Saya membaca komik Bahlul; Si Bodoh yang Bijak dari Baghdad (Noura, 2016) dan menemukan sejumlah kisah menarik. Sebetulnya cerita Bahlul ini cerita yang ringan dan penuh kelakar, sekilas cocok sebagai bacaan anak-anak. Tapi di sana kita bisa mendapatkan mutiara-mutiara kearifan, renungan-renungan mendalam dan butiran hikmah.
Pada pengantar buku, disebutkan bahwa Bahlul bernama asli Wahab bin Amir, yang hidup di Baghdad abad kedelapan. Ia masih kerabat sultan. Hanya saja, ia hidup di masa rezim tangan besi. Tak ada tempat bagi orang-orang jujur. Penguasa yang korup menjanjikan hukuman mati bagi para pengkritik dan penentang rezim.
Sadar dirinya “tak aman”, Wahab bin Amir menemui guru spiritualnya, meminta nasihat. Ia lantas memutuskan untuk meninggalkan istana, hidup menggelandang dan pura-pura gila. “Kegilaan” membuat Wahab bin Amir terlindung dari kekejaman rezim penindas. Lama kelamaan ia terkenal di seantero negeri. Karena, meskipun “gila” ia kerap memberi pencerahan sprititual dan manghadirkan solusi bagi sejumlah masalah masyarakat. Ia mendapat gelar Bahlul Dana (si bodoh yang bijak).
Ada saja tingkah polah dan “kegilaan” Bahlul. Ia menganggap tongkat yang dibawanya kemana-mana adalah seekor kuda yang bisa ia tunggangi. Anak-anak kecil bertanya kepada Bahlul apakah kudanya (tongkat itu) bisa makan dan minum? Enteng Bahlul menjawab: tentu kudaku makan dan minum, tapi hanya makan dan minum dari taman dan kolam Sang Sultan.
Pada suatu ketika, seorang kerabat mendatangi Bahlul yang sedang tidur di dalam tenda butut. Bahlul tidur berbantal tangannya sendiri. Di dalam tenda itu hanya ada kekosongan. Tak ada perabot atau apapun. Hanya Bahlul dan tongkatnya. Kerabat itu mengajak Bahlul pulang. Menurutnya tenda itu tak layak menjadi tempat tinggal Bahlul.
Tapi, apa jawaban Bahlul? Ia mengatakan, tidur di tenda seperti ini justru membuatnya aman dari tuan tanah, tak perlu ada pertengkaran dengan tetangga dan tak khawatir didatangi pencuri. Bahkan Bahlul menegaskan: tempat ini lebih baik daripada istana. Saat Hari Pengadilan tiba, ia tidak harus memberi pertanggungjawaban untuk tinggal di sini dibanding hidup di istana.
Dengan memilih jadi gelandangan, Bahlul memang tak perlu direpotkan menjaga harta bendanya. Lagipula apa yang mesti dijaga jika memang tak ada satupun barang berharga yang dimiliki. Ini sebetulnya kritik bagi istana yang justru gemar menumpuk harta dan doyan kemewahan.
Bahlul yang sebetulnya bijak dan cerdas harus berpura-pura junun, berlagak “gila”, untuk menjaga kesalamatannya. Di masa kini kita justru menemukan hal sebaliknya. Orang-orang di masa sekarang tidak lagi berpura-pura “gila”, tapi benar-benar “gila”. Mulai dari gila harta, gila perempuan sampai gila jabatan. Yang luar biasa, mereka memainkan peran itu dengan sangat sungguh-sungguh, penuh penghayatan.
Tak jarang kita dengar ada yang jadi gila karena gagal jadi anggota legislatif atau kepala daerah. Tak jarang pula kita temukan orang-orang yang menempuh segala cara, dari yang haq hingga batil, hanya untuk meraih jabatan tertentu. Mengejar “dunia” seolah tak ada hari esok.
Jika ada orang yang gila-gilaan mengejar jabatan dan kekuasan, saya jadi ingat “teguran” Gus Dur. Ingat saat ia mengenakan celana pendek depan istana sambil melambaikan tangan. Ingat salah satu nasihatnya: tidak satupun kekuasan yang harus dipertahankan dengan tetesan darah.
Amenangi jaman edan berat rasanya untuk tidak ikut-ikutan edan. Maka doa kita hari ini sederhana saja: semoga kita termasuk orang-orang yang selalu waras.