Islamsantun.org. Omongan seorang pejabat pemerintah bidang perencanaan pembangunan beberapa waktu lalu, mendorong saya memikirkan kembali beberapa isu yang tak mudah dipecahkan. Bahwa agama, seperti yang dikatakannya, lembaga yang berperan besar bagi pembangunan bangsa tentu pengetahuan umum saja. Tapi, bagaimana negara dan pemerintah “melibatkan” agama dan apa saja rambu-rambunya, pertanyaan yang tak mudah dipecahkan.
Sejak reformasi situasi keberagamaan di Indonesia amat berubah. Bukan hanya di level masyarakat, dalam layanan publik pemerintah, identitas agama makin kelihatan. Agama sering menjadi “variabel penentu”. Tak heran jika Riset Pew Research Center 2019 mendudukkan Indonesia sebagai negara paling religius di dunia di antara lebih dari 130-an negara. Setelah Indonesia, menyusul Filipina, Kenya, Nigeria, India, Tunisia, Brazil, Afrika Selatan. Saya terheran-heran mengapa Malaysia, yang jelas memilih sistem agama resmi tak masuk dalam rombongan itu.
Karena agama penting, bisakah negara dan pemerintah begitu saja dapat melibatkan agama? Tentu saja tidak. Kehati-hatian sebagai risiko sistem dan konstitusi yang kita anut harus diperhatikan. Negara, terutama pemerintah, hanya bisa melibatkan agama jika memiliki argumen kuat bahwa apa yang dilakukannya, kalau bukan, perlindungan, ya pemajuan, penegakan, atau pemenuhan. Ini mandat konstitusi pasal 28 I UUD 1945. Rambu-rambu lainnya, Pasal 29 J UUD 1945. Negara hanya bisa membatasi hak beragama –konsep yang berbeda dengan pelibatan—jika dianggap mengancam hak dan kebebasan dasar orang lain, moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Konsekuensi memilih negara Pancasila juga berdampak pada pilihan-pilihan konsisten untuk melihat memahami hubungan agama-negara. Dalam banyak forum, banyak orang paham Indonesia tak mengenal konsep agama resmi dan pengakuan agama. Praktiknya, tak mudah dijelaskan. Tidak ada agama resmi, memang. Tapi agar pemerintah melayani –hak kolektif—agama di luar yang enam masih seperti Yahudi, Sinto, Bahai, dan Sikh, masih belum mendapat jawaban pasti.
Saya berbeda dengan pandangan orang yang mengatakan kebijakan Presiden Gusdur terkait komunitas Tionghoa sebagai “yurisprudensi pengakuan agama” di Indonesia. Gusdur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Di masa pemerintahan berikutnya, Konghucu dinyatakan “agama resmi” dan karena itu diberi sebuah direktorat khusus di Kementerian Agama. Kebijakan itu bukan kebijakan agama resmi. Gus Dur sependek pengetahuan saya menolak konsep pengakuan agama oleh negara.
Saya kira, Pemerintah memang mengakui kerumitan hubungan agama-negara ini dan berusaha menjawabnya dengan RUU Perlindungan Umat Beragama yang kini tak lagi dibicarakan. Kira-kira begini mekanismenya. Untuk dilayani, agama harus didaftarkan oleh organisasi atau majelis agama yang sah. Misalnya Islam melalui MUI, Kristen oleh PGI, dan seterusnya. Ini berlaku bagi agama-agama di luar yang enam. Pertanyaannya apakah NU dan Muhammadiyah berkenan begitu saja direpresentasikan MUI?
Jika Pancasila dimaknai sebagai filosofi penghargaan atas agama dan keyakinan –dan tidak memilih sistem negara dengan agama resmi—maka konsekuensinya adalah negara mengembangkan layanan non-diskriminatif. Ringkasnya, layanan non-diskriminasi adalah layanan publik yang tidak membeda-bedakan layanan atas dasar identitas agama, politik, ras dan seterusnya, yang membuat warga negara terhambat dan tak bisa menikmati hak sebagai warga negara.
Layanan non-diskriminasi hanya mungkin muncul jika ASN, terutama yang melayani isu-isu keagamaan, bersikap imparsial dan obyektif. Penolakan pernikahan pasangan Ahmadiyah oleh KUA tindakan diskriminatif dan maladministrasi. Sebagai penganut agama atau mazhab tertentu, petugas KUA, misalnya, dapat menyatakan Ahmadiyah tak sesuai dengan keyakinan mereka. Tapi tak bisa atas dasar itu, ia menolak pernikahan pasangan dari anggota Ahmadiyah.
Sebagai bagian dari usaha itu, prinsip di atas harus pula dikembangkan dengan membangun sensitivitas dan etika non-diskriminasi. Misalnya menyebut “Islam dan non-Islam” rupanya menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi sebagian orang yang disebut non-Islam. Apakah di Indonesia ini agama hanya ada dua kategori saja? Mengapa tidak menyebut langsung Kristen, Katolik, Hindu, Budhha, Konghucu, Bahai, Sikh, Parmalim, Kapribaden dan seterusnya.
Pada saat mengikuti uji materi PNPS 1965 di MK pada 2009, saya terpukau dengan ungkapan Romo Magnis. Ia mengatakan begini. Seharusnya, negara atau pemerintah tidak bisa mengatakan kelompok tertentu sesat atau tidak. Negara dan pemerintah hanya bisa mengatakan berbeda. Soal sesat dan tidak sesat urusan warga negara. Sikap ideal semacam ini memang tak mudah di tengah ratusan orang dan kelompok yang dinyatakan sesat pengadilan sejak reformasi bergulir. Isu sesat menjadi isu pertama dalam kasus-kasus pelanggaran kemerdekaan beragama di Indonesia. Rumit memang.
Kalimulya, 2 Juni 2022
Alamsyah M Djafar