Judul buku: Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggala; Penulis: Ahmad T. Kuru; Penerjemah: Febri Ady Prasetyo; Penerbit: KPG; Terbit: 30 Desember 2020; Tebal: 516 halaman; Ukuran: 140 mm x 210 mm; ISBN: 9786024815172
Setelah peristiwa ledakan bom di gedung menara kembar WTC, Amerika, 20 tahun yang lalu, semua mata dunia tertuju kepada kaum Muslim. Rentetan ledakan “bom agama” setelah itu, yang terjadi di banyak tempat di planet bumi ini, termasuk di Indonesia (bom Bali, JW Marriot, Ritz Carlton, Kuningan, Bursa Efek, Plaza Atrium, Thamrin Sudirman, dan lain-lain) seolah memandang ke arah kaum Muslim sebagai “tertuduh” dengan label-label peyoratif dan sekaligus reduksionis (berlebihan dan tidak proporsional).
Segera para sarjana, Barat dan Muslim, memproduksi analisis fenomena radikalisme post-modern di perempat pertama abad 21. Hasilnya, dua faktor utama: internal dan eksternal. William Cavanaugh, melalui The Myth of Religious Violence (2009), yang kemudian diperkuat oleh Karen Amstrong, melalui Fields of Blood (2016) meyakinkan pembacanya bahwa agama pada dirinya sendiri tidak pernah menjadi sebab bagi radikalisme dan terorisme. Faktor-faktor eksternal seperti perebutan kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi, nasionalisme, militerisme dan hegemoni sains yang positivistik telah memancing agama untuk membuat ‘respons kekerasan’ atau ‘memekikkan perang’. Agama seringkali dijadikan senjata terakhir untuk semua kepentingan eksternal itu.
Berbeda dengan dua sarjana di atas, Charles Kimball melalui When Religion Becomes Evil (2002) dan John Pallmayer melalui Is Religion Killing Us? (2003) meyakini bahwa kekerasan dan terorisme agama memang berasal dari teks-teks primer agama itu sendiri (internal). Pallmayer misalnya, dengan cara yang sangat literal dan reduksionis menegaskan bahwa teks-teks dalam kitab suci Yahudi, Kristen dan Islam memang mendorong pembacanya untuk menyuburkan sikap permusuhan, dendam dan kebencian. Bahkan, kata Pallmayer, Tuhan Allah juga dengan jelas digambarkan melalui idiom-idiom kekerasan seperti “maha pengancam”, “maha pemurka”, dan “maha penyiksa”.
Padahal, jika dilihat lebih mendalam, teks-teks agama terbuka untuk penafsiran. Kata Alfred Stefan, ilmuwan ahli politik komparasi dari Amerika Serikat, semua agama adalah “multivokal,” sehingga, dapat ditafsirkan untuk pro-perdamaian atau pro-kekerasan. Artinya, agama tidak memiliki “esensi” yang konstan pada dirinya untuk mendukung tindakan kekerasan dan terorisme.
Hubungan Radikalisme, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan
Di akhir 2020, terbitlah edisi Indonesia buku terbaru Ahmet T. Kuru, orang Turki yang jadi Profesor Ilmu Politik di Universitas San Diego, Amerika, dari buku asal dengan judul Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison (2019). Ahmet Kuru (selanjutnya saya singkat AK) mengurai betapa rumit dan kompleks varian-varian dalam hubungan ketertinggalan kaum Muslim saat ini dengan tradisi kekerasan, konservatisme ulama, dan otoritarianisme negara.
Tidak ada faktor tunggal atau sekadar dua-tiga faktor yang dapat menjelaskan mengapa kaum Muslim tertinggal dalam banyak hal, terutama penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mari kita urai dan sederhanakan. Pertama, kolonialisme Barat atas negeri-negeri Muslim di Afrika dan Asia membangkitkan perlawanan kaum Muslim dengan jalan “kekerasan” untuk bisa merdeka dan mendapatkan kembali martabat mereka. Mohammed Ayoob, seperti dikutip AK, mencatat bahwa kolonialisme Barat menyebabkan populernya kelompok Islam radikal yang lebih tertarik kepada ide-ide Islam politik, dalam melawan kolonialisme, sembari berpaling dari kelompok ulama “pasif-moderat”. Akibat dari kolonialisme ini, paham dan sikap “Islam radikal” terus mencari bentuk-bentuknya yang baru, hingga hari ini, seiring dengan kemunculan model-model “kolonialisme modern”.
