Islamsantun.org Rutger Bregman dalam buku Humankind menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah mesin pembelajar ultrasosial. “Kita terlahir untuk belajar, menjalin hubungan dan bermain”, tegasnya. Itu juga alasan Tuhan memilih Adam ketimbang malaikat atau iblis dalam penugasan sebagai khalifah di bumi. Sebab Adam diberikan akal pikiran untuk berpikir dan berkreasi mengembangkan alam raya. Dari manusia sang pembelajar itulah lahir peradaban modern yang serba canggih.

Dalam tradisi Islam di Nusantara, manusia pembelajar ini disebut dengan istilah santri. Ahmad Baso, pakar Islam Nusantara menyebutkan dalam buku “Pesantren Studies 2a” bahwa sebutan dados santri (menjadi santri) muncul pertama kali dalam Serat Poerwa Tjarita Bali yang ditulis oleh seorang santri Bernama Sasrawijaya:

“Kulo Raden Sasrawijaya, tiyang asal saking Ngayogyakarta, dados santri wonten pondhok ing dhusun Sepanjang, bawah kitha Malang” (Saya Raden Sasrawijaya, asal Yogyakarta, menjadi santri di sebuah pondok pesantren di Desa Sepanjang, di daerah Kota Malang).

Dari kutipan tersebut, kita dapat memahami ada makna yang mendalam dari kalimat dados santri, menjadi santri. Saya pun terngiang nasihat dari Kiai di pondok dulu, “maa zilta thaaliban”, “sampai kapan pun, kamu adalah pelajar atau santri”. Karenanya santri bukan soal usia, muda atau tua; bukan juga perkara hegemoni ormas; apalagi sebatas klaim sepihak, “aku yang paling santri”.

Santri adalah mereka yang selalu merasa haus terhadap ilmu, tak pernah berhenti untuk belajar, rendah hati terhadap sesama, karena ia sadar keterbatasan dirinya untuk mengetahui segala hal. Santri adalah simbol dari falsafah padi, “makin berisi, makin menunduk, makin berilmu, kian tawadhu’”.

Belajar dari kisah penciptaan Adam pula, iblis menjadi manusia hina karena ia tidak mau belajar kepada Adam. Ia menganggap dirinya lebih baik daripada Adam yang diciptakan dari tanah. Karenanya kita bisa menyebut bahwa Adam adalah simbol dari karakter santri, sedangkan iblis adalah tokoh antagonis dari santri. Siapa pun yang enggan belajar dan merasa paling benar, itulah pendukung utama iblis.

Karenanya dari penjelasan tersebut, setidaknya ada beberapa poin penting dari kehidupan santri yang dapat dipahami. Pertama, santri itu melampaui sekat usia. Sebab identitas pembelajar itu melekat dalam esensi kemanusiaan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bregman di atas. Jika saat ini publik dihebohkan dengan perdebatan standar batas minimal dan maksimal usia untuk memimpin negeri, maka itu tidak berlaku dalam konteks menjadi santri.

Pembelajaran itu seumur hidup. Mengutip nasihat dari Nabi Muhammad bahwa belajar itu dari buaian ayunan hingga ke liang lahat. Artinya selama hayat masih dikandung badan, saat itulah kita punya keharusan untuk terus belajar. Di samping tidak mengenal umur, santri juga tidak terbatas pada sekat tempat, kesukuan, primordialisme sempit atau bahkan hegemoni ormas tertentu. Santri adalah siapa dan di mana saja yang mau belajar tanpa henti.

Karenanya membatasi istilah santri untuk orang yang belajar di pesantren Jawa atau bahkan lebih spesifik dikaitkan dengan organisasi Islam NU saja, hanya mempersempit diksi santri yang seharusnya dapat dipahami dalam arti yang luas. Memang secara historis, istilah santri yang lahir dari klasifikasi Indonesianis Clifford Geertz pada awalnya merespons kelompok Islam tradisional pesantren yang berbeda dengan kelompok Priyayi dan Abangan di era awal terbentuknya negara Indonesia.

