Bagaimana kita mendekati suatu tema, persoalan, diskursus, atau wacana, akan menentukan apakah wacana tersebut menjadi menarik atau hanya bersifat repetitif belaka. Dengan metode pembacaan yang baru, diskursus lama akan mampu menyuguhkan perspektif-perspektif baru yang bisa memperkaya horizon berpikir para pembaca. Tapi sebaliknya, dengan metode pembacaan lama, diskursus baru pun akan tampak usang dan kehilangan makna kebaruannya. Dengan pendekatan baru, persoalan-persoalan klasik akan tetap bisa memberi kita makna-makna baru yang relevan dengan problematika yang tengah kita hadapi dewasa ini. Sebaliknya dengan pendekatan lama, persoalan-persoalan baru pun kehilangan relevansi dan aktualitasnya untuk menjawab problem aktual kita hari ini. Pertanyaan bagaimana biasanya berhubungan dengan epistemologi atau metodologi.
Sebagaimana judulnya, Think Outside The Box, Mun’im Sirry mendiskusikan puspa ragam persoalan lama, bahkan tema-tema yang mungkin sudah menjadi klasik dengan pendekatan baru. Mun’im berupaya mengolah berbagai pemikiran para sarjana, baik klasik maupun kontemporer dalam rangka menawarkan perspektif alternatif bagi para pembaca. Dengan berpijak pada gagasan-gagasan brilian para ilmuwan, Mun’im mencoba menyuguhkan penjelasan, solusi, dan jawaban-jawaban alternatif yang kontekstual dengan berbagai problematika yang tengah dihadapi masyarakat kontemporer. Dengan alasan inilah, Thinking Outside The Box itu diperlukan sebagai cara berpikir secara kreatif dan inovatif untuk menemukan argumen alternatif.
Buku ini mendiskusikan pelbagai wacana, seperti Al-Qur’an, Makna dan Lafaz, Sejarah Teks Al-Qur’an, Tafsir dan Alkitab, Nikah Beda Agama, Pluralisme Agama, Pluralisme Cantwell Smith serta Catatan Serba-Serbi. Karena itu, dalam tulisan ini, saya hanya akan mengulas wacana tentang pluralisme agama dan gagasan pluralisme Cantwell Smith secara sekilas.
Menurut Mun’im, dalam pengertian deskriptif, pluralitas dan pluralisme memang sama. Dua istilah tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan adanya keragaman agama atau perbedaan agama. Dalam pengertian ini, maka pluralisme bukanlah sesuatu yang kontroversial karena semata mengakui kenyataan adanya keragaman agama.
Namun demikian, dalam perbincangan di kalangan sarjana dan teolog, ketika istilah “pluralisme agama” digunakan, maka yang dimaksud bukan pengertian deskriptif melainkan prinsip normatif dan filosofisnya. Yakni, pluralisme agama bukan semata pengakuan terhadap fakta adanya keragaman agama di muka bumi, tapi juga sebuah gagasan yang mengapresiasi keragaman itu sebagai bernilai Positif. Artinya, keragaman agama dalam dirinya sendiri merupakan sesuatu yang baik karena merupakan karunia Ilahi.
Dalam pengertian ini, pluralisme bukan istilah netral dan deskriptif tentang kenyataan adanya pluralitas agama. Pluralisme merupakan sebuah gagasan yang mendukung dan memberikan penilaian positif terhadap fenomena perbedaan agama. Gagasan pluralisme agama yang menyikapi pluralitas secara positif merupakan salah satu solusi terhadap ketegangan dan permusuhan yang dipicu oleh kenyataan adanya keragaman agama itu. Secara konseptual, pluralisme adalah suatu upaya teologis untuk menyelesaikan problem keragaman, baik pada level praktis maupun teoretis.
Secara praktis, gagasan pluralisme agama menuntut kaum pluralis (pendukung pluralisme agama) bersikap aktif bergumul dengan agama-agama. Kita tak mungkin bersikap positif jika tak tahu apa-apa tentang agama lain yang hendak disikapi. Berbeda dengan sikap negatif yang, biasanya, muncul tanpa mempelajarinya, alias karena kebodohan. Dalam pepatah Arab disebutkan “al-nas adau ma-jahilu” (manusia adalah musuh dari apa yang tidak diketahuinya). Karenanya, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Sementara toleransi mengasumsikan kita dapat menolerir keberadaan agama lain yang kita tidak suka, pluralisme berbasiskan sikap apresiasi dan menilai perbedaan agama bersifat positif.
