Ahmad Khoiri*

Den welas asih ing sapapada. Itulah wasiat Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati yang dikutip oleh Darmawan dalam bukunya, Bersatu Bukan Berseteru; Belajar Kerukunan Beragama dari Sunan Gunung Jati. Wasiat yang artinya, “sepatutnya untuk saling mengasihi kepada sesama,” merupakan gambaran utuh bagaimana Walisongo mengajarkan hakikat Islam, melalui kearifan lokal; pluralitas Nusantara.

Di tengah hiruk-pikuk kondisi bangsa kita yang kisruh lantaran persoalan politik, wasiat tersebut sangatlah dibutuhkan, ibarat sebuah obat, yang hendak menyembuhkan penyakit kelupaan kita; lupa bahwa agama mengajarkan kedamaian, lupa bahwa keragaman merupakan identitas asal Nusantara, tanah air kita. Kalau pun agama mesti tegak, ia tidak menyudutkan entitas tertentu. Itulah gaya dakwah Walisongo.

Perbedaan ras, suku, dan agama seyogianya menjadi identitas unik bangsa kita. Selain karena Allah meniscayakan, seperti dalam surah al-Hujurât [49]: 13, juga karena sudah menjadi fitrah kita berinteraksi antarsesama, untuk saling melengkapi kebutuhan sosial. Sebagai jalan menuju kerukunan itu, kita mesti belajar terhadap segala hal. Ziarah, misalnya. Selain tabaruk, juga sebagai teladan memaknai keberagaman.

Dalam buku Bersatu Bukan Berseteru-nya tersebut, yang memfokuskan pada Sunan Gunung Jati, Darmawan bertolak dari tesis bahwa ziarah memegang peran penting dalam menciptakan kerukunan, bahwa sang waliyullah, yakni Sunan Gunung Jati, patut dijadikan teladan. Sekalipun beliau sudah wafat, wasiat-wasiatnya yang menyejukkan telah melahirkan kecintaan semua pemeluk agama, yang datang berziarah ke pemakamannya.

Atas fakta itu, Husein Ja‘far Al Hadar, dalam prolognya menelisik melalui perspektif antropologis bahwa ziarah menjadi ruang terbentuknya hubungan sosial penuh keakraban tanpa memetakan manusia ke dalam sekat-sekat identitas. Bahwa tidak semua situs ziarah mengakomodasi semua agama, itu adalah hal biasa. Yang jelas, situs ziarah Sunan Gunung Jati telah berhasil mendudukkan agama dalam derajat yang setara.

Kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati dulunya merupakan pusat kajian Islam, yang dikenal dengan ‘Setana’, di desa Astana, yang bermakna ikat erat. Darmawan mengaitkan tiga pintu yang ada; gapura, krapyak, dan pasujudan dengan makna sufistik. Setiap peziarah harus melewati pintu-pintu tersebut untuk sampai menuju ‘maqâm’. Pintu gapura disinyalir sebagai penyucian diri, serapan bahasa Arab ‘ghafara’ yang artinya ampunan (hlm. 54).

Sunan Gunung Jati mengajarkan, setidaknya, dual hal. Pertama, welas asih. Wasiatnya, “Insun titip tajug lan fakir miskin (Aku titip tempat ibadah dan fakir miskin)” ditafsirkan sebagai ajaran luhur perihal cipta kerukunan lintas iman, bahwa mengayomi orang miskin merupakan keniscayaan, lepas dari apapun agamanya. Kedua, kompleks pemakaman menunjukkan ornamen multireligius dan multikultur.

Kekhasan Nusantara mengejawantah melalui ornamen tersebut, seperti kaligrafi dan masjid Dog Jumeneng yang Islami, lonceng yang sarat menjadi simbol Kristiani, serta bagian bangunan yang beraksitektur lintas budaya. Dalam konteks demikian, ziarah menjadi bukti nyata tidak saja menjadi simbol keagamaan tertentu, melainkan kesatupaduan setiap elemen yang alih-alih menegasikan, justru saling melengkapi satu sama lain.

Ziarah di pemakaman Sunan Gunung Jati mengajari banyak hal, di antaranya, kerukunan umat beragama dan inspirasi nilai kemanusiaan. Kalau saja yang ‘mati’—dalam arti harfiah jasadnya—bisa menginspirasi terciptanya kerukunan antarumat, maka bagaimana buruknya bila yang hidup, akhir-akhir ini sulit sekali menyemai kedamaian? Betapa yang hidup mengunggulkan satu komunitas, dan menjatuhkan yang lainnya?