Menurut AK, salah satu yang paling menonjol dari kelompok itu adalah Wahabisme, yang perkembangannya didukung penuh oleh Klan Abdul Aziz bin Saud (Bani Saud). Meskipun awal mulanya Klan Syarif Husain yang bekerjasama dengan Inggris berhasil mengusir kolonialisme Turki Utsmani, ternyata Inggris lebih nyaman bekerjasama dengan Bani Saud.
Wahabisme dengan doktrin “tauhid murni” dan merasa paling benar tentang Islam, kata AK, cukup berhasil menghancurkan situs-situs penting bersejarah, termasuk beberapa makam sahabat Nabi, dan teks-teks Islam awal yang memuat informasi sangat penting. Kini gerakan “Salafi Wahabi”, dalam 20 tahun terakhir, sering menjadi pemicu konflik, kebencian dan permusuhan di antara banyak kelompok Islam di banyak negeri Muslim, termasuk di Indonesia. Banyak teroris yang memakai Jihadi-salafisme atau salafi-Wahabisme sebagai ideologi mereka.
Meski demikian, menurut AK, jika dituduh bahwa Islam radikal adalah penyebab banyak kekerasan global, hal itu tidak benar. Menurut AK, kekerasan adalah fenomena umum umat manusia, dari dulu hingga kini. Ada jutaan orang terbunuh dalam kekejaman bersejarah yang dilakukan oleh berbagai kelompok etnis, suku, ras, atau atas nama negara, tidak semata agama, dari pembantaian oleh bangsa Mongol, kekejaman Nazi, penjajahan Jerman, Amerika, Turki Utsmani hingga dua perang dunia. Karena itu, tepat sekali Graham Fuller melalui karyanya, A World Without Islam (2010) menegaskan bahwa ada atau tidak ada Islam (yang kerap dituduh sebagai sumber kekerasan global) dunia ini akan tetap diwarnai oleh kekerasan, permusuhan dan perang yang sangat mungkin dilakukan oleh berbagai imperium, kekaisaran, atau negara-bangsa (nation-state).
AK juga menunjukkan data, misalnya imperium Britania, dalam sejarah, telah menyerbu, menguasai, atau bertempur di wilayah kira-kira 171 dari 193 negara anggota PBB di dunia kini. Pada 2006, Amerika Serikat memiliki 833 instalasi militer di seratus lebih negara dan wilayah. Pada 2012, pengeluaran militer AS adalah 682 miliar dollar, 39 persen dari seluruh pengeluaran militer dunia. Untuk apa dana militer sebanyak itu? Untuk perdamaian atau perang?
Kedua, faktor hegemoni ulama abad pertengahan. Pandangan dan sikap keagamaan kaum Muslim modern saat ini sebagian besar merujuk kepada produk ulama abad pertengahan, termasuk dalam soal politik, budaya dan ekonomi. Sulit melepaskan diri dari “tafsir religius” mereka karena mereka, baik ulama Sunni maupun Syi’ah, telah memonopoli penafsiran Islam dalam jangka waktu yang sangat lama.
Mereka juga membuat syarat ijtihad (membuat gagasan baru) dengan kualifikasi yang sangat berat dan tinggi, sehingga banyak ulama muda kehilangan kreativitas. Yang bisa dilakukan oleh ulama senior dan yunior di era modern adalah merawat tradisi Islam abad pertengahan itu ketimbang memproduksi perspektif Islam yang baru. AK menunjukkan hasil survey Pew Research Center 2013 yang menjelaskan persentasi yang sangat tinggi di negara-negara Muslim di Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara yang mendukung hukuman mati bagi orang yang keluar dari Islam (murtad) dan mendukung penerapan syariah produk pemikiran ulama abad pertengahan.
