Abd. Halim*

Para pembaca yang budiman! Bayangkan, jika ada presiden datang ke rumah kita membawa secarik kertas. Dalam kertas itu, ada keterangan bahwa sang presiden menjamin semua kebutuhan kita mulai dari kebutuhan sandang pangan hingga biaya sekolah dan kuliah anak bahkan sampai cucu kita.

Di atas kertas tersebut, terdapat stempel resmi negara dan ditandatangani langsung oleh presiden sebagai bukti bahwa ia benar-benar akan menanggung semua kebutuhan kita. Apa yang kita rasakan? Pasti, kita akan benar-benar percaya dan hati diliputi perasaan senang bukan main serta merasa tenang dan bahagia.

Nah, bagaimana kalau yang menjamin dan menanggung semua itu adalah Presiden sekalian alam, Raja Diraja yang menguasai alam semesta, Allah Swt? Lebih-lebih Dia sudah menurunkan sebuah surat yang tidak ada keraguan di dalamnya melalui kitab sucinya, Alquran. Apakah kita masih tidak percaya dan masih khawatir dengan masalah sandang pangan? Dalam artian tidak mempercayai janji Allah?

Kira-kira begitulah analogi yang cukup menyentuh kalbu yang disampaikan oleh Mbah Kyai Saleh Darat (Maha Guru Ulama Besar di Nusantara 1920-1903 M) ketika mensyarahi kalam al-Hikam yang berbunyi

أرح نفسك من التدبير فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك

Istirahatkanlah pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu. Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selain kamu, tidak usah engkau terlalu sibuk memikirkannya.

Menurut Kyai Saleh Darat, dalam kitabnya Syarah al-Hikam, sejatinya rezeki sudah diatur semenjak kita belum ada. Maka dari itu, istirahatkanlah pikiran dan jiwa kita dari terlalu sibuk memikirkan segala sesuatu yang belum terjadi. Yakni jangan terlalu banyak berangan-angan dan memikirkan hal-hal yang belum terjadi, seperti memikirkan makanan apa yang akan dimakan besok, atau bulan depan, karena Allah sudah mengira-ngirakan rezeki yang pas untuk kita, sama halnya dengan ajal, nikmat dan cobaan yang akan menimpa kita.

Kyai Saleh Darat menyitir ayat yang begitu populer, yakni Q.S Hud [11]: 6; “Tidak ada suatu binatang melatapun di muka bumi ini kecuali Allah sudah menanggung rezekinya” Ayat ini cukuplah menjadi penguat bagi kita yang kadang-kadang atau bahkan sering meragukan rezeki yang sudah dijanjikan.

Kadang-kadang kita (lebih tepatnya, saya) terlalu sibuk mengatur kehidupan kita sampai menafikan peran Tuhan, Sang Maha mengatur semua urusan kita. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah melakukan yang terbaik dan mensyukuri apa yang sedang kita miliki saat ini. Dengan begitu, hati akan menjadi tenang dan hidup menjadi optimis untuk menjemput rezeki dari Allah yang sudah disediakan.

Ada hadis menarik tentang rezeki ini, suatu ketika Rasulullah pernah menasehati sahabat yang galau tentang persoalan rezeki, “Sesungguhnya rezeki itu akan mencari seseorang dan bergerak lebih cepat daripada ajalnya.” (HR. Thabarani). Andaikan kita melarikan diri dari rezeki, niscaya rezeki akan mengejar kita sampai ke mana pun. Artinya, jika kita masih hidup, niscaya pintu-pintu rezeki itu akan selalu terbuka lebar.

Nah, yang menarik, di dalam Alquran ada beberapa golongan yang dikhususkan diberi rezeki oleh Allah, meskipun pada hakikatnya semua makhluk pasti ditanggung rezekinya. Di antaranya adalah:

Orang yang berusaha (Q.S an-Najm [53]: 39);

Orang yang bersyukur (Q.S Ibrahim [14]: 7);

Orang yang banyak beristighfar (Q.S [71]: 10-12);

Orang menikah (Q.S An-Nur [24]: 32);

Karena punya anak (Q.S al-Isra’[17]: 31);

Orang bersedekah (Q.S al-Baqarah[2]: 245);

Orang yang bertaqwa dan pasrah kepada Allah (Q.S al-Thalaq[65]: 2). (Baehaqi, 2015).

Maka, pilihlah salah satu dari kriteria orang-orang yang dikhususkan rezekinya oleh Allah ini, niscaya kita akan diberi rezeki melimpa olehNya.

Tulisan ini saya akhiri dengan pesan dari Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, pengarang kita al-Hikam. Beliau berpesan bahwa rezeki itu benar adanya sebagaimana ar-Razzaq (Pemberi rezeki) maha benar. Ragu-ragu terhadap rezeki itu berarti meragukan sifat Allah, ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki). Semoga Allah mengampuni kita semua. Mari, hilangkan atau setidaknya kurangi keraguan itu dan kita ganti dengan sikap optimis menjemput rezeki dari Allah Swt. Semoga bermanfaat, terutama bagi penulis. Amin.

*Penulis Buku Wajah al-Quran di Era Digital

Komentar