Muh Subhan Ashari*
Baru-baru ini umat Islam khususnya yang ada di Indonesia, kembali dihebohkan dengan disahkannya qanun Islam yang ada di Aceh tentang diperbolehkan poligami. Meski tanpa ada qanun tersebut pun, sebenarnya hukum poligami telah diatur dalam undang-undang tentang perkawinan di Indonesia No. 1 tahun 1974 bahwa peradilan di Indonesia boleh memberikan izin kepada seorang suami untuk menikah lebih dari satu isteri apabila diizinkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tertentu tersebut di antaranya adalah istri tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan seperti lumpuh dan sebagainya, atau isteri tidak dapat memberikan keturunan.
Yang menjadi heboh adalah dengan disahkannya qanun tersebut, Islam semakin identik dengan ajaran poligami, yang di saat yang sama, Barat sangat mengecam praktik tersebut karena dianggap sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan praktik ketidakadilan terhadap wanita.
Kondisi ini menjadi miris, ketika Aceh diharapakan sebagai salah satu simbol identitas agama Islam justru lebih mendahulukan permsalahan yang problematik dan ditentang banyak pihak dibanding mengurus yang lebih esensi seperti mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan praktik korupsi.
Tercatat Aceh tingkat kemiskinanannya menjadi yang tertinggi dibanding daerah-daerah di Sumatera yaitu mencapai 15.68%. Pertumbuhan ekonomi Aceh juga dibawah pertumbuhan nasional yaitu berada di kisaran 4.61% pada tahun 2018 (Detik, 7 Juli 2019), sedangkan pada triwulan pertama tahun 2019, ekonomi Aceh hanya tumbuh 3. 38 persen, ini menjadi terendah ketiga di antara 10 provinsi di Sumatra (Rencong Post, 7 Mei 2019).
Tentu hal ini menjadi komentar banyak pihak karena Aceh diberi kuasa untuk mengurus ekonominya sendiri juga mendapat dana otonomi khusus.
Sebagaimana banyak diketahui, Aceh menggunakan penerapan hukum Islam. Dengan ditetapkannya peraturan tersebut, tak pelak orang-orang di luar sana termasuk penulis sendiri bertanya-tanya; apa istimewanya hukum Islam jika hanya menghasilkan hukum poligami atau perda syariat yang hanya mengurus masalah aurat?! itu bukan masalah yang paling esensi dalam sebuah negara.
Tetapi di sisi lain penulis juga mendapat argumen yang cukup logis; Apa salahnya qonun Islam membahas poligami, mengatur pernikahan lebih dari satu isteri agar hak-hak isteri terjaga dihadapan hukum yang sah?!
Di saat yang sama Barat mengkampanyekan satu isteri (monogami), tetapi tidak membahas pidana atas perselingkuhan hubungan suami isteri atau kerugian yang didapat akibat perselingkuhan tersebut.
Dengan megatasnamakan hak asasi manusia atau adagium suka sama suka, Barat membiarkan para peselingkuh dan perampas hak-hak isteri sah melenggang bebas.
Barat juga membiarkan hubungan laki-laki dan perempuan tanpa adanya pernikahan yang hal itu sebenarnya sangat merugikan perempuan itu sendiri.
Bayangkan jika perempuan tiba-tiba ditinggalkan oleh laki-laki tanpa ikatan sah, bagaimana perempuan tersebut menuntut dihadapan hukum yang sah. apalagi jika laki-laki tersebut meninggalkan warisan anak dan si perempuan tidak mempunyai skill atau keahlian untuk mengarungi hidup, pasti si perempuan tersebut akan hidup dengan susah payah.
Dalam hal ini tentu penulis tidak sedang berupaya mendukung UU Poligami, hanya saja penulis juga tidak boleh berat sebelah, menyerang pendukung poligami tanpa ada dalih yang kuat.
Bagi penulis, esensi ajaran Islam sendiri lebih menggarisbawahi bagaimana menjaga hak-hak perempuan dan bagaimana menganggkat derajat mereka. Masalah poligami dan tidak itu lebih mengarah pada konteks dan tradisi.
Sebelum Islam datang sebenarnya telah ada budaya poligami. Pada zaman pra Islam, para laki-laki sudah terbiasa mempunyai puluhan bahkan ratusan isteri. Para raja juga terkenal mempunyai banyak isteri, di samping mereka juga punya banyak selir yang penulis yakin raja sendiri tidak tahu berapa jumlahnya.
Di sini kemudian Islam muncul dengan sikap yang sangat revolutif, ia melakukan perubahan sosial dan budaya yang sangat massif, yang terejawentahkan dalam sikapnya yang membatasi kempemilikan isteri menjadi maksimal empat saja. Tentu hal ini dilakukan supaya menghalangi laki-laki dari berbuat aniaya terhadap perempuan.
Sayangnya esensi ajaran Islam tersebut seringkali tertutupi oleh tindakan umat Islam sendiri. Sebagian umat Islam lebih senang membahas berapa jumlah isteri yang boleh dinikahi dibanding membahas rasa sakit perempuan yang akan dipoligami.
Menurut penulis tidak ada salahnya poligami diatur dalam undang-undang, tetapi kita juga harus waspada terhadap segala upaya yang menjadikan poligami sebagai gaya hidup, apalagi kemudian membudayakan praktik tersebut dengan mangatasnamakan agama, karena hal itu menurut penulis sudah melenceng jauh dari esensi agama Islam.
Pesan Islam sebenarnya sudah sangat jelas yakni berlaku adil: “Jika kamu takut untuk tidak berlaku adil maka nikahilah satu perempuan saja, karena hal itu jauh dari berbuat aniaya”. (An-Nisa: 3)
Bahkan al-Quran kembali menegaskan dalam ayat lain : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (An-Nisa : 129). Semoga ini menjadi bahan renungan untuk kita semua.
*Dosen Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Annur, Bantul Yogyakarta.