Abd. Halim*
Judul ini terinspirasi dari penjelasan Gus Ulil Abshar Abdallah saat memberikan ceramah di forum lesehan Ramadan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau menjelaskan bahwa di era digital ini kita dibanjiri informasi namun namun defisit hikmah.
Kita sudah memahami bersama bahwa informasi sekarang diumbar dengan sedemikian rupa. Apa saja bisa kita ketik di google kemudian langsung muncul beragam info yang dibutuhkan, mulai dari yang paling ilmiah sampai ke yang klenik pun tersedia.
Dalam al-Quran, disebutkan bahwa barangsiapa yang diberikan hikmah oleh Allah, berarti ia sudah diberi kebaikan yang banyak (faqad ûtiya khairan katsîran). Lantas, apa itu hikmah itu? Kata ini sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dengan makna yang berbeda-beda. Ada yang mengartikan hikmah itu adalah ilmu kebijaksanaan. Ada yang menyatakan hikmah adalah pelajaran yang bisa diambil seperti orang menyatakan “ambil hikmahnya saja!”
Banyak penjelasan ulama tentang hikmah ini. Imam al-Qurthubi, salah satunya, menjelaskan ragam makna hikmah yang yang dijelaskan ulama salaf. Di antaranya adalah sebagai berikut: Menurut Ibnu Abbas hikmah pengetahuan tentang al-Quran dan seluk beluknya; Qatadah dan Mujahid berpendapat hikmah adalah pemahaman terhadap al-Quran; Mujahid menyatakan hikmah adalah kebenaran dalam perkataan dan perbuatan; Ibnu Zaid: hikmah adalah memahami agama sedangkan Malik bin Anas mendefinisikan hikmah adalah pengetahuan dan pemahaman terhadap agama Allah dan mengikutinya.
Kalau merujuk penjelasan Imam Fakhruddin ar-Razi dalam karyanya Mafatih al-Ghaib, hikmah itu adalah kesesuaian antara ilmu dan amal / attaufiq bainal ilm wal amal. Artinya, ia lahir dalam diri seseorang dalam proses yang cukup panjang melalui proses mujahadah dan latihan secara kontinyu.
Jika merujuk pada beberapa definisi hikmah ini, betul kata Gus Ulil, di era digital ini kita memang defisit hikmah. Sebab, hikmah itu didapatkan dengan proses panjang. Ada bimbingan langsung oleh guru, ada etika-etika tertentu yang kita tidak dapatkan dalam dunia virtual atau digital.
Jika kita menemukan kata-kata bijak di media sosial misalnya, itu bukanlah hikmah, menurut Gus Ulil Abshar Abdallah. Itu hanyalah sebuah status yang bisa saja keluar dari mulut atau jemari dari siapa pun. Entah si penulis itu ahli hikmah atau bukan.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada hikmah sama sekali. Nabi pernah berpesan bahwa hikmah itu memang barang hilangnya orang beriman. Karena hikmah dianalogikan barang yang hilang, maka ia harus dicari di manapun ia berada.
Di kalangan pesantren, ada salah satu dari qawaid fiqhiyyah yang cukup populer, mâ lâ yudraku kulluh, lâ yutraku kulluh/ sesuatu yang tidak bisa didapatkan secara maksimal, maka jangan ditinggalkan seluruhnya. Betul era digital itu memang surplus informasi dan defisit hikmah, tetapi kondisi ini tidak seharusnya menyurutkan kita untuk mencari hikmah di mana pun ia berada. Wallâhu a’lam.