Sejalan dengan maraknya issu terorisme dan gerakan Islam radikal, pesantren saat ini menjadi sorotan dan perhatian masyarakat dunia. Ini terjadi karena pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejarah menunjukkan, pesantren tidak saja sebagai pusat pendidikan Islam tetapi juga pusat perjuangan kaum pergerakan nasional dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Oleh karenanya cukup beralasan kalau pesantren menjadi pusat perhatian ketika muncul gerakan radikal yang menggunakan simbol Islam. Di samping itu, beberapa fakta lapangan untuk sementara juga menunjukkan beberapa pelaku teror yang mengaku sebagai alumni pesantren, sehingga menimbulkan praduga adanya keterkaitan gerakan teror dengan beberapa pesantren. Terjadinya penggrebekan dan penggeledahan serta penangkapan beberapa orang pengasuh pondok pesantren, cukup untuk mempengaruhi opini dan asumsi orang mengenai citra pesantren.
Melihat peristiwa yang ada, pertanyaan yang layak dikemukakan adalah, apa betul pesantren memikili pemikiran yang radikal? Apakah benar pesantren mengajarkan ideologi yang mengesahkan kekerasan? Pertanyaan ini penting dijawab untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam melihat pesantren. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini akan memaparkan akar pemikiran pesantren sebagai basis ideologi yang menggerakkan dan membangun struktur kebudayaan (tradisi) pesantren. Dengan cara ini akan terlihat karakteristik pesantren dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Dari sini akan terlihat bagaimana hubungan pesantren gerakan radikal Islam dan kelompok teroris sebagaimana yang diasumsikan orang selama ini.
Fiqh, Tasawwuf dan Kitab Kuning
Untuk melikat pola pikir dan tata nilai pesantren yang membentuk perilaku dan budaya pesantren bisa dilacak dari kitab-kitab referensi yang dipelajari dan dikaji, di pesantren yang menjadi pijakan pemikiran dan hujjah dalam melihat realitas sosial. Kitab-kitab tersebut sering disebut dengan istilah kitab kuning, yaitu kitab-kitab klasik yang dikarang oleh para ulama Islam abad pertengahan. Kitab-kitab ini mayoritas berbicara tentang masalah fiqh. Selain fiqh, di pesantren juga dipelajari ilmu kalam/aqidah (teologi), akhlaq (etika),Tasawwuf, ilmu alat (grammar bahasa Arab; Nahwu Sharf) , manthiq (logika) dan sastra serta tafsir. Meskipun semua bidang ilmu tersebut diajarkan di pesantren, namun pola pikir fiqih dan tasawwuf yang mendominasi dalam pembentukan sistem nilai dan budaya pesantren.
Dominasi fiqh dalam membentuk orientasi pemikiran keagamaan pesantren berdasarkan pada ajakan imam Syafi’i; “marilah kita berdebat tentang soal-soal yang lalau kita kalah, tidak sampai jatuh pada kekafiran (fiqh), tetapi jauhilah memperdebatkan soal dalam suatu bidang ilmu yang kalau kita kalah, malah terperosok dalam kekufuran (ilmu kalam)”. Disamping itu, pemikiran fiqh ini juga dianggap memberikan justifikasi yang pasti terhadap berbagai persoalan yang berkembang dan dihadapi masyarakat.
Untuk memberikan jawaban yang bisa dijadikan pegangan, maka fatwa fiqh inilah yang lebih memungkinkan. Karena meskipun fiqh merupakan pola pikir yang kelihatan hitam putih, namun ada kelenturan fleksibilitas yang cukup tinggi dalam menentukan hitam putihnya sesuatu tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah yang ada dalam fiqh itu sendiri yaitu “yadurru hukmu ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman” (penerapan ada tidaknya suatu hukum tergantung pada illatnya/alasannya). Dengan fleksibilitasnya ini pesantren dapat melayani dan menjawab problem masyarakat yang kompleks dan plural. Dengan demikian dia bisa menampung kecenderungan masyarakat yang beragam, tanpa kehilangan pijakan agama. Meski dengan derajad fliksibilitas yang tinggi, masyarakat tetap merasa bahwa jawaban yang diberikan pesantren adalah jawaban pasti yang agamis karena berangkat dari nilai dan pemikiran agama yaitu fiqh. Pola pikir fiqh yang memiliki derajad fleksibilitas tinggi inilah yang melahirkan nilai-nilai dan cara pandang keagamaan yang terbuka (inklusif) kalangan pesantren sehingga membentuk budaya toleran, moderat, dan tidak mudah mengkafirkan orang.