Sikap apresiatif terhadap agama yang berbeda diharapkan dapat menumbuhkan relasi yang saling menghargai. Memang, orang masih bisa menghargai orang lain yang berbeda agama kendati menganggapnya “sesat, “kafir”, “penghuni neraka” dan seterusnya. Namun, relasi yang didasarkan pada penilaian dan sikap positif dipastikan lebih kuat dan genuine, karena fondasinya mendukung.
Secara teoretis, pluralisme agama tidak didasarkan pada premis untuk menyamakan agama. Sudah terang benderang bahwa agamaa-agama itu berbeda. Jadi, tujuannya bukan untuk mencapai kesepakatan bahwa semua agama adalah sama. Sebaliknya, keragaman itu perlu diselebrasi, dirayakan, dan disyukuri sebagai desain Ilahi. Kalau menggunakan bahasa al-Qur’an (QS. 5:48), jika Tuhan menghendaki, tak ada yang sulit bagi-Nya menjadikan seluruh umat manusia menganut satu agama. Tapi bukan itu yang dikehendaki-Nya. Jadi, keragaman agama merupakan kehendak Tuhan sendiri.
Bagi pendukung gagasan pluralisme agama, kebhinekaan merupakan dimensi yang melekat pada kehidupan umat manusia dan dibenarkan oleh kekuatan Ilahi. Tentu saja, kaum pluralis punya pandangan dan visi yang berbeda-beda tentang apa yang mereka maksud dengan sikap apresiatif terhadap keragaman, terutama manakala terkait isu kebenaran. Sebagaimana didiskusikan dalam buku ini, kalangan pluralis mengajukan argumen beragam soal keselamatan penganut agama lain (dengan kata lain, apakah mereka bisa masuk surga atau tidak).
Terlepas dari perbedaan argumen itu, mereka bersepakat bahwa realitas keragaman tidak boleh direduksi dan dieliminasi sehingga hanya menjadi kebenaran tunggal. Menafikan keragaman agama berarti tidak menerima kehendak Tuhan dan mengingkari kebutuhan manusia untuk berkembang.
Yang terakhir ini didasarkan pada keyakinan bahwa watak kemanusiaan kita cenderung berkembang bersama-sama dengan yang lain, bukan sendirian. Dan pluralisme agama tidak semata mengakui opsi-opsi keagamaan yang tersedia di dunia. la juga sebuah gagasan bahwa keragaman pengalaman hidup manusia merupakan semacam “waduk” yang darinya mengalir curahan air kehidupan yang dapat menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan, pada akhirnya, membawa kesejahteraan bagi seluruh jagad raya.
Kemudian Mu’im menurunkan beragam tipe pluralisme dari berbagai pakar. Muhammad Legenhausen, dalam artikelnya berjudul “On the Plurality of Religious Pluralism”, menyebut tujuh macam pluralisme agama. Yang pertama disebut “Soteriological religious pluralism”. Yakni, paham pluralisme yang menekankan pada aspek jalan keselamatan: Setiap agama mengajarkan dan menyediakan hidayah menuju surga (keselamatan). Jadi, penganut setiap agama bisa mendapatkan keselamatan melalui ajaran agamanya, kendati pun jalan yang disediakan satu agama boleh jadi lebih mudah dari yang lain.
Tipe kedua disebut “normative religious pluralism”. Yakni, setiap agama memiliki nilai-nilai kebaikan yang perlu direspons secara positif. Kenyataan bahwa masing-masing agama memiliki ajaran berbeda bukanlah alasan untuk menyingkirkan atau mengutuknya. Pandangan ini disebut “normatif” karena menekankan pada martabat manusia yang diajarkan dalam setiap agama. Ketiga, “epistemological religious pluralism” memandang bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam setiap agama dapat dijustifikasi berdasarkan kriteria epistemologis tertentu. Misalnya, soal keesaan Tuhan. Pada intinya, menurut pendukung pola ini, keesaan itu ada dalam setiap agama, walaupun diekspresikan berbeda-beda.
Keempat, “alethic religious pluralism” menekankan pada aspek kebenaran (truth) dalam agama. Yakni, tipe pluralisme agama yang menegaskan bahwa kebenaran dalam setiap agama itu setara (equal), alias sama-sama benar. Paham pluralisme ini menolak asumsi adanya superioritas satu agama atas agama lain. Persoalan yang kerap dimunculkan terkait paham pluralisme ini ialah keberadaan klaim-klaim yang bertentangan antara satu agama dan agama lain. Klaim-klaim yang bertentangan secara logis ini biasanya dikenal dengan istilah “dialethism,’ sesuatu yang diterima di kalangan Sufi, seperti Ibnu Arabi. Kaum pluralis tipe ini biasanya menjelaskan bahwa pertentangan klaim kebenaran merupakan refleksi keterbatasan manusia menggapai Kebenaran Absolut (Yang Riil). Ada juga kalangan pluralis yang berargumen bahwa kesetaraan kebenaran ada pada level tertentu.
Kelima, “ethical religious pluralism”. Pluralisme ini menegaskan kesamaan dalam hal ajaran-ajaran etis dan moral. Moralitas yang diajarkan masing-masing agama adalah baik dalam standardnya sendiri-sendiri. Tipe keenam cukup mirip dengan sebelumnya karena menekankan pada aspek praktis; namun bukan soal moralitas, melainkan kewajiban. Tuhan mewajibkan penganut agama untuk melakukan perbuatan tertentu yang diajarkan dalam agama itu. Tipe pluralisme ini disebut “deontological religious pluralism.”
Tipe terakhir ialah “hermetic religious pluralism”. Pluralisme ini melihat sisi terdalam dari tradisi agama. Perbedaan agama-agama tidak diingkari, namun perbedaan tersebut dianggap (hanya) bagian luarnya (eksoteris). Pada sisi terdalam (esoteris), agama-agama yang berbeda memiliki kesamaan. Misalnya, semua agama yang berbeda menuju ke satu tujuan yang sama, yakni kebajikan parenial yang terdiri dari berbagai prinsip metafisik. Tipe pluralisme ini biasanya diasosiasikan dengan kaum perenialis, seperti René Guénon dan Frithjof Schuon, dua nama yang disebutkan oleh Legenhausen.
Menarik dicatat, Legenhausen memang tidak menyebut nama-nama kaum pluralis yang merepresentasikan setiap tipe, kecuali John Hick yang disebutnya mewakili tipe keempat. Berbeda dengan Legenhausen, Anselm Kyongsuk Min memetakan keragaman pluralisme agama dengan menunjuk para penggagas. Dalam artikelnya berjudul “Dialectical Pluralism and Solidarity of Others”, Min menyebut secara singkat tipologi pluralisme sebagai berikut.
Pertama, “phenomenalist pluralism” yang diwakili oleh John Hick and Paul Knitter. Pluralisme model ini melihat agama-agama sebagai respons fenomenal yang beragam terhadap realitas transendental yang sebenarnya tak dapat sepenuhnya dideskripsikan. Model pluralisme kedua disebut “universalist pluralism”. Pendukung pluralisme ini termasuk Leonard Swidler, Wilfred Cantwell Smith, Ninian Smart, Keith Ward, dan David Krieger. Mereka mengusulkan didasarkan pada pentingnya teologi universalis yang Pengetahuan yang diperoleh dari sejarah agama-agama.
Ketiga, “ethical atau soteriocentric pluralism” diusulkan oleh Rosemary Ruether, Marjorie Suchocki, Tom Driver, dan Paul Knitter, yang menekankan pada prinsip keadilan sebagai barometer semua agama. Model berikutnya ialah “ontological pluralism” yang dikembangkan oleh Raimon Pannikar, menegaskan bahwa pluralisme bukan hanya terkait keragaman pengetahuan, melainkan diri kita sendiri juga beragam. Terakhir adalah “confessionalist pluralism” yang diusung oleh Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann, J.A. DiNoia, John Milbank, dan Kenneth Surin. Mereka tidak mempersoalkan kekhasan masing-masing agama, termasuk dalam menegaskan klaim kebenarannya sendiri-sendiri.
