Catatan Perjalanan Roadshow Ki Ageng Ganjur ke Belanda dan Aljazair #6
Menanggapi para peserta seminar, Dubes Safira menyatakan bahwa untuk memberikan pendidikan sejarah pada anak muda sekarang memang tidak mudah. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan formal atau non formal dengan cara yang kreatif dan inofatif. Dalam pendidikan formal, harus disusun kurikulum sejarah yang tdk saja bercerita soal kronologi peristiwa, tapi juga makna dan nilai dari suatu peristiwa sejarah.
Secara informal pendidikan sejarah bisa dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media yang ada seperti medsos, komik, tv bahkan dunia entertain. “Jika konten sejarah dimasukkan dengan media yang tepat dan cara yang menarik maka anak-anak muda akan tertarik mempelajari sejarah,” ujar Dubes Safira.
Menanggapi Prof. Abdullah, Zastrouw menyampaikan bahwa kedektan emosional rakyat Aljazair dan Indonesia memiliki akar sejarah dan antropologis yang panjang dan dalam. Ini terkait dengan masuknya Islam dan gerakan tasawuf ke Indonesia yang juga dilakukan oleh para ulama Afrika khususnya Aljazair, Maroko, Sudan dan sekitarnya.
Para ulama penyebar Islam dari Aftika ini oleh masyarakat muslim Indonesia dikenal dengan sebutan Syech Maulana Maghribi. Mengenai akhlak orang Indonesia memang bisa dikatakan bersumber dari Islam, bagi yang muslim, tapi ada konstruksi sosial budaya dan tradisi yang membuat nilai2 Islam sembagai sumber bisa tumbuh dan berkembang secara baik. Dengan kata lain ada konsttuksi sosial budaya dan tradisi masyarakat Nusantara yang membuat nilai dan ajaran Islam itu dapat dijalankan dengan baik. Inilah yang kemudian dikenal dengan “Islam Nusantara”
Terhadap pernyataan Dr. Aziz Haddad mengenai integrasi bahasa (budaya), agama dan sejarah yang bisa menyatukan bangsa Infonesia, Dr Zastrouw menyatakan ketiganya terelaborasi dalam Pancasila yang digali oleh Soekarno. Pancasila adalah titik temu sekaligus perajut yang bisa mengintegrasikan perbedaan yang digali dari akar sejarah, budaya dan nilai agama.
Mengenai data sejarah bantuan senjata Zastrouw menyatakan bahwa itu bagian dari operasi intelijen sehingga sulit mencari bukti tertulis soal siapa penerima, jumlah, waktu penyerahan dan sebagainya. Tetapi banyak saksi pelaku yang mengakui peristiwa ini. Data-data mengenai peristiwa ini bisa digali dari mereka. Di Indonesia kisah ini disebutkan dalam beberapa buku yang bisa dijadikan sebagai data. Ada katerangan yang menyebutkan peristiwa bantuan senjata Bung Karno pada pejuang Aljazair terjadi pada tahun 1957.
Dari seminar ini ada beberapa gagasan yang perlu di-follow up: Pertama, perlu ada kajian dan penelitian mengenai KAA yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen Aljazair agar untuk menggali dan mengembangkan spirit dan nilai-nilai KAA dalam konteks kekinian. Penelitian bisa dilakukan kerjasama dengan kampus-kampus dan para peneliti Indonesia. Ini penting dilakukan, selain untuk menjaga hubungan kedua negara juga untuk menghidupkan kembali jejaring intelektual yang dulu pernah dilakukan oleh para ulama Aljazair dengan ulama Nusantara
Menurut Rektor UEA, selama ini memang sudah pernah ada pertukaran mahasiswa. Bahkan beberapa tahun lalu ada lima orang dosen UEA yang mengambil program master dan doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga pernah dirintis MoU dengan beberapa PTAIN di Indonesia, tapi sampai sekarang belum ada perkembangan yang berarti. Merespons hal ini Ibu Dubes Safira berkomitmen untuk membantu dan mendorong agar MoU tersebut segera ditindaklanjuti.
Kedua, untuk penelitian mengenai KAA pihak UEA bersedia kerjasama dengan lembaga manapun. Artinya tidak harus dengan kampus agama tetapi juga kampus umum atau lembaga lain. Ini merupakan peluang bagi para peneliti yang concern pada sejarah maupun study Indonesia untuk mengekeplorasi KAA dan mengangkatnya ke publik Internasional. Karena KAA merupakan petistiwa monumental yang menjadi tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam kancah internasional
Ketiga, perlu ada kajian mengenai Indonesia, terutama yang terkait dengan pemikiran keagamaan ulama Nusantara. Mereka juga ingin ada pusat informasi Soekarno dan Pancasila. Ini bisa berbentuk Indonesia Centre, atau Soerkarno and Pancasila Corner yang berisi buku-buku atau dokumen mengenai Soekarno dan Pancasila. UEA bersedia menyediakan ruangan untuk merealisasikan gagasan tersebut.
Ini merupakan tawaran yang menarik. Jika program ini dilaksanakan akan bisa menjadi sarana memperkenalkan Indonesia dan Pancasila pada dunia, khususnya masyarakat Afrika. Jika di Aljazair ada pusat studi Indonesia, ada Soekarno and Pancasila Corner dengan buku-buku, jurnal dan sumber informasi lain yang memadai, ditunjang dengan lembaga penelitian yang aktif, maka bukan tidak mungkin gagasan Bung Karno mengenai Pancasila sebagai inspirasi dunia akan terwujud.
Semoga seminar yang diinisi oleh ibu Dubes RI untuk Aljazair, ibu Safira bisa menjadi langkah awal mengembangkan pemikiran Soekarno, Pancasila dan Islam Nusantara ke pentas dunia. (bersambung)