Di samping karena pengaruh pola pikir yang fiqh yang fleksibel dan kontekstual, sikap pesantren juga dipengaruhi oleh ajaran tasawwuf yang menjadi referensi kalangan pesantren. Pemikiran tasawwuf ini berfungsi untuk mengasah rasa dan melembutkan hati, agar perdebatan dalam fiqh tidak terjebak dalam pertimbangan rasional yang dikendalikan nafsu, tetapi benar-benar bersumber dari kejernihan hati dan kepekaan batin. Dalam dunia pesantren, pola pikir fiqh yang cenderung simbolik formal dan material diimbangi dengan laku tasawwuf yang subastansial-spiritual dan cederung mengedepankana dimenasi batiniah.
Untuk menjaga keseimbangan fiqh dan tasawwuf, pesantren menerapkan kualifikasi dan stadarisasi kitab-kitab yang harus dipelajari, dan hal ini diberlakukan secara ketat. Di kalangan pessantren dikenal dengan istilah kitab mu’tabar (kwalified) dan ghairu mu’tabar (tidak kwalified). Kitab mu’tabar adalah kitab yang layak diajarkan di pesantren dan menjadi rujukan utama dalam membangun pola pikit kalangan pesantren. Sedangkan kitab ghairu mu’tabar adalah kitab-kitab yang dianggap tidak standar, sehingga tidak layak diajarkan dan menjadi rujukan kalangan pesantren.
Kalau dicermati, kitab-kitab yang dianggap mu’tabar oleh kalangan pesantren adalah kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama yang tidak memiliki pemikiran radikal, seperti karya Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan imam Hambali di bidang fiqh. Pemilihan empat imam madzhab ini sebagai rujukan utama kalangan pesantren, karena para kyai dan ulama pesantren sadar betul akan fleksibilitas pemikiran fiqh, sehingga perlu alternatif supaya tidak kaku dan sempit. Hal ini menunjukkan sikap moderat dan inklusif kalangan pesantren dalam bermadzhab.
Selain fiqh, kitab mu’tabar yang diajarkan dipesantren adalah kitab tasawwuf karya Imam Ghozali, imam Ibn Atho’illah al-Iskandari, Imam Junaid Al-Baghdadi; di bidang Aqidah (teologi) karya Abu Hasan al-Asy’ari dan Maturidi; Shoheh Buhkori, Muslim dan kutubussitah dan sebagainya. Semua kitab yang dianggap mu’tabar di kalangan pesantren tidak ada yang mengajarkan radikalisme dan sikap ekstrim. Sebaliknya, pemikiran-pemikiran ekstrim dan radikal seperti yang ditawarkan Hassan al-Banna, Sayyid Qutb dan sejenisnya, tidak bisa diterima di pesantren, karena disamping dianggap tidak muktabar, pemikiran-pemikiran tersebut juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai pesantren.
Dilihat dari sumber-sumber referensi, pemilihan kitab dan ulama yang dijadikan panutan jelas terlihat bahwa akar pemikiran pesantren bukanlah radikal dan keras. Hal ini juga bisa dibuktikan dengan kaidah-kaidah pemikiran yang menjadi komitmen pesantren diantaranya adalah penanaman sikap tasammuh (toleran), tawassuth (tengah-tengah), tawazzun (argumentatif), dan I’tidal (konsisten). Karena pemikiran yang demikian, perbincangan mengenai issu jihad, wacana Islam kaffah dan sejenisnya menjadi sangat minim di kalangan pesantren. Penanaman ideologi dan fanatisme keislaman di pesantren tidak dilakukan dengan cara-cara yang provokatif dan emosional, misalnya membuat jarak yang eksklusif dengan kelompok lain. Sebaliknya, penanaman nilai-nilai keislaman justru dilakukan secara kultural, fleksibel dan dialogis.
Transformasi Metodologi
Akar pemikiran pesantren yang seperti ini tampaknya masih di jaga dan dipertahankan oleh kalangan pesantren, khususnya di kalangan NU. Beberapa pesantren NU tetap menggunakan kitab kuning sebagai referensi wajib di pesantren. Demikian juga nilai-nilai dan kultur pesantren yang menghargai toleransi, fleksibel dan merakyat. Memang ada upaya perubahan di kalangan pesantren, tetapi perubahan ini bukan pada tataran yang substansial yaitu pada kerangka pikir, pendekatan dan metode. Ada beberapa nilai dan tradisi pesantren yang menurut kalangan pesantren sendiri perlu dirubah. Misalnya dalam hal bermadzhab (mengikuti alur pemikiran). Beberapa kalangan pesantren NU menginginkan adanya perubahan bermadzhab dari yang bermadzhab secara qauli (mengikuti produk pemikiran), berubah menjadi bermadzhab secara manhaji (mengikuti metodologi berpikir). Perubahan ini diputuskan secara formal oleh Rabithatul Ma’ahid Islamiy (RMI; Perhimpunan Pesantren NU) pada Munas tahun 1989 di Watucongol, Magelang. Hal ini dimaksudkan untuk mendinamisir pemkiran pesantren dalam menghadapi tantangan zaman.