Anselm Min mengusulkan pluralisme lain yang disebutnya “dialectical pluralism” Keseluruhan artikelnya memang dimaksudkan untuk mengelaborasi model pluralisme ini. Secara singkat, “pluralisme dialektis” hendak meneguhkan pentingnya menerima perbedaan antara satu dan agama lain, namun juga melihat interaksi dialektis sepanjang sejarah. Tak ada agama yang muncul sendirian, tumbuh dan berkembang secara terisolasi dari agama lain. Menurut Min, jika interaksi antar-agama ini dipahami dengan baik, maka akan memunculkan sikap solidaritas dari para penganutnya. Solidaritas yang dimaksud di sini bukan sikap yang mengekspresikan perhatian kepada yang lebih rendah, tapi dibangun dari kesetaraan sudut pandang.
Beberapa sarjana lain, seperti John Cobb, David Ray Griffin dan Mark Heim, tidak puas dengan berbagai model pluralisme, sebagaimana disebutkan di atas. Mereka mengusulkan apa yang disebut “deep pluralism”. “Pluralisme dalam” ini mempertanyakan apakah keragaman agama dapat direduksi pada perbedaan ekspresi dari Kebenaran Absolut atau Puncak (ultimate). Cobb bertanya secara retoris, bagaimana jika The Ultimate sendiri sebenarnya tidak tunggal, melainkan juga beragam? Keragaman Kebenaran Puncak yang dipersepsikan masing-masing itu riil, bukan hanya soal persepsinya yang berbeda.
Dengan alur argumen yang sama, Mark Heim menegaskan bahwa perbedaan jalan keselamatan yang digambarkan setiap agama itu sangat nyata. Jadi, bukan semata ekspresi berbeda dari satu hal (misalnya, surga) yang sama. Barangkali, Heim membayangkan surganya orang Kristen dan surganya orang Islam nanti berbeda. Karenanya, dia memberi judul bukunya, Salvations (Keselamatan), dalam bentuk jamak, bukan tunggal.
Mun’im mengusulkan satu lagi model pluralisme: “Critical pluralism.” Istilah “pluralisme kritis” biasanya digunakan oleh sarjana ilmu politik, tapi di sini dapat dimaknai sebagai evaluasi kritis terhadap argumen pluralisme agama, sebagaimana dikembangkan kaum pluralis, termasuk soal partikularitas agama dan persamaannya, serta bagaimana menjelaskan ketegangan antara keduanya. Pluralisme kritis bisa dimulai dari hal paling dasar: Apakah ada mekanisme eksternal dari agama-agama itu sendiri untuk menunjukkan benar tidaknya suatu doktrin atau ajaran agama? Kenapa pertanyaan ini penting, karena kita kerap mengukur kebenaran berdasarkan standard agama kita sendiri.
Mekanisme eksternal bisa berbentuk nilai-nilai universal yang tidak harus bersumber dari agama. Misalnya, penghargaan nilai-nilai kemanusiaan. Juga, bisa berbentuk “outcome” dari praktik keagamaan. Apakah agama “A” dianggap superior daripada agama “B” padahal keduanya telah menginspirasi masing-masing penganutnya untuk berperilaku salih dalam kehidupan individual maupun sosial? Pluralisme kritis juga dapat menguji legitimasi kritik-kritik yang selama ini telah dilancarkan pada beragam model pluralisme.
* * *
Selanjutnya kita masuk pada gagasan pluralisme Cantwell Smith. Mun’im mengeksplorasi gagasan pluralisme Cantwell Smith dengan cukup luas dalam sembilan tulisan berseri, dari kajian serius Smith terhadap Islam, pendekatan personalis Smith dalam mendekati agama-agama, proyek rethinking agama, kritik terhadap orientalisme yang dilakukan Smith satu dekade sebelum Edward Said, sampai gagasan Smith tentang teologi dunia/global.
Membaca buku-buku Smith memang sangat menggairahkan nalar. Saya sendiri punya pengalaman sedikit menggeluti beberapa buku Smith. Awalnya pengalaman kuliah dengan Pak Amin (panggilaan akrab Prof. Amin Abdullah). Beliau memberi salah satu buku Smith, Islam in Modern History kepada kami di kelas untuk dibahas. Kata Pak Amin,”Buku Smith ini memang sudah setengah abad terbitnya, tapi ide-ide yang digulirkan masih relevan untuk didiskusikan hari ini. Smith seringkali berangkat dari masa silam, tapi untuk kepentingan masa depan. Smith kadangkala mampu melihat sesuatu yang mencerahkan dalam Islam yang tidak bisa kita lihat. Karena itu, kita perlu menelaah pandangan-pandangannya tentang Islam.”
Setelah itu, saya mencari buku-buku Smith yang lain, seperti The Meaning and End of Religion, What is Scripture, dan Faith and Belief. Ternyata semua buku-buku Smith yang saya baca sangat inspiratif. Smith mampu menyajikan ide-ide yang sangat menyentak kesadaran dan di luar dugaan saya. Puncak gagasan Smith adalah teologi dunia yang dibahas oleh Mun’im dalam bukunya.
Menurut Mun’im, dari fakta bahwa di dunia ada lebih dari satu agama, Smith merancang proyek baru merumuskan apa yang dia sebut “teologi dunia/global” (world theology). Untuk proyek itu, dia menulis buku trilogi (3 buku yang saling terkait), yakni Belief and History (1977), Faith and Belief (1979), dan Toward a World Theology (1981).
Argumen utama buku Toward a World Theology ialah bahwa teologi seharusnya merangkul semua agama atau, Secara resiprokal, dirangkul oleh semua agama. Penggunaan istilah “world theology” mengisyaratkan keinginan Smith agar agama-agama berada dalam tataran yang sejajar dan memperhatikan kemanusiaan global. Karenanya, dia tidak menggunakan istilah teologi Kristen tentang agama-agama misalnya, atau “teologi Islam tentang agama lain,” dan seterusnya.
Baginya, teologi dunia mengatasi sekat-sekat kategoris “Hindu”, “Budha”, “Yahudi”, “Kristen”; atau “Islam”. Sebaliknya, visi teologi yang dibayangkannya merupakan akumulasi dari masing-masing tradisi agama tanpa mengorbankan bagian dari kebenaran yang dipercaya dalam agama-agama itu.
Jadi, “teologi Kristen” atau “teologi Islam,” kata Smith, tidak memadai untuk merespons keragaman agama yang menjadi ciri masyarakat kontemporer. Sebab, teologi semacam itu hanya didasarkan pada satu tradisi keagamaan di tengah-tengah keragaman masyarakat beragama di dunia.
Menurut Mun’im, proyek Smith memang ambisius (dalam pengertian positif!). Dia mengimpikan suatu teologi bagi seluruh masyarakat dunia, bukan bagi penganut agama tertentu apalagi segelintir dari penganut agama tertentu. Itulah yang dia maksud dengan teologi perbandingan agama. Yakni, bukan membanding-bandingkan, melainkan suatu teologi yang dikonstruksi oleh semua dan dapat diterima serta relevan bagi semua.
Atas dasar apa Smith merumuskan teologi dunia tersebut? Apakah proses “pertemuan” agama-agama itu dimungkinkan? Smith yakin itu bisa terjadi karena tiga alasan.
Pertama, berbasis gagasan yang dikembangkan dalam karya-karya sebelumnya tentang pentingnya “faith/iman untuk mempertemukan agama. Substansi dari agama, katanya, bukan terletak pada doktrin, kredo, atau praktik ritual, melainkan keimanan personal. Iman merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada semua kaum beriman, apapun agamanya. Sebagai karunia Ilahi, iman semua kaum beriman itu identik, yaitu “berkah pemberian Tuhan” (grace).
Memang, iman diekspresikan berbeda dalam setiap tradisi agama. Namun demikian, intinya sama. Yakni, kualitas personal sebagai respons pada Yang Transenden atau Kebenaran. Karenanya Smith membedakan antara “faith” dan “belief” Yang pertama bersifat internal, yang terakhir merupakan ekspresi historis (eksternal). Faith merupakan karunia Ilahi, sementara belief dipengaruhi oleh sejarah.
Smith menolak istilah iman Kristen’ atau “iman Islam”. Yang benar, menurutnya, iman dalam Kristen atau iman dalam Islam. Iman kaum berbeda agama (hanya) berbeda bentuk, bukan jenis. Secara jenis, ia bersifat universal, namun diekspresikan dalam bentuk berbeda-beda. Dan tradisi agama merupakan akumulasi dari eskpresi iman yang berbeda-beda itu.
Poin yang ingin disampaikan Smith ialah bahwa iman (faith) itu identik dalam semua agama dalam arti bahwa ia menjadi basis dari ekspresi keberagamaan yang berbeda (tradisi kumulatif). Aspek universalitas iman itulah yang, bagi Smith, menyediakan framework bagi pertemuan agama-agama.
