Kekuatan Tekad

Bayang-bayang pepohonan telah bergeser, yang awalnya berada di sisi barat kini telah berada di sisi timur mereka. Ranting dan dedaunan perlahan mulai melambai-lambai karena diterpa udara yang beberapa waktu tadi hilang entah kemana. Pergeseran bayang-bayang ini bukanlah sesuatu yang tidak bermakna. Ia merupakan salah satu pertanda bahwa waktu Sholat Dhuhur telah dimulai.

Pada saat seperi itu, dari kejauhan nampak sesosok pria muda yang duduk bersimpuh di depan pintu utama sebuah rumah yang tidak bisa dikatakan mewah. Pergeseran waktu tak mampu merubah tekad dan niatnya. Sejak kedatangannya, pria bersarung dan berkopyah hitam kemerahan –karena warnanya telah pudar akibat sering terkena air- itu tetap dalam posisi bersimpuh, kepala tertunduk, dan kedua tangannya dilipat menempel di atas kedua pahanya. Tanda-tanda kegelisahan sedikitpun tidak nampak dari gerak tubuh maupun raut wajahnya, padahal ia telah berada di situ dalam waktu yang tidak sebentar, yakni sejak pukul 11.00 Wib.

Setelah jarum jam menunjukkan pukul 13.30 Wib., terdengar suara pintu terbuka. Bersamaan dengan itu, sesosok laki-laki sepuh penuh karisma dengan membawa teken di tangan kanannya muncul dari balik pintu.

“Kamu to Kim, sini masuk!” sapa dan perintah laki-laki sepuh itu.

“Inggih… Mbah Kyai” balas laki-laki muda itu.

Laki-laki muda yang sejak tadi sabar menunggu di depan pintu itu adalah Muhammad Lukman Hakim. Teman dan orang-orang dekatnya memanggilnya dengan Hakim. Ia adalah santri senior di pesantren Hidayat Luhur, salah satu pesantren terkemuka di Jombang Jawa Timur. Ia berasal dari sebuah kampung di bawah lereng Gunung Wilis Kediri. Orang tuanya adalah seorang kyai langgar yang hanya memiliki sepetak kecil tanah guna menghidupi keluarganya. Oleh sebab itu, orang tuanya tidak bisa mengirimi sangu dan biaya pendidikan rutin tiap bulan.

Biasanya, Hakim akan mendapatkan kiriman ketika tiba masa panen. Itupun tidak bisa dipastikan, sebab hasil panen juga tidak bisa dipastikan. Jika hasil panen bagus, orang tua Hakim akan mengantarnya sendiri ke pondok. Namun, jika tidak bagus akan dititipkan kepada santri di sekitar kampungnya yang pulang dan hendak kembali ke pondok Hidayat Luhur. Ini karena jika diantar sendiri ke Jombang, jumlah uang yang seharusnya diberikan kepada Hakim akan habis guna biaya perjalanan.

Hakim maklum akan keadaan ekonomi keluarganya itu. Hasil panen padi dari sepetak tanah di belakang rumahnya itu terkadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ditambah lagi, keluarganya merupakan sebuah keluarga yang besar.

Hakim merupakan anak pertama dari 7 bersaudara. Selain itu, Hakim juga tahu bahwa keberadaannya di pondok hingga tamat itu merupakan impian besar kedua orang tuanya.

Jadi, jika saja ia berhenti mondok gara-gara persoalan kekurangan biaya tersebut, jelas akan membuat kedua orang tuanya merasa bersalah dan kecewa. Padahal bilang ‘ah..!’ saja kepada mereka adalah termasuk dosa besar, apalagi membuat mereka kecewa dan sakit hati. Yang lebih mengerikan lagi adalah ridla mereka merupakan ridla Allah SWT , dan murka mereka merupakan murka-Nya. Membayangkan itu, seketika perasaan tak karuan menyelimuti hati Hakim. Tubuhnya gemetar, dan bersamaan dengan itu keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia sangat takut jika kemurkaan Allah Swt benar-benar akan menimpa dirinya. “Na’udzubillah min Dzalik” jerit Hakim dalam hati.

