah untuk melakukan konfirmasi pada beragam kitab tafsir. Mungkin hanya 10 persen saja terjemahan dilakukan dengan langsung membuka kitab tafsir, itu pun ketika terdapat isu ayat-ayat yang populer, sensitif dan kontroversial. Proses teknis penerjemahan dan keputusan yang diambil komite penerjemah kebanyakan dilakukan melalui konfirmasi pada karya terjemahan sebelumnya yang sudah jadi dibanding langsung membuka kitab tafsir. Komite lebih banyak melakukan penyelarasan bahasa dan mengatur konsistensi terjemahan karena dianggap lebih sulit. Belakangan peran ahli bahasa Indonesia yang diundang langsung dalam sidang sangat beralasan.
Fadhli tampaknya terlalu terpaku pada banyaknya literatur tafsir yang digunakan dalam setiap edisi QT. Padahal literatur yang tercantum pada bagian daftar pustaka itu tidak dapat dikonfirmasi bagaimana dan di mana perujukan itu dilakukan. QT bukan karya ilmiah yang ketat dengan footnote yang menyebutkan secara jelas rujukan literaturnya. Sulit dipastikan apakah daftar pustaka itu betul-betul digunakan saat menerjemahkan ayat perayatnya atau hanya dicantumkan sebagai bagian dari legitimasi akademik atas proses penerjemahannya.
Akhirnya, saya sangat mengapresiasi kajian Fadhli apalagi disajikan dalam bentuk open access secara gratis sehingga mudah diakses oleh banyak pembaca secara luas. Buku ini diharapkan akan mengundang banyak kajian sarjana berikutnya dalam bidang terjemahan resmi Al-Qur’an pada masa mendatang. Selamat!
Bagi yang mau download buku ini silakan di sini I