Kedua, kesinambungan (interkoneksi) sejarah agama. Betul, agama itu beragam. Jangankan antar agama, bahkan juga secara internal. Namun, sejarah agama-agama yang beragam itu saling terkait. Tak ada agama yang lahir dalam kevakuman, tak terkait dengan agama sebelumnya. Karena ketersambungan sejarah, maka agama-agama yang berbeda cenderung memiliki kesamaan yang banyak hal, baik itu cerita atau aspek-aspek hukum.
Perlu ditekankan di sini, Smith tidak menyamakan semua agama. Dia mengakui fakta bahwa agama-agama itu berbeda! Jadi, yang dia maksud bukan “unity of religions” (kesatuan agama), melainkan “unity of religious history” (kesatuan sejarah agama). Mengatakan bahwa agama A dan agama B memiliki kesamaan sejarah tidak berarti keduanya sama dan identik. Kesatuan sejarah agama semata untuk meneguhkan bahwa secara historis agama-agama itu terkait satu dengan yang lain.
Jika dikaitkan dengan poin pertama, maka sejarah agama-agama adalah sejarah karunia dan pemberian Ilahi dan respons manusia terhadapnya. Tugas teologi dunia/global, kata Smith, mengeksplisitkan kesatuan sejarah agama itu agar terbuka jalan bagi partisipasi penganut suatu agama berinteraksi dengan penganut agama lain. Kalau menggunakan bahasa umum: “Wong punya sejarah yang sama koq berantem terus, piye?”
Ketiga, kesadaran bahwa kita hidup di tengah-tengah, dan menjadi bagian dari, masyarakat global. Kita tak hidup sendirian. Kesadaran itu menuntut kita mengetahui dunia di sekitar kita. Kita perlu dan harus tahu dan memahami apa yang diimani atau yang menjadi pandangan-dunia tetangga kita atau teman kerja kita yang berbeda agama, misalnya. Dari memahami apa yang diimani tetangga kita itu, kita akan menyadari bahwa iman kita sendiri sebenarnya bagian dari keimanan masyarakat global/dunia.
Untuk menumbuhkan kesadaran itu, diperlukan pemahaman setahap demi setahap. Tahap pertama, ndak apa-apa kita melihat agama lain sebagai sistem kepercayaan yang berbeda. Tahap berikutnya, kita melihat agama lain sesuai dengan bagaimana penganut agama itu memahami agamanya (jangan gunakan kategori kita untuk menghakimi agama orang lain!). Tahap ketiga, kita melihat agama kita sebagaimana orang lain memahami agama kita. Dan tahap terakhir, maka jadilah kita semua sama-sama tahu apa yang diimani dan dilakukan masing-masing.
Implikasi teologi dunia yang dicetuskan Smith akan mengubah cara kita melihat agama lain dan agama kita sendiri. Sebab, memahami yang lain sesuai dengan kategori mereka sendiri akan berujung pada pengetahuan yang tidak eksklusif “menurut saya”. Pengetahuan “menurut saya” perlu sejalan dengan pengetahuan “menurut mereka”. Ingat prinsip yang dipegang Smith: “Pernyataan saya tentang agama lain adalah benar, manakala penganut agama itu membenarkannya”. Pengetahuan semacam ini bersendikan pada saling pengertian, yang menjadi syarat bagi terwujudnya sikap saling menghormati. Pada akhirnya, “saling mengetahui” akan melahirkan konvergensi pemahaman.
Tapi menurut Mun’im, konvergensi pemahaman itu sulit diwujudkan tanpa adanya keterbukaan para pemeluk agama berbeda untuk memikirkan dan menafsirkan ulang postulat-postulat tradisi agama yang diwariskan dari masa lalu. Sebab, jika kaum beriman bersikukuh pada kebenaran yang didefinisikan para pandahulunya, maka sulit untuk melihat tradisi agama lain sebagaimana orang lain memahaminya. Apalagi untuk merumuskan suatu pernyataan yang dapat diamini banyak pihak. Salah satu problem kita adalah kita mewarisi tradisi masa lalu yang konservatif (conservative legacy of the past).
