Abraham Zakky Zulhazmi
Apa jadinya jika Anda dapat mengetahui seberapa panjang usia Anda? Katakanlah Anda tahu akan meninggal di usia 75 tahun atau 85 tahun, apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan beribadah di sepanjang sisa usia? Ataukah Anda akan mati-matian menghasilkan sebanyak mungkin karya sebagai tinggalan ketika nanti Anda tiada? Atau mungkin Anda akan menumpuk harta, menikmati dunia selagi bisa?
Jika kita tahu, tentu kita bisa membuat pilihan. Sayangnya, kita tak pernah tahu rahasia umur manusia. Akhirnya yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan “bekal” sebaik-baiknya.
Perihal umur manusia, saya teringat kisah tentang Nabi Ya’qub dan malaikat maut. Dikisahkan, Nabi Ya’qub memiliki hubungan khusus dengan malaikat maut. Suatu waktu, malaikat maut mengunjunginya.
“Wahai malaikat, kedatanganmu ini untuk menjengukku atau mencabut nyawaku?” Tanya Nabi Ya’qub.
“Aku hanya berkunjung,” jawab malaikat maut.
“Wahai malaikat, sesungguhnya aku memiliki satu permintaan.”
“Permintaan apakah itu?”
“Tolong beritahu aku jika ajalku sudah dekat dan engkau hendak mencabut nyawaku.”
“Baik,” jawab malaikat, “aku akan mengutus dua atau tiga orang.”
Hari berganti hari hingga Nabi Ya’qub semakin dekat dengan ajal. Pada suatu hari, malaikat maut pun mendatanginya.
“Wahai malaikat, kedatanganmu ini untuk menjengukku atau mencabut nyawaku?” pertanyaan Nabi Ya’qub masih sama.
“Aku datang untuk mencabut nyawamu,” jawab malaikat.
“Bukankah engkau sudah berjanji akan mengirim dua atau tiga orang utusan?”
“Betul, aku telah mengirimkan utusan. Tiga utusanku adalah: putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya badanmu setelah kuatnya, doyongnya tubuhmu setelah ketegarannya.”
Akhirnya Nabi Ya’qub pergi bersama sang malaikat maut.
Kisah tersebut memberi pelajaran bahwa rambut yang memutih dan tubuh yang melemah adalah “tanda”. Bagaimanapun seorang manusia tidak bisa selalu segar bugar sama seperti ketika ia muda dulu. Ada fase-fase di mana fisik manusia kian melemah.
Artinya, ketika berada di fase itu, mereka harus lebih berhati-hati. Harus lebih tawadhu’ dan khusyuk (dalam menjalani hidup dan menghamba pada-Nya). Tidak lagi pecicilan. Di usia itu mestinya ia mampu menjadi penenang dan pemersatu, menjadi orang yang dimintai nasihatnya, karena telah banyak makan asam garam kehidupan. Bukan malah berlaku sebaliknya.
Pun begitu, sekali lagi, soal umur manusia adalah tetap menjadi rahasia-Nya. Jadi, tak perlu menunggu putih rambut dan lemahnya tubuh untuk beramal saleh. Mengenai umur dan ibadah, terdapat kisah menarik tentang seorang ahli ibadah yang bodoh yang ingin melihat iblis.
Ia berdoa kepada Allah agar bisa melihat iblis. Kawannya, yang mendengar doa itu, memberi teguran. Menurutnya doa semacam itu tak elok. Sebagai hamba sebaiknya kita berdoa mengharap keselamatan.
Sayangnya, ahli ibadah yang bodoh itu berkeras hati. Ia terus saja berdoa minta diperlihatkan iblis. Akhirnya Allah mengizinkannya melihat iblis. Begitu iblis muncul di hadapan ahli ibadah sontak sang ahli ibadah ingin menampar iblis itu.
Namun, iblis berkata “jika saja aku tak tahu umurmu akan seratus tahun, niscaya engkau kubunuh.”
Mendengar omongan iblis, sang ahli ibadah yang bodoh tampak kegirangan. Kini ia tahu jika umurnya masih sangat panjang. Ia bersorak penuh gembira. Muncul pikiran buruk di kepalanya: jika umurku masih panjang, kiranya aku tak perlu rajin beribadah sekarang. Nanti saja jika telah mendakati ajal.
Benar saja, ahli ibadah itu kini justru menjadi ahli maksiat. Dan ia pun terkecoh, belum sampai usia seratus tahun ia meninggal, dalam keadaan belum bertaubat dan berlumur dosa. Semoga kisah itu menjadi pengingat bagi kita semua. Wallahu a’lam.