Sampai di sini mesti dipahami, bahwa dalam konteks realitas keberagama(a)n kita, buku tersebut menjadi otokritik yang mesti kita dengar. Disadari atau tidak, kita memang telah kehilangan identitas ke-Nusantara-an kita, yang menampilkan imej Islam yang santun, rahmatan li al ‘âlamîn. Ironi, hari-hari ini justru kita sendiri yang mencederai agama kita, dengan melahirkan stigma bahwa Islam menghalangi kita dari kerukunan.

Hakikat ajaran Islam yang dibalut kearifan lokal, yang oleh Cak Nur diistilahkan dengan ‘penetration pasifique’, senafas dengan narasi dialog antarumat dalam pandangan Hans Kung. Ia mengatakan, “Tiada kelanjutan hidup tanpa etika universal. Tiada etika universal tanpa perdamaian di antara kehidupan antaragama. Dan tidak ada perdamaian antara agama-agama tanpa dialog antarumat beragama.” (hlm. 68).

Narasi yang sama juga kita pelajari dari ziarah ke pemakaman Sunan Gunung Jati. Darmawan dengan lugas memaparkan bagaimana peziarah dari berbagai agama beriringan secara damai, baik Kristen, Konghucu, lebih-lebih Islam. Tentu hal demikian bisa menjadi titik temu etika universal welas asih agama-agama, dan Sunan Gunung Jati menjadi simbol ke-welasasih-an Islam. Welas asih adalah jalan menuju kerukunan.

Buku tersebut menjadi sinyalemen penting bagi kita tentang sisi lain dari makna ziarah. Bahwa dalam konteks keagamaan tertentu, ia menjadi ritual liturgis, tetapi dalam konteks keberagaman, ia menjadi pemersatu yang menyelamatkan setiap individu maupun kelompok dari apologi-apologi eksklusif dalam berinteraksi lintas agama. Dan kepada Sunan Gunung Jati, kita yang hidup, dan terpecah-belah oleh kepentingan, seharusnya malu.

Bahwa Allah Dzat Mahadamai (al-salâm), dari-Nya kedamaian, dan kepada-Nya kembalinya kedamaian, tampak jelas di dalam tradisi ziarah makam Sunan Gunung Jati. Membuat pemeluk agama lain bersimpati kepada kita, mencintai kita, sebagaimana para peziarah lintas agama mencintai Sunan Gunung Jati, tentu saja sulit. Tetapi, menampilkan kesantunan Islam adalah satu bagian kecil menuju cita-cita tersebut.

Di akhir bagian, Darmawan cukup menggelitik kita dengan dengan pertanyaan cukup menyindir,

Sunan Gunung Jati yang jasadnya sudah dikebumikan masih bisa merukunkan umat manusia, masa kita yang masih bergerak justru membuat provokasi, menebar kebencian dan bertindak intoleran antarsesama,” (hlm. 99).

Beberapa kejadian hari-hari ini selaiknya membuat kita berinterospeksi, bahwa tanpa damai-rukun, pantaskah itu disebut ajaran Islam.

Darmawan cukup rendah hati mengatakan bahwa cita-cita kerukunan, yang bisa kita pelajari dari, atau pada, ziarah tersebut, tidak terjadi secara simsalabim, instan. Cara yang dapat kita tempuh ialah mengenalkan Islam secara sejuk, damai, mengutamakan akhlak, dan tidak merasa benar sendiri. Nilai santun Islam ditampakkan ke permukaan, tidak dengan memaksakan kehendak yang mengganggu kedamaian-kerukunan antarumat.

Ziarah tersebut selaiknya menjadi miniatur kerukunan antarumat, yang bisa kita praktikkan dalam konteks bernegara, lebih-lebih Negara majemuk. Indonesia adalah rumah kita bersama, sehingga perpecahan semestinya merupakan sesuatu yang kita hindari. Apalagi, seperti telah disindir, kita masih hidup. Sangat disayangkan bila perihal kerukunan, atau upaya mencapai kerukunan, kita masih kalah pada ia yang sudah berada di hadirat-Nya.

Identitas Buku

Judul : Bersatu Bukan Berseteru; Belajar Kerukunan Beragama dari Sunan Gunung Jati
Penulis : Darmawan, S. Ag
Tahun : April, 2019
Penerbit : Litera
Tebal : xvi+ 130 halaman
ISBN : 978-623-90659-0-4

*Redaktur Pelaksana Majalah WARTA, IAIN PAMEKASAN

Komentar