Hal itu berarti kita memang akan sulit berkembang seperti dibayangkan Smith, kalau setiap menghadapi masalah kita bereaksi: Wah itu sudah dibicarakan ulama-ulama kita terdahulu. Mereka sudah menuntaskan semuanya dengan metode yang tak perlu diragukan! Jika boleh menggunakan frasa anak sekarang: Reaksi semacam itu tipikal sikap “kaum sumbu pendek.” Karenanya, dapat dipahami, Smith beragumen bahwa faktor yang ketiga (yakni, soal pengetahuan yang menggabungkan “menurut saya” dan “menurut mereka”) melibatkan apa yang disebut “corporate critical self-consciousness” (masyarakat beriman yang punya kesadaran kritik-diri).
Dalam pembacaan Mun’im, istilah “teologi dunia” (world theology) layak memancing reaksi beragam karena mengajak orang melampaui tradisi agamanya sendiri. Sementara para teolog umumnya menjelaskan pandangan agamanya tentang agama lain, Smith mengajukan gagasan supaya mereka membangun sebuah teologi yang melintasi sekat-sekat keagamaan: merangkul semua dan dirangkul oleh semua.
Tentu saja implikasi dari teologi dunia yang diperkenalkan Smith bertentangan dengan klaim-klaim kebenaran eksklusif yang dianut oleh masing-masing pemeluk agama. Juga bertentangan dengan paradigma inklusivis yang menganggap agama tertentu sebagai pemenuhan norma-norma kebenaran yang dapat digunakan untuk mengevaluasi agama lain. Bagi Smith, kebenaran tidak terletak pada doktrin atau ajaran, melainkan pada iman orang yang menginternalisasi sebuah doktrin keagamaan.
Walaupun tesis tersebut telah berhasil mentransformasi studi agama ke level yang lebih dinamis, karena tidak berkutat pada doktrin dan ajaran baku, persoalan muncul dari cara Smith memberikan penekanan pada iman semata. Pada akhirnya, seperti dikritik Talal Asad, Smith terjebak pada esensialisasi tradisi keagamaan. Yakni, bahwa esensi agama adalah iman. Sesuatu yang Smith coba hindari.
Asad mempersoalkan tesis Smith yang mengabaikan praktik keagamaan. Meningkatkan praktik kesalihan hidup merupakan suatu upaya yang selalu dilakukan oleh kaum beriman. Bagi kaum Muslim, misalnya, menaati perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-Nya dipahami sebagai cara mewujudkan kesalihan beragama itu. Menurut Asad, kita tak akan bisa mambandingkan pengalaman keagamaan tanpa melihat secara serius peran yang dimainkan oleh praktik keagamaan yang membentuk pengalaman tersebut.
Kritik lain dapat dialamatkan pada kata kunci dalam gagasan Smith, yakni iman/faith.’ Smith menggunakan kata tersebut dalam berbagai deskripsi yang berbeda. Pertanyaannya, apakah Smith mempertimbangkan penggunaan kata iman/faith” sebagaimana digunakan kaum beriman sendiri? Menurut Mun’im, itu yang tak dilakukannya. Padahal, prinsip utama yang dipegangnya ialah “tidak membuat pernyataan tentang sualu agama kecuali dibenarkan oleh penganut agama itu.”
Orang juga dapat mengkritik pandangan Smith karena terlalu beraroma Kristen, terutama penekanannya pada iman/faith. Kita tak jarang mendengar orang Kristiani mengatakan bahwa iman (pada Yesus) bukan hanya cukup, melainkan juga sebagai satu-satunya yang dibutuhkan. Bagaimana mungkin Smith menggunakan kategori Kristen dan menganggapnya bersifat universal? Menurut Mun’im, kritik semacam itu wajar, walaupun sudah diantisipasi oleh Smith.
Dalam berbagai kesempatan dalam karya-karyanya, Smith tidak menyembunyikan kenyataan bahwa dia melihat dunia (dan agama-agama di dunia) sebagai seorang Protestan. Dia mengakui bahwa tak ada pandangan yang netral, apalagi menyangkut agama. Nah, untuk menetralisir pandangan yang bias itulah dia mengusulkan sebuah prinsip sebagaimana disebutkan di atas.
Prinsip tersebut sangat krusial bagi Smith dan teologi dunianya. Tanpanya tidak mungkin seseorang dapat memahami agama lain. Persoalannya, mungkinkah penganut agama (insider) dan orang luar (outsider) menyepakati suatu klaim keagamaan, sehingga dapat dikatakan klaim universal (karena dibenarkan oleh orang dalam dan orang luar)?