Jika ada ulama muda atau sarjana Muslim kontemporer mengajukan tesis baru tentang Islam yang berbeda, maka tak segan para ulama senior memusuhi bahkan menghukum mereka. Para ulama itu, selama berabad-abad, juga “mengunci” beberapa doktrin Islam yang pokok hanya untuk satu arti (pemahaman) tunggal; tidak boleh diartikan lain. Padahal Al-Qur’an dalam banyak ayat-ayatnya “membuka” atau “memberi ruang” untuk kemungkinan pemahaman lain, tetapi sudah “dikunci” oleh para ulama itu. Mayoritas Muslim yang tidak mendalami agama secara akademik, tidak hanya mengikuti mereka (taqlid), namun juga ikut memperkuat dan menyebarkannya. Konservatisme religius inilah, menurut AK dan banyak sarjana Muslim modern lain, yang menjadi alasan utama mengapa pemikiran Muslim menjadi stagnan selama berabad-abad.
Dalam konteks Indonesia, sepanjang 1970-an hingga 1990-an, beberapa “pembaharu” sebenarnya telah menawarkan ide-ide “Islam segar” yang “melampaui” tradisi Islam supaya kaum Muslim bergerak ke arah progres. Harun Nasution, misalnya, mengkampanyekan “Islam rasional”, Nurcholish Madjid dengan peradaban dan kosmopolitanisme Islam, Dawam Rahardjo dengan “sekularisasi Islam”, Munawir Syadzali dengan “Reaktualisasi Islam”, juga ada Ahmad Wahid dan Johan Effendi. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, selain mengkampenyekan “pribumisasi Islam” vis a vis modernisasi destruktif juga sudah sejak lama mengajak kaum Nahdliyyin tradisionalis untuk tidak melulu bermazhab qawliyyan (taqlid madzhabi).
Tetapi yang terpenting adalah mengeksplorasi madzhaban manhajiyyan: bagaimana kaum Muslim “meminjam” metodologi ulama abad pertengahan atau betul-betul merumuskan metodologi baru dalam menghadapi isu-isu keislaman dan kemodernan. Yang kita cermati adalah metodenya dalam melahirkan produk, bukan hasil verbalnya.
Ketiga, otoritarianisme negara. Banyak negara Muslim umurnya masih muda. Mereka mendapat kemerdekaan dari kolonialisme rata-rata di pertengahan abad 20, dan ketika membentuk negara, apakah Republik atau Kerajaan, banyak yang jatuh menjadi “rezim otoriter”. Dalam sepanjang sejarahnya, menurut AK, otoritarianisme pada negeri-negeri Muslim, apakah sistem negara mereka sekuler, Republik atau Islami ternyata melahirkan banyak konflik sipil, bahkan terorisme.
Pada sebuah negara yang otoriter, kekerasan lebih mungkin dilakukan oleh pemerintah berkuasa maupun oposisi. Di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia di era Orde Baru, rezim otoriter bertahan dengan menindas oposisi, menyebabkan oposisi balik melawan dengan menggunakan kekerasan juga. Dalam kondisi kekerasan timbal balik itu, kelompok-kelompok moderat pro-damai, apakah kelompok religius atau nasionalis, memiliki sedikit peluang saja untuk bertahan daripada dalam kondisi demokratis.
Tentu saja, ada banyak varian dan kompleksitas, selain tiga faktor di atas, yang dapat menjelaskan mengapa kaum Muslim sepanjang dua abad terakhir tertinggal dari negeri-negeri maju. Ahmet Kuru hanya ingin berfokus pada “tiga lingkaran setan” di atas: konservatisme religius elit Islam, otoritarianisme, dan radikalisme, yang harus kita pertimbangkan secara serius. Tiga hal besar di atas dengan segala konsekuensi yang mengikutinya menyebabkan kaum Muslim sulit mengembangkan pendidikan yang lebih luas, kreativitas dan nalar yang lebih terbuka, keberanian mengemukakan pendapat, dan seterusnya.
Selanjutnya: