Islamsantun.org – Ibn ‘Asyur pernah menulis tentang asal nama Kanjeng Nabi Isa as. begini: Isa adalah serapan dari kata Yasu’ atau Yasyu’ (Yesus) dalam bahasa Ibrani. Pengucapan huruf ‘ilat Ya lalu Syin dan diakhiri dengan huruf tenggorokan yang semuanya harus dengan mengeluarkan nafas, bagi orang Arab adalah perkara yang berat dan tidak sesuai dengan karakter dialeknya. Lalu mereka mendahulukan ‘Ain, sebab termasuk huruf halaq yang kuat, kemudian mengharokati dengan harokat yang munasabah dengan ya’. Untuk memperingan, Syin digantin sin. Adapaun makna Yasyu’ dalam bahasa Ibrani adalah Sayid atau yang diberkati.

Saya membaca tulisan Roy Murtadho yang dimuat di Indoprogress.com. menarik sekali apa yang ia tulis. Roy mencoba menjelaskan atau menafsirkan situasi pada saat Yesus dilahirkan, dan lingkungan tempat ia tumbuh besar. Ia menyebut kelahiran Yesus sebagai tragedi. Lahir di kandang domba, bukan di sebuah istana yang mewah, dan sepanjang hidupnya dijalani untuk melawan rezim tiran, Ia melawan kebatilan, kekerasan, dan penghinaan atas kemanusiaan. Selain itu ia harus menghadapi sekelompok orang dengan visi yang berkebalikan dengannya. Roy menulis:

“Yesus, secara politik hendak melampaui semua perjuangan politik kelompok yang tengah bersaing memperebutkan
simpati publik Yahudi. Ia mengecam monopoli administrasi Bait Allah oleh kaum Shaduki yang hanya menjadi komoditas politik dan ekonomi segelintir orang, dengan menjadikannya sebagai sarang pencuri berkedok agama ketimbang menghidupi agama itu sendiri. Ia juga berbeda dengan perjuangan politik kaum Zealot yang radikal-progresif tapi hanya berjuang secara fisik untuk menumbangkan kekuasaan Romawi, melampaui itu, Ia menawarkan “Kerajaan Sorga” sebagai jalan untuk memutus mata rantai kekerasan despotisme Romawi dengan pengajaran jalan cinta kasih. Meski demikian, Ia juga tak menganjurkan untuk menjauhi kehidupan politik, meninggalkan kaum papa dengan memilih menjadi petapa di sebuah gurun sebagaimana ditempuh kaum Essene. Walaupun seringkali Yesus ditafsir secara fatalis—khususnya oleh sebagian besar pembaca Islam—sesungguhnya Ia terlibat, Ia melawan kebatilan, kekerasan, dan penghinaan atas kemanusiaan, dengan tindakan etis sebaliknya, yakni cinta kasih.”

Dalam narasi Roy, kita melihat bagaimana Isa as mengambil jalan tengah dari tiga bentuk kaum di atas, dari kaum shaduki yang membajak agama untuk kepentingannya sendiri, kaum Zealot dengan perjuangannya yang ‘kering’ dari nilai spiritualitas, atau kaum Essene pelaku jalan sunyi yang sibuk melangit dan lupa daratan itu. Yesus berada di antara kaum-kaum itu. Lalu sebagai jawaban Ia menawarkan kerajaan sorga yang harus ditempuh dengan perjuangan melawan kebatilan, kekerasan dan penghinaan atas kemanusiaan. Gerakan yang membedakan dari ketiga kelompok di atas.

Beda dengan Roy, saya melihat natal bukan hanya tentang Yesus atau Isa, natal bagi saya sebagai perjuangan seorang Ibu. Yaitu Ibunda Isa as., Maryam atau Maria binti Imron. Sayyidah Maryam lahir dari rahim Hannah, istri Imron atau Amron. Imron adalah pemuka agama di Baitul Maqdis.

Setiap membaca kisah tentang kepahlawanan seorang wanita saya selalu teringat nama Maryam atau Maria, putri Imron bin Matsan yang hebat itu. Seorang Ibu yang melahirkan manusia yang menjadi simbol welas asih. Saya selalu membayangkan nama besar Maryam membayang di belakang nama Tjut Nyak Dien, Kartini, Rabeya Kader, Ibunda Gus Dur, Sinta Nuriyah, nama nenek kami dan nama-nama wanita pejuang lain yang mewakafkan hidupnya untuk kemanusiaan.

Ibu Hannah sudah berusia lanjut pada saat melahirkan Maryam, sebagaimana Isya’ saudarinya yang diperistri Zakariya pada saat mengandung Yahya. Maryam anak semata wayang Hannah, yang dinazarkan untuk mengabdi menjadi pelayan di Baitulmaqdis itu lalu dititipkan kepada bibinya Isya’ setelah melewati undian untuk mendapatkan hak asuhnya. Suami Isya’ yang bernama Zakariya, adalah pemuka di Baitul Maqdis. Maryam anak iparnya itu ia asuh setelah melalui undian melawan pemuka-pemuka Baitul Maqdis lainnya.
Setelah melahirkan, Ibu Hannah menamakan anaknya dengan nama “Maryam”. Dalam bahasa Ibrani, Maryam berarti ‘Perempuan yang tekun beribadah’.

Diceritakan, setelah Maryam lahir, Hannah menyelimuti Maryam lalu menggendongnya ke Baitulmaqdis. Ia letakkan di hadapan para Rabbi. Ia berkata: “Ambillah anak yang dinazarkan ini!”.
Karena Maryam adalah putri Imron, pemimpin mereka, maka para Rabbi berebut untuk mengasuhnya. Zakariya sang Paman tidak mau mengalah, ia berkata:

“Aku yang paling berhak sebab bibinya adalah istriku.”
“Akan tetapi kami akan mengundinya terlebih dulu,” Rabbi lain memberi usul. Para Rabbi tetua segera menuju sungai Jordan, sungai yang mengalir dari Gunung Hermon ke Selatan, melalui Danau Meron dan Danau Galilea dan bermuara di Laut Mati. Di sungai itulah Maryam diundi. Masing-masing Rabbi diminta melemparkan pena yang biasa mereka gunakan untuk menulis Taurat. Setiap kali pena dilemparkan pena itu langsung tenggelam, sampai pada giliran Zakariya. Ajaib. Pena Zakariya tidak tenggelam, pena itu berdiri tegak di atas permukaan air.

Zakariya menang, ia segera menggendong Maryam, menyerahkan kepada istrinya Isya’. Isya’ senang bukan kepalang, menerima bayi cantik keponakannya itu, apalagi sudah lama ia mendamba dikaruniai seorang anak.

Ibu Hanna wafat delapan tahun kemudian setelah melepas anaknya dirawat oleh saudarinya Isya’. Sedangkan Maryam, anaknya, tumbuh dengan cepat. Pamannya Zakariya membuatkan flat atau kamar khusus di atas rumahnya. Ia tidak mengijinkan siapa pun menemuinya, hanya ia yang sesekali menjenguknya. Maryam tumbuh menjadi wanita yang amat tekun. Ia gunakan seluruh waktunya untuk beribadah dan menjalankan tugas membersihkan Baitulmaqdis.

Berkah hidup Bibi Isya’, setelah menunggu lama kehadiran seorang anak, pada usia 98 tahun ia hamil, bersamaan dengan kandungan Maryam yang semakin membesar. Maryam, atas kuasa Tuhan mengandung Isa dan Isya’ mengandung Yahya ibn Zakariya. Babak baru keluarga pemuka Baitul Maqdis dimulai.

Komentar