Jika menggunakan metode dekonstruksi, kita dapat mempersoalkan “klaim universal” yang dibayangkan Smith itu. Misalnya, kita dapat mulai dengan argumennya sendiri bahwa setiap pendapat itu mengandung bias karena dipengaruhi oleh konteks tertentu. Jika pernyataan orang dalam (insider) dan luar (outsider) dipengaruhi oleh konteks tertentu, maka ia dapat berubah karena pengaruh konteks lain. Dan jika suatu pernyataan terbuka untuk berubah, maka klaim tersebut tidak bisa dikatakan universal. Contohnya, si A dan si B hari ini sepakat, tapi belum tentu mereka akan sepakat besok.
Juga soal ketersambungan atau keterkaitan sejarah agama, sebagaimana disebutkan dalam tulisan sebelumnya. Bagi Smith, kesatuan sejarah agama (unity of religious history) itu penting ditekankan bagi upaya membangun teologi dunia. Pandangan itu juga penting untuk mendemontrasikan soal lain. Yakni, misalnya untuk konteks tiga tradisi Ibrahim, agama-agama itu lahir dalam iklim kultural yang sama. Yang dilupakan Smith ialah bahwa keterkaitan sejarah tidak berarti bahwa masing-masing tidak punya sejarahnya yang khas.
Mun’im memang agak terganggu dengan kecenderungan universalistik dalam gagasan Smith. Mun’im simpatik dengan argumen pluralisme agama, tapi bukan dalam pengertian universalistik yang diinginkan Smith. Dia menginginkan sebuah teologi dunia yang dibangun berdasarkan bagian-bagian dari semua agama. Mun’im khawatir, gagasan Smith ini akhirnya terjatuh ke dalam kategori “teologi sinkretik”.
Berbeda dengan Smith, Mun’im mendukung gagasan pluralisme agama dari argumen Islam yang ia anut. Banyak sarjana Kristen, seperti Jacques Dupuis, mengembangkan teologi pluralisme agama (theology of religious pluralism) dari sudut pandang Kristen.
Terlepas dari catatan kritis di atas, ide-ide Wilfred Cantwell Smith telah memberikan corak tersendiri dalam kesarjanaan modern tentang agama (Islam), perbandingan agama, dan pluralisme agama. Sepanjang hayatnya, dia memperlakukan obyek kajiannya dengan penuh keseriusan, sensitif, dan humanis. Membaca karya-karyanya, kita bukan hanya belajar soal kesarjanaan yang simpatik, tapi juga bagaimana menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa terkungkung oleh sekat-sekat agama. Pantas jika Bill Graham, guru besar di Harvard, pernah menjuluki Smith sebagai “scholar’s scholar” (sarjananya sarjana).
* * *
Sampai di sini, seperti biasa dengan membaca karya-karya Mun’im, kita senantiasa disuguhkan ‘something new’, sesuatu yang baru. Memang persoalan-persoalan yang dibahas Mun’im boleh jadi persoalan-persoalan lama bahkan persoalan-persoalan klasik. Namun persoalan-persoalan klasik itu dibombardir dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang baru dan refleksi-refleksi yang baru. Sehingga kita bisa melihat persoalan-persoalan lama dengan kacamata baru yang bersifat kritis-reflektif. Persoalan-persoalan klasik yang sebelumnya seolah-olah sudah usang atau selesai dibahas, ternyata dengan pendekatan kritis-reflektif membuka ruang untuk dipertanyakan, digugat, dikritisi atau diperkaya dengan data-data komparatif baru yang menjadikan persoalan-persoalan tersebut menjelma menarik kembali bagi kita yang menyimaknya.
Diskursus klasik itu ternyata belum selesai untuk kita diskusikan; belum tertutup tapi masih terbuka; belum berakhir dengan tanda titik (.) tapi masih terus berlangsung dengan tanda koma (,). Mengapa demikian? Karena karekter utama ilmu adalah selalu terbuka terhadap pertanyaan dan tilikan kritis, sekaligus pengkayaan, penambahan, dan pengembangan. Setiap ilmu tidak pernah tertutup, ilmu apa pun baik natural sciences, social sciences, philosophical sciences, maupun religious sciences. Namun gagasan-gagasan kritis itu hanya untuk orang-orang yang open-minded, bukan orang-orang yang closed-minded, rigid, dan tidak siap dengan sesuatu yang berbeda. Kalau Anda tidak siap dengan pemikiran kritis yang berbeda, lebih baik jangan membaca buku ini