Di samping itu, di sisi lain, juga terjadi perubahan yang cukup mendasar di kalangan pesantren dengan masuknya beberapa pemikiran baru, seperti pemikiran Hassan Hanafi mengenai Kiri Islam, Moh. Arkoun di bidang filsafat dan tasawwuf, Moh. Thoha dan An-Naim di bidang Fiqh, Nasr Abu Zayd dan sebagainya. Anehnya pemikiran yang diserap oleh kalangan pesantren ini justru pemikiran yang kritis dan moderat, sehingga perubahan ini justru memperkokoh spirit dan paradigma yang telah dibangun oleh kalangan pesantren sebelumnya. Di tengah maraknya fenomena Islam radikal yang puritan, simbolik dan formal, pesantren NU justru mengokohkan diri sebagai lembaga agama yang mengajarkan pemikiran Islam yang moderat, inklusif dan kritis. Hal inilah yang membedakan pesantren NU dengan pesantren-pesantren lainnya.
Dilihat dari konteks sosiologis, pemilihan paradigma dan karakter keislaman yang moderat, inklusif dan kritis ini sangat bisa dipahami, karena mayoritas pesantren NU berbasis pada reaitas obyektif masyarakat. Keberadaan pesantren NU menyatu dan ditopang oleh masyarakat sekitar. Oleh karenanya dia sangat mengerti denyut nadi dan problem kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat sekitarnya. Kerena setiap hari bergelut dengan realitas kehidupan sosial masyarakat, maka dia dituntut untuk memberikan jawaban dan penyelesaian secara kongkrit dan sulusif. Oleh karenanya wajar jika kemudian timbul pemikiran keislaman yang praksis, kritis dan kongkrit.
Hal ini berbeda sama sekali dengan pesantren-pesantren lain yang muncul dengan ideologi, nilai dan kultur baru. Pesantren jenis ini biasanya berdiri tanpa memiliki ikatan emosional dengan masyarakat sekitar, karena memang tidak memiliki basis sosial yang kuat. Dia dibangun untuk mengintrodusir suatu gagasan dan ideologi keislaman yang sudah dibentuk oleh para pengurusnya, sehingga dia tidak peka terhadap problem sosial mupun kultural masyarakat sekitar. Masyarakat dipaksa mengikuti ajaran, pemikiran dan ideologi para pengurus pesantren, meskipun pemikiran tersebut tidak sesuai dengan masyarakat.
Paradigma pemikiran pesantren ini biasanya sangat ideologis, eksklusif, simbolik, puritan dan abstrak. Pesantren model ini tidak menggunakan pola pikir, kultur dan referensi kitab-kitab sebagaimana pesantren-pesantren yang sudah ada sebelumnya. Akibatnya cara memandang, memahami dan mendekati persoalan keislaman juga berbeda. Kelompok baru yang muncul dengan menggunakan nama pesantren untuk mensosialaisasikan ideologinya ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai pesantren karena memiliki tradisi dan akar pemikiran yang berbeda dengan pesantren pada umumnya, suatu lembaga sosial keagamaan yang memiliki tradisi dan akar pemikiran yang khas, sehingga sering disebut sebagai sub kutur.
Karena kelompok ini telah menyebut institusi mereka dengan istilah pesantren, meski tradisi dan pola pikirnya berebeda dengan pesantren, berarti muncul karakteristik dan tradisi baru dalam pesantren. Akibatnya, terjadi polarisasi dunia pesantren, yaitu antara type pesantren lama, mayoritas ada di bawah naungan NU, dengan pemikirannya yang moderat, inklusif, humanis, kritis dan fleksibel dengan type pesantren baru yang puritan, eksklusif, dogmatis, simbolik dan kaku. Dengan demikian bisa dipahami bahwa sebenarnya tidak terjadi perubahan yang substansial di kalangan pesantren. Yang ada adalah penambahan model dan type pesantren, karena pada dasarnya pesantren lama tetap menggunakan paradigma, nilai dan pola pikir lama, hanya terjadi perubahan metodologi dan cara berpikir. Bisa dikatakan, munculnya tradisi pesantren baru yang menawarkan nilai, paradigma, orientasi dan kepentingan baru, ternyata tidak mampu menggoyahkan apalagi merubah akar pemikiran dan tradisi pesantren lama.*****