M. Zainal Anwar*

Beberapa tahun silam, menjelang kedatangan bulan Ramadan selalu diwarnai dengan fenomena sweeping terhadap kafe, tempat hiburan dan berbagai tempat yang dianggap tidak patut beroperasi menjelang dan selama bulan puasa. Secara bertahap, fenomena main hakim sendiri oleh sekelompok umat Islam tersebut tidak lagi terdengar saat ini, salah satunya karena ketegasan aparat keamanan. Lantas, apakah budaya main hakim sendiri tersebut telah hilang?

Tampaknya, mental semacam ini sudah kadung melekat kuat hingga sulit dihilangkan. Hanya saja, obyeknya mengalami peralihan. Jika dulu basis sweepingnya adalah offline, maka saat ini di tengah perkembangan media sosial yang kian kencang, pengawasan tertuju pada dunia maya. Orang sering tanpa sadar atau dengan sadar melakukan tindak main hakim sendiri di dunia online. Hanya karena ujaran yang tidak sesuai dengan pikirannya atau pikiran kelompoknya, maka orang sering memaksa seseorang untuk meminta maaf tetapi di bawah ancaman. Suatu fenomena yang kemudian publik menyebutnya dengan persekusi.

Di tengah berjalannya bulan Ramadan, tindakan persekusi ini jelas bertolak belakang dengan esensi atau nilai-nilai yang menjadi hikmah Ramadan misalnya tentang kemampuan menahan diri dan mengontrol hawa nafsu. Orang yang berpuasa diharapkan tidak hanya mampu menahan lapar dan dahaga tetapi juga mampu mengendalikan hawa nafsu serta emosi yang berlebihan. Selain itu, diharapkan bahwa orang yang berpuasa adalah cerminan orang yang mudah memberi ampunan dan maaf.

Secara khusus, menahan diri berarti orang yang sedang berpuasa tidak mudah terpancing dengan keadaan atau oleh komentar yang dianggap tidak sejalan dengan alur pikirnya. Orang yang bisa mengambil esensi puasa bukalah orang yang mudah marah hanya karena tokoh yang dikaguminya di-bully. Jika hanya karena satu komentar membuat kita mudah marah, maka seolah-olah umat Islam memiliki sumbu yang pendek, mudah terbakar dan cepat marah.

Soal sikap menahan diri, kita layak bercermin pada peristiwa yang pernah menimpa Nabi Muhammad ketika hijrah ke Thoif dalam rangka berdakwah. Sebagaimana diceritakan dalam kitab Sabilul Munji karya Ahmad Abdul Hamid (1955), dakwah Nabi tidak diterima oleh penduduk Thoif. Bukan hanya ditolak, Nabi juga dicaci maki dan disoraki bahkan hingga dilempar batu hingga kaki Nabi berlumuran darah. Nabi memilih tenang dan kembali ke Makkah.

Dikisahkan, malaikat sempat meminta ijin kepada Nabi untuk membalas perlakuan penduduk Thoif agar binasa. Apakah Nabi menyetujui? Alih-alih mengiyakan, Nabi justru melarang keras dan berharap bahwa jika penduduk Thoif yang sekarang belum bisa beriman, maka semoga anak turunnya mendapat hidayah dan masuk Islam.

Sejalan dengan sikap menahan diri tersebut adalah kemampuan mengendalikan hawa nafsu. Dengan kata lain, larangan makan dan minum ketika kita puasa padahal kita memiliki daya untuk melakukannya adalah cara Allah agar kita mampu mengontrol nafsu.

Dalam skala yang lebih luas, kita diharapkan tidak mudah marah dan mampu mengendalikan nafsu terhadap suatu peristiwa yang mungkin bisa membuat kita marah. Dengan kepala dingin, kita bisa mengedepankan cara berdialog dan bukan memaksakan kehendak apalagi main hakim sendiri.

Kemampuan untuk bisa menahan diri dan mengendalikan hawa nafsu adalah modal penting agar kita menjadi umat yang memiliki sumbu panjang, tidak mudah terprovokasi atau mudah marah atas sesuatu yang tidak kita setujui. Provokasi yang justru tidak datang dari hasudan orang lain tetapi justru bersumber dari diri kita sendiri. Jika kita masih suka main hakim sendiri, bisa jadi puasa kita hanya pada level menahan lapar dan dahaga saja. Bukankah jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu kita sendiri?

*Staf Pengajar IAIN Surakarta, Alumni Madrasah Qudsiyyah Kudus

Komentar