Namun, pembagian kategori itu sudah banyak dikritik oleh sarjana lain dan pembatasan antara kelompok Santri, Priyayi dan Abangan saat ini sudah semakin melebur. Dalam konteks filosofis, siapa pun, dari kelompok mana pun, dapat dikatakan santri tatkala ada kecenderungan dalam dirinya untuk terus belajar dan beradaptasi di tengah perkembangan zaman.

Setelah menegasikan usia dan identitas tertentu yang melekat, maka setidaknya ada dua poin penting yang menjadi karakter seorang santri. Hal yang utama adalah bahwa santri akan selalu haus dengan ilmu pengetahuan. Dalam tradisi pesantren, setelah selesai belajar satu kitab, akan dilanjutkan dengan mengkaji kitab berikutnya, sehingga proses pembelajaran itu terus berlanjut.

Pun ketika sudah sampai pada tingkatan sebagai ustaz dan mengajar, ia tetap dituntut untuk meng-upgrade keilmuan. Karena untuk mentransformasikan ilmu juga butuh pengetahuan. Sehingga sirkulasi ilmu terus berputar tiada henti. Dalam bahasa Abu Darda’, ulama tabi’in, pernah memberikan nasihat: “kun ‘aliman aw muta’alliman aw mustami’an wa laa takun ar-rabi`a fatahlik”, “Jadilah orang yang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkan (orang alim yang menjelaskan ilmunya), dan janganlah menjadi orang keempat.”

Ungkapan tersebut menjadi prinsip dalam kehidupan santri. Siklus kehidupan yang tidak pernah berhenti, yaitu mendengarkan, menyerap ilmu pengetahuan, dan mengajarkan, kemudian mendengarkan lagi, menyerap pengetahuan baru, dan mengajarkan kembali.

Namun, tidak cukup hanya belajar dan mengajar, santri juga menjadi simbol dari laku sufistik yang sederhana dan rendah hati. Inilah yang dimaksud dengan diksi “dados santri”. Menjadi santri berarti mengamalkan ilmu dalam laku. Dalam proses menjadi inilah tingkatan tertinggi transformasi ilmu pengetahuan. Bahwa ilmu tidak sebatas dimiliki dalam kapasitas intelektual, apalagi digunakan untuk berdebat dengan mereka yang berbeda amalan ritual.

Dalam bahasa Erich Fromm, ia membedakan antara modus memiliki (to have) dan modus menjadi (to be). Santri itu esensinya menjadi lebur dengan ilmu, bukan sebatas bangga memiliki ilmu. Menjadi lebur berarti bahwa ilmu yang dimiliki telah memberikan manfaat. Sebagaimana pesan kenabian bahwa orang terbaik adalah yang menebar manfaat sebanyak-banyaknya.

Apa yang diungkapkan Fromm tersebut sejalan dengan ajaran di dunia pesantren, “Lisanul hal afshahu min lisanil maqal”, “bahasa pengamalan lebih menggugah daripada bahasa penuturan”. Dalam konteks yang lebih luas, aksi nyata lebih dinanti daripada merangkai kata. Semua orang bisa bersabda, tetapi hanya sedikit yang dapat konsisten dalam melakukannya.

Karenanya santri itu tidak terbatas pada sekat-sekat tertentu. Kadang mereka yang berteriak dan menonjolkan identitas kesantriannya, justru berperilaku yang jauh dari keadaban santri. Apalagi di tengah kondisi perpolitikan saat ini, tatkala suara santri diperebutkan oleh politik oligarki. Dalam kondisi ini, istilah santri sudah tidak lagi menjadi konotasi yang positif. Sebab sudah dibawa ke dalam ranah politik praktis.

Oleh karena itu, dalam rangka merayakan Hari Santri Nasional, sudah selayaknya istilah santri ditaruh dalam posisinya kembali. Jangan ditarik ke dalam kepentingan elektoral, yang pada akhirnya hanya memecah belah.

Selayaknya politisi negeri ini berkaca pada santri yang terus belajar, meski itu kepada mereka yang berbeda pandangan. Santri juga tidak gamang dan kaget dengan perbedaan. Alih-alih mengeksploitasi suara santri, bagi semua pihak yang turut serta dalam agenda demokrasi 2024, silakan berproses menjadi santri sejati, bukan sebatas mempertebal citra diri, setelah terpilih lupa untuk mengabdi. Wallahu a’lam.

 

 

 

 

Komentar