Pada tulisan sebelumnya, pada pemikiran Ibnu Bajjah (1100-1138 M), dinarasikan memiliki kecenderungan atas pemikiran dan ajaran-ajaran dari filosof al-Farabi, terutama dalam karyanya Tadbir al-Muwahhid, sebagaimana yang publis beberapa waktu lalu. Berbeda pada pemikiran penerus filsafat Islam berikutnya di Spanyol, Abu Bakr Muhammad Ibn Tufayl dari Cadiz, memiliki kecenderungan atas pemikiran dan ajaran-ajaran Ibnu Sina (980-1037 M).
Dalam literatur filsafat Islam baik, karya asing maupun karya sarjana Indonesia, Ibnu Tufayl ini dinarasikan sebagai seorang fisikawan, saintis dan filosof, sebagaimana layaknya Ibnu Bajjah. Ibnu Tufayl juga dinarasikan pernah menjadi Menteri di Maroko, di sana pula ia meninggal dunia di sekitar tahun 580/1185 M. Ibnu Tufayl juga dikenal sangat bersahabat dengan filosof besar Spanyol Ibnu Rusyd. Dan, konon katanya pernah meminta Ibnu Rusyd untuk melakukan studi dan analisis terhadap karya-karya filosof yunani terutama aristoteles.
Di kalangan intelektual dan sarjana di Barat Ibnu Tufayl disebut dengan bahasa Latin sebagai Abubacer. Hayy Ibn Yaqzan atau yang seringkali diterjemahkan menjadi Living Song of the Awake ini menjadi karya Major Opus Ibnu Tufayl dan di kalangan filosof Skolastik karya ini tak begitu dikenal. Tentu karya ini sudah tak asing lagi, khususnya bagi mahasiswa filsafat Islam, dan peminat filsafat pada umumnya. Karya ini di Indonesia, diterjemahkan oleh penerbit Navilla menjadi, Hayy bin Yaqzan: Manusia dalam Asuhan Rusa (2010).
Lebih dari itu, sebernarnya karya ini pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Iberani, dan sekitar abad ke-XVII diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin dengan judul, Philosophus Autodidactus, sebuah karya yang katanya banyak berpengaruh pada wacana berbahasa Eropa pada periode selanjutnya.
Kenyataan yang oleh para ilmuan dianggap menjadi sumber inspirasi berbagai kisah roman seperti Robinson Crusoe, Tarzan, Mogli yang beberapa tahun banyak muncul ke dunia layar lebar, serta banyak mempengaruhi gaya dan model mistisme abad ke-XVII yang lebih banyak mementingakn cahaya hati (inner light).
Roman filosofis Hayy bin Yaqzan karya Ibnu Tufayl ini sama persis dengan judul karya Ibnu Sina dapat dikatakan sebagai karya awal yang mengguna tokoh bernama Hayy, Salaman dan Absal sebagai tokoh utama dalam roman filofis ini. Kesamaan ini hanya berupa nama dan judul, bukan yang lainnya. Sepertinya, Ibnu Tufayl memang sengaja hendak menjauhkan para pembacanya dari kesalahan karena adanya kesamaan judul dan tokoh utama.
Ibnu Tufayl menarasikan kisah Hayy bin Yaqzan dengan narasai kata “aku”. Kita simak apa kata Ibnu Tufayl, “Aku menceritakan kepadamu tentang kisah Hayy bib Yaqzan, Isal dan Salaman. Dan, yang memberi nama tokoh-tokoh tersebut adalah Syeh Abu Ali”. Bagi para peminat kajian filsafat Islam, tentu sudah tahu yang dimaksud Abu Ali dalam kata-kata Ibnu Tufayl tadi adalah Ibnu Sina.
Narasi Hayy bin Yaqzan dalam karya Ibnu Sina bercerita tentang perjalanan anak manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan murni setelah sebelumnya bersahabat dengan dengan indera dan hwa nafsu, dorongan, syahwat, watak serta naluri kemanusiaan. Di sini lain bedanya karya Ibnu Tufayl dan Ibnu Sina adalah cara mencari iluminasi hati dimana dikemudian hari karya ini direstorasi dengan cerita yang hampir sama dengan karya Suhrawardi yang sejaman dengan Ibnu Tufayl, al-Gharibah al-Ghorbiyah yang menggunakan teori Hayy bin Yaqzan.
