Nur Rohman*

Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang banyak sekali masalah yang muncul. Permasalahan itu terkadang membuat kita panik, galau, gelisah, marah, sedih, dan tak jarang membuat kita mengeluh bahkan menyalahkan orang lain. Jika sudah demikian, maka hati kita akan terasa semakin berat. Perasaan itu, bisa jadi karena kita terlalu serius memikirkan urusan keduniaan hingga kita lupa akan kemana dan dari mana kita ada.

Seorang kawan, ketika mendapatkan kejanggalan-kejanggalan hidup selalu mengatakan “mung urusan dunyo, ojo serius-serius”. Kalimat sederhana itu, kadang kala jika kita resapi dapat mengobati rasa kecewa dan galau kita dalam penatnya kehidupan. Bisa jadi dapat menjadi latihan bagi hati kita yang mudah tersulut emosi dan provokasi. Bisa jadi kata-kata yang sederhana itu, dapat menjadi latihan kita menata hati.

Dikisahkan dalam kitab Irsyadul ‘Ibad Ila Sabili ar-Rasyad, bahwa Allaits menceritakan dari Jarir. Ada seorang datang kepada Nabi Isa a.s. dan berkata: saya ingin bersahabat dan bersamamu. Maka berjalanlah keduanya di tepi sungai dan lalu berhenti sejenak untuk makan roti. Ketika itu ada tiga potong roti. Nabi Isa memakan satu potong, lalu orang itu makan satu potong, tersisa satu potong. Kemudian Nabi Isa pergi ke sungai untuk minum. Sekembalinya dari sungai, satu potong roti sisanya hilang. Kemudian ditanyakan kepada orang itu: ‘siapakah yang mengambil sisa roti?’ orang itu menjawab ‘tidak tahu’. Lalu berjalanlah keduanya.

Setibanya di hutan, Nabi Isa memanggil satu anak rusa dan disembelih lalu dibakar untuk dimakan.

Setelah keduanya selesai makan, maka Nabi Isa menyuruh rusa itu untuk hidup kembali. Dengan izin Allah rusa itu hidup kembali. Lalu Nabi Isa bertanya lagi kepada orang tadi: ‘Demi Allah yang memperlihatkan kekuasaan-Nya, siapakah yang mengambil sisa roti?’ orang itu menjawab ‘tidak tahu’. Lalu berjalanlah mereka hingga sampai ke tepian sungai. Nabi Isa pun memegang tangan orang tadi dan membawanya berjalan di atas sungai, hingga sampai seberang. Kemudian Nabi Isa bertanya lagi kepada orang tadi: ‘Demi Allah yang memperlihatkan kekuasaan-Nya, siapakah yang mengambil sisa roti?’ orang itu menjawab ‘tidak tahu’.

Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Di tengah-tengah perjalanan, Nabi Isa mengambil tanah dan menjadikannya emas. Emas itu dibagi menjadi tiga, seraya berkata: ‘emas ini sepertiga untukku, sepertiga untukmu, dan sepertiga untuk pencuri roti’. Maka orang itu tadi menjawab: ‘akulah yang mengambil roti’. Kemudian Nabi Isa berkata: ‘ambilah semua untukmu’ dan mereka berdua berpisah.

Selang beberapa waktu, orang itu tadi didatangi dua orang rampok yang akan merampoknya. Lalu ia berkata: ‘lebih baik kita bagi tiga saja’. Maka mereka bertiga setuju. Kemudian mereka sepakat untuk menugaskan salah seorang orang untuk membeli sesuatu untuk dimakan. Setibanya di pasar, orang yang bertugas belanja berpikir ‘sebaiknya makanan ini saya beri racun, agar saya dapat mengambil semua hartanya’.

Sedangkan dua orang yang menunggu berpikir untuk membunuh saja orang yang belanja tadi dan dibagi berdua hartanya.

Benar saja, sekembalinya dari pasar, orang tadi dibunuh dan membagi hartanya. Kemudian keduanya memakan makanan yang telah diberi racun. Maka matilah mereka di antara harta-harta yang diperebutkan itu. Menyaksikan hal itu, Nabi Isa menasehati para sahabatnya: ‘inilah contohnya dunia, maka berhati-hatilah kamu dari padanya.

Kisah ini mengajarkan pentingnya menjaga hati agar tidak serakah dari urusan kedunawian, sehingga hati kita menjadi keruh dan penuh amarah. Salah satu caranya adalah dengan menganggap dunia ini biasa-biasa saja, tak perlu terlalu serius, dan tak perlu terlalu meremehkan. Dunia ini biasa-biasa saja dan tak perlu menjadi manusia kagetan.
Waallahu a’lam.

*Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta

Komentar