Abraham Zakky Zulhhazmi*
Salah satu kenangan puasa di masa kecil yang sampai sekarang terus terkenang barangkali adalah saat diam-diam menyesap air kala berwudu. Sekadar untuk menghapus dahaga di tengah siang yang terik. Kenakalan kecil itu boleh jadi lumrah dilakukan anak kecil di manapun yang memang masih berada di tahap belajar puasa.
Kala itu, bisa mengalirkan sedikit air ke dalam kerongkongan dengan disamarkan adegan berwudu adalah prestasi besar. Orang-orang mungkin menduganya masih berpuasa karena tidak melihatnya makan dan minum di depan umum. “Nama baiknya” pun masih terjaga meski ia sebetulnya gagal melewati “haling rintang” puasa.
Di masa kecil, tak ada perasaan sesal atau takut ketika membatalkan puasa dengan cara minum sambil wudu. Ringan saja rasanya. Namanya juga masih anak-anak, masih latihan. Hal itu tentu berbeda jika terjadi ketika kita sudah dewasa. Sudah mengerti salah benar, mengerti konsep ihsan, mengerti bahwa Allah selalu mengawasi kita. Mau sejauh apapun bersembunyi dan bersiasat Allah Maha Tahu, Allah terus mengawasi.
Perihal ihsan, mungkin kita akan teringat satu kisah yang cukup populer antara Khalifah Umar dan seorang penggembala. Suatu ketika, Khalifah Umar sedang berjalan dengan Abdullah bin Dinar. Mereka bertemu seorang penggembala yang sedang menggembalakan kambing. Khalifah Umar lantas menghampiri penggembala itu.
Khalifah Umar meminta penggembala untuk menjual salah satu kambing kepadanya. Namun si penggembala menolaknya. Ia mengatakan bahwa kambing-kambing ini adala milik tuannya. Khalifah Umat lalu manukas: kau bisa mengatakan kepada tuanmu bahwa salah satu kambing dimakan serigala, tuanmu tak akan tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Hanya saja, khalifah Umar kemudian dibuat terkejut dengan jawaban si penggembala. Dengan tenang penggembala itu berkata: tuanku memang tidak tahu, tapi Allah Maha Tahu. Mendengar jawaban itu Khalifah Umar seketika menangis. Ia langsung mencari tuan si penggembala dan saat itu juga membebaskannya.
Berkata Khalifah Umar: ucapanmu itu telah membuatmu bebas di dunia ini dan akan membuatmu bebas pula di akhirat.
Cerita Khalifah Umar dan penggembala itu mungkin mengingatkan kita pada kisah seorang guru dan tiga muridnya. Suatu hari, sang guru menguji tiga muridnya dengan seekor ayam. Masing-masing murid mendapat seekor ayam, sang guru pun berpesan: pergilah dan bunuhlah ayam itu di tempat yang tak ada yang bisa melihat.
Murid pertama kembali dan dengan bangga mengaku telah membunuh ayam itu di dalam gua yang gelap dan sepi. Murid kedua mengatakan bahwa ia telah menyembelih ayam itu jauh di dalam rimba raya yang lebat dan sunyi. Sedangkan murid ketiga kembali dengan masih membawa ayam.
Ia pun berkata: aku tak bisa menemukan tempat seperti itu karena Allah selalu melihatku di mana-mana.
Mendengar jawaban itu sang guru semakin yakin jika murid ketiga adalah murid terbaik yang ia miliki sekaligus murid kesayangganya. Tak aneh jika sang guru merasa bangga, nyatanya ia telah berhasil mengajarkan ihsan. Sikap merasa selalu diawasi Allah dimanapun ia berada. Apa efeknya? Ia akan merasa takut berbuat keburukan meski di tempat paling tersembunyi sekalipun.
Berlaku ihsan memang pekerjaan berat. Tak jarang manusia manafikan keberadaan Tuhan, lalai dan kemudian terperosok ke perbuatan dosa. Diawasi oleh sesuatu yang “tak terlihat” kadang membuat seseorang coba-coba bermain api.
Sering kita temui: siswa-siswa mengerjakan ujian akhir dengan seorang pengawas berdiri di depan kelas. Siapapun akan berpikir dua kali untuk mencontek. Ia sadar konsekuensinya: jika ketahuan mencontek akan gagal ujian. Namun ketika pengawas keluar kelas sebentar, ada saja yang coba-coba tengok kanan kiri cari contekan.
Pengawas memang sedang keluar kelas, tapi bukankah Allah masih di sana?
Lantas, bisakah kita mejalani hidup dengan perasaan selalu diawasi Tuhan? Berat memang. Perlu terus menerus dilatih. Semoga Ramadhan tahun ini menjadi medan latihan untuk meningkatkan kualitas ihsan kita.
*Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta