Dewasa ini, kehidupan kita cenderung dalam ketegangan. Gesekan demi gesekan menimbulkan perselisihan yang berpotensi terjadinya perpecahan. Keharmonisan sosial yang melekat dalam pergaulan lambat laun pudar. Sikap saling curiga, ketidakpercayaan bahwa kita adalah saudara yang dilahirkan dari rahim yang sama (Indonesia) mengkibatkan kerukunan sedikit terusik.
Dulu, rasanya kita hidup tanpa rasa curiga, rukun, berdampingan. Bahkan kita bisa bercanda dengan tema apapun, termasuk tema yang terbilang sensitif, yakni agama. Puthut EA dalam buku Sastrawan Salah Pergaluan dengan apik mengkisahkan adik kelasnya di Fakultas Filsafat UGM, Unggun Hakmi namanya. Teman-teman memanggilnya dengan panggilan Katolik, karena ia memang beragama Katolik. Hal yang seperti ini, dulu biasa saja. Kalau sekarang mungkin sudah dianggap penistaan agama. Nggak asyik lagi.
Alkisah, suatu saat Katolik bersama teman baiknya, seorang muslim cerdas, namanya Kardono, didatangi oleh rombongan aktivis jamaah tabligh di kosnya. Mereka mengajak Katolik dan Kardono untuk sholat berjamaah di masjid terdekat. Kardono dengan cekatan bilang kalau dia beragama Katolik. Lalu ia menunjuk ke arah Katolik dan berujar “kalau dia Islam, Mas.”
Para aktivis jamaah tabligh pun bergegas menuju Katolik lantas memberi wejangan agar Katolik mau diajak sholat berjamaah di masjid. Katolik hanya plonga-plongo tidak paham maksud mereka sambil mengumpat dalam hati. Sementara Kardono melarikan diri, melipir keluar dari kamar. Kejadian semacam itu tampaknya kini sudah sulit dijumpai, bercanda dan gasaki teman dengan tema sensitif (baca: agama) boleh jadi sudah dianggap tabu. Padahal bercanda perlu untuk merekatkan pertemanan dan persaudaraan.
Selain kisah kocak Katolik, ada banyak kisah yang lain dalam buku ini yang akan membuat perut pembaca sakit, karena tak henti-hentinya tertawa. Memang semua tulisan Puthut EA dalam buku ini disajikan untuk menghibur para pembaca agar hidupnya tidak dalam ketegangan yang berlebihan, agar selalu bahagia.
Kehidupan para sastrawan Jogja mulai dari Butet Kertaredjasa, Ong Harry Wahyu, Andy Eswe dikisahkan oleh Puthut EA dengan bahasa yang lugas, tidak bertele-tele, mengalir, renyah. Yang membuat buku ini berbeda dengan buku lain ialah penggunakan bahasa Jawa pada beberapa percakapan. Dengan dimasukkannya bahasa Jawa pada cerita-cerita dalam buku ini membuat suasana hidup. Jika buku ini tidak dibumbui dengan bahasa Jawa sama sekali saya rasa akan mengurangi keasyikan untuk membacanya. Bahasa Jawa inilah yang kadang mampu meledakkan tawa para pembaca.
Ada 16 bab dalam buku ini, pada setiap babnya mengandung keunikan dan humor berbeda. Di antara para tokoh yang mendominasi dalam buku ini adalah Andy Eswe. Sebenarnya Puthut EA pernah menuliskan perihal Andy Eswe ini di akun Facebook-nya, tapi cerita pada buku ini tetap saja enak dan layak untuk dibaca. Entah karena cara bertutur Puthut EA yang asyik atau karena Andy Eswe yang terlampau unik dan antik.
Buku ini perlu dibaca oleh setiap orang yang mendambakan kebahagian dan kedamaian. Semua cerita dalam buku ini mengandung humor yang renyah, serenyah krupuk bunder. Buku kepala suku Mojok kali ini betul-betul menyajikan hiburan kelas wahid, setiap babnya mengundang gelak tawa.
Meski ada 16 bab dalam buku ini, para pembaca tidak perlu berlama-lama meyelesaikannya, karena setiap bab cerita yang disajikan tidak panjang. Kiranya, cukup 30 menit, ditemani secangkir kopi, pembaca dapat menuntaskannya. Terima kasih, Puthut EA, telah mengajak kami tertawa bersama para “sastrawan gila”.
Judul : Sastrawan Salah Pergaulan
Penulis : Puthut EA
Penerbit : Buku Mojok
Terbitan : 2019
Tebal : vi +106 hlm
ISBN : 978-623-7284-08-6