Kesadaran itu berubah menjadi kekuatan bagi Hakim. Problem ekonomi tak lagi menyebabkan semangat belajarnya luntur. “ ridla Allah ridla Walidain, ridla Allah ridla Walidain” bisik Hakim dalam hati disaat semangat belajarnya mulai goyah. Kendatipun demikian, ia sadar bahwa ia adalah manusia. Untuk hidup ia butuh makan dan minum. Untuk sekolah ia butuh pena dan kitab. Dalam kehidupan sehari-hari ia butuh sabun, sikat gigi, pakaian, sarung, sajadah, kopyah, sandal, hingga biaya bulanan pondok dan sekolah. Semua kebutuhan ini tidak bisa dilupakan begitu saja. Ia harus berupaya untuk memenuhinya.

Guna menyelesaikan masalah ini, akhirnya Hakim memutuskan untuk menjadi khadim Mbah Kyai. Ia dan khadim lainnya membantu pekerjaan rutin keluarga Mbah Kyai, seperti mengurusi sawah, kebun, bersih-bersih ndalem, momong putranya Mbah Kyai, hingga merumput untuk ternaknya Mbah Kyai. Dengan ini, Hakim telah menyelesaikan seluruh persoalan ekonomi guna biaya pondok dan kebutuhan sehari-harinya. Oleh karena posisi ini, kendatipun santri di Pesantren Hidayat Luhur berjumlah ratusan, Mbah Kyai sangat kenal dengan Hakim.

“Kim, sini masuk!” perintah ulang Mbah Kyai.

“Inggih Mbah Kyai” jawab ulang Hakim.

Ketika menjawab permintaan Mbah Kyai yang pertama, Hakim tetap terdiam pada posisinya. Karena setelah menyapa dan memerintah masuk Hakim, Mbah Kyai menengok ke dalam rumah nampak sibuk mencari sesuatu untuk mengganjal pintu yang tidak bisa diam di posisinya setelah di buka. Setelah mendapatkan dan mengganjal pintu, Mbah Kyai mengulangi perintahnya.

Setelah menjawab perintah Mbah Kyai yang kedua, dan Mbah Kyai nampak tidak sibuk lagi, Hakim dengan cepat langsung menyambar dan mencium tangan Mbah Kyai melebihi ketika ia mencium tangan kedua orang tua kandungnya.

Bagi Hakim, dan juga santri-santri lain, Mbah Kyai merupakan orang tuanya, dan derajat Mbah Kyai lebih tinggi dibanding dengan derajat orang tua kandungnya sendiri. Hal ini karena, Mbah Kyai berposisi sebagai pendidik ruh yang akan mengantarkan selamat dunia dan akherat, sedangkan orang tua kandungnya berposisi sebagai perawat badan. Keterangan ini Hakim dapatkan ketika ia ngaji Kitab Taisirul Khalaq dan Wasoya lil Abana’.

Selain itu, ia juga teringat penjelasan Mbah Kyai ketika ngaji pasaran Kitab Raudlah al-Thalibin karya Imam Nawawi, bahwa mencium tangan seseorang karena hormat akan ketinggian ilmunya hukumnya adalah sunnah (mustahab).

Hakim betul-betul berupaya mengamalkan ilmu yang telah ia dapat selama di pondok. Dalam tindak-tanduknya selalu dihiasi dengan akhlak mulia, terlebih lagi kepada Mbah Kyai yang tidak lain adalah guru utamanya. Setelah selesai mencium tangan Mbah Kyai, dengan tetap membungkukkan badan dan menundukkan kepala, Hakim mengikuti di belakang Mbah Kyai untuk memasuki ndalem.

Sesampai tempat yang dipersilahkan, Hakim duduk bersimpuh seperti duduknya orang yang sedang tahiyat awal, kedua tangannya dilipat di atas pahanya, dan kepalanya tetap dalam posisi tertunduk. Hakim tidak duduk di kursi, karena memang tidak ada kursi di situ. Ruang tamu itu nampaknya memang sengaja diatur lesehan. Entah apakah hal itu karena supaya jika ada tamu yang jumlahnya banyak bisa muat, atau apakah memang pemiliknya hanya mampu membeli tikar sebagai alas karena kehidupannya yang sederhana.

Bersambung …

 

 

Komentar