Terlepas dari persamaan dan perbedaan Hayy bin Yaqzan karya Ibnu Sina dan Ibnu Tufayl serta al-Gharibah al-Ghorbiyah karya Suhrawardi ini. Bagi saya pribadi, karya Ibnu Tufayl ini tetap yang paling unik dan menarik untuk catat dan kemudian menjadi ulasan, karena sudah tentu pada bagian awal dari karya Ibnu Tufayl tersebut sudah mengacu pada filsafat Timur yang didalam para filosof Timur, terutama Ibnu Sina. Dan, ini tentu berbeda dengan tradisi filsafat di Spanyol yang berkembang saat itu.
“Roman inisitik” demkian Sayyed Hossein Nasr dalam tulisannya Theologi, Philosophy And Spirituality World Spirituality, Vol 20 (1991), menyebut karya Ibnu Tufayl ini. Nama-nama dalam dalam kisah Hayy bin Yaqzan oleh Ibnu Tufayl tetap digunakan sebagai simbolisme dari karya Ibnu Sina, akan tetapi fungsinya sungguh sangat berbeda. Hayy bin Yaqzan dalam karya Ibnu Tufayl sendiri dinarasikan sebagai pahlawan, daripada intelek aktif.
Melalui karyanya ini, Ibnu Tufayl seakan-akan mau memperlihatkan dengan cara yang mesterius, yaitu dengan cara penurunan yang bersifat spontan dari materi yang dibuat aktif secara spiritual oleh intelek aktif sebagaimana gagasan dalam karya Ibnu Sina. Narasi Hayy bin yaqzan ditolong dan didewasakan seekor rusa sebagai rasa simpati yang selalu berhubungan dengan sesama makhluk hidup secara bersama.
Puncaknya, ketika Hayy tumbuh dewasa yang memulai mencapai pengetahuan pertama tentang dunia fisik, kemudian pengetahuan eskatologis dan pada akhirnya prinsip ilahi dan teofani yang bersifat universal. Akan tetapi, dalam narasi Hayy bin Yaqzan ini pencapai tertinggi dari pengetahuan yang didapat bersama Absal di sebuah pulau dekat dengan pengajaran agama dan teologi.
Bagi Hayy, pengusaan bahasa manusia bersama absal bisa jadi menemukan kebenaran lain, bahwa semua yang dipelajari tentang agama merupakan bentuk yang paling murni, sebab dengan demikian bisa mengajari dan mendidik masyarakat yang ada di pulau dimana Absal tinggal bersama.
Satu yang sangat penting dan perlu ingat dan dicatat bahwa dalam narasi perjalanan Hayy bin yaqzan karya Ibnu Tufayl ini adalah tak adanya penjelasan tentang naturalisme yang menolak wahyu. Hayy bin Yaqzan merupakan sebuah karya yang mencoba membuka tabir dalam diri manusia, tentang makna intelek yang bersumber pada jiwa, seperti wahyu yang bersifat batini, yang mana hal ini tak ditemukan kecuali menegaskan akan kebenaran wahyu dalam kitab suci.
Roman Hayy bin Yaqzan merupakan keterasingan diri dalam pemikiran Ibnu Bajjah yang memiliki pengalaman batin dalam menggapai kebenaran melalui intelek. Kebenaran ini yang didapat Hayy kemudian hari ditegaskan dengan kebenaran agama yang telah dipelajari Absal. dan, ini merupakan pesan-pesan utama yang ada dalam filsafat Islam.
Pada akhirnya, pesan yang ada dalam roman Hayy bin Yaqzan karya Ibnu Tufayl ini adalah keserasian antara agama dan filsafat atau akal dan wahyu. Peranan esoterik pada filsafat sebagai dimensi batin dari kebenaran yang dijelaskan dengan rinci oleh pernyataan agama bagi manusia secara kolektif. Bahasa simbolik dalam karya Hayy bin Yaqzan menandakan filsafat esoterik yang dapat dibenarkan.