Mungkin di antara kita pernah mendengar kalimat atau ucapan yang kurang lebih seperti berikut ini:
“Kami tidak pernah mengatakan bahwa kami pasti masuk surga. Tetapi kami pasti benar, karena kami menggunakan metode yang paling dan dijamin benar. Kami boleh mengatakan bahwa kami pasti benar, dan bahkan harus kami katakan bahwa kami paling benar. Karena Allah memerintahkan kita untuk mengatakan bahwa yang benar adalah benar. Islam yang dipahami menurut salafussalih adalah Islam yang paling benar. Jadi tidak mungkin kami mengatakan bahwa apa yang kami ikuti ini salah dan tidak mungkin kami mengajak kepada kesalahan. Kalau Anda mengatakan bahwa Islam yang Anda pahami benar, maka tunjukkan dalil. Dalil dilawan dalil. Jangan pakai hawa nafsu.”
Biasanya, ucapan semacam ini digunakan untuk mempertahankan diri setelah sebelumnya si pengucapnya mendapat serangan balik dari orang atau kelompok yang dikritiknya. Tentu saja, pihak yang dikritik tidak begitu saja terima, apalagi jika dikatakan bahwa mereka sesat dan karenanya, berdasarkan hadis, masuk neraka. Siapa yang mau ditunjuk hidungnya dan dikatakan: “Kamu sesat dan masuk neraka”? Memang tak selalu eksplisit, tetapi mudah dipahami begitulah maksudnya. Naifnya, setelah berkelit dari serangan balik, dia buru-buru, tanpa merasa bersalah, mengatakan: “Bukan saya yang mengatakan kalian sesat, tetapi al-Quran dan sunnah yang mengatakan demikian. Saya hanya menyampaikan.”
Menurut logika di atas, orang awam semacam saya akan bertanya: apakah yang benar pasti masuk surga? Dan yang salah tidak mungkin masuk surga? atau Apakah yang benar bisa masuk neraka? Kalau iya, untuk apa ngotot pada kebenaran? Toh akhirnya kebenaran tidak menentukan masuk tidaknya kita ke surga. Dalam paham awam saya, logika di atas lahir dari keinginan untuk mengatakan bahwa kebenaran hanya boleh dipegang oleh satu pihak dan juga surga hanya dimasuki oleh satu pihak. Ini justru bertentangan dengan yang diajarkan Nabi maupun ulama, yaitu bahwa yang menjadikan orang masuk surga Allah adalah rahmat-Nya. Tanpa rahmat Allah, tidak mungkin orang masuk surga.
Namun, mari kita pahami lebih jauh logika yang dibangun oleh mereka yang mendaku “tak lebih, hanya menyampaikan kebenaran” dari al-Quran dan sunnah dengan pemahaman al-salaf al-salih di atas dan juga oleh mereka yang menuntut dalil (tekstual) tetapi abai pada masalah pemahaman. Ada tiga hal yang akan kita bahas.
Pertama, logika berpikir seperti di atas mencerminkan kerancuan atau—dalam bahasa mereka—syubhat. Yaitu meletakkan “kebenaran” dan “pemahaman atas kebenaran” pada tingkat yang sejajar. Bahwa Islam yang dipahami oleh generasi al-salaf al-salih itu benar, tentu mayoritas umat Islam tidak akan mengingkarinya. Itulah kebenaran. Namun, mengatakan bahwa Islam yang kita di zaman sekarang pahami berdasarkan manhaj (metode) al-salaf al-salih itu benar adanya, adalah kecerobohan. Mengapa? Karena pemahaman bisa salah dan bisa benar, meskipun metodenya benar. Lagi pula, siapa yang menilai kita benar dan salah dalam beragama? Allah! Kita bisa berkilah: yang untuk mengetahui benar-salah menurut Allah, kita kembali ke al-Quran dan sunnah (lagi). Inilah yang saya katakan logika memutar. Orang Jawa bilang: mbulet atau istilah Inggrisnya: vicious circle.
Kedua, logika di atas mencampuradukkan antara “keyakinan terhadap kebenaran” dan “kebenaran” itu sendiri. Memang, yakin tidak bisa dihilangkan oleh keraguan (al-yaqin la yuzal bi-l-syakk). Namun itu tidak berarti bahwa keyakinan pasti benar. Keyakinan pada kebenaran pada dasarnya adalah subyektif, yakni bertolak dari sudut pandang kita saja dan belum tentu sama dengan sudut pandang orang lain. Menjadi masalah jika kita menerapkan, apalagi memaksakan, “keyakinan kita akan kebenaran” itu kepada orang lain. Ingat: keyakinan kita akan kebenaran bukanlah kebenaran itu sendiri. Inilah yang justru diajarkan oleh para imam mazhab: “Pendapatku benar tetapi bisa jadi salah”. Ini ambigu tetapi inilah tawaduk (rendah hati terhadap kebenaran). Secara subjektif, kita yakin apa yang kita lalukan, pikirkan, dan pahami itu benar, tetapi secara objektif bisa jadi orang lain memandang kita salah.
Ketiga, logika di atas lahir dari pandangan mengenai “dalil”. Di mata mereka, dalil itu hanya al-Quran dan hadis dan, oleh karenanya, cukup mendatangkan dalil untuk mengatakan sesuatu itu benar atau salah. Di luar al-Quran dan hadis tidak ada dalil. Bagi mereka, yang ada adalah dalil naqli (teks), tidak ada dalil ‘aqli (penalaran). Ini menjadi masalah, karena menghilangkan proses pemahaman terhadap teks. Padahal, menghadirkan dalil naqli itu tidak akan terjadi tanpa si pembawa dalil naqli memahaminya. Ibaratnya seperti membawa al-Quran tanpa paham isinya. Al-Quran (surat al-Jumu’ah: 5) mengibaratkannya seperti keledai membawa buku (kitab) (kamatsal al-himar yahmil asfara). Ingat, kita berinteraksi dengan al-Quran melalui pemahaman. Kita berinteraksi dengan dalil melalui pemahaman! Bukan melalui pengucapan semata! Mengucapkan dalil bukan bukti bahwa secara otomatis kita paham akan dalil! Menyodorkan dalil tanpa berani adu pemahaman adalah sikap tidak bertanggungjawab!
Lantas, apakah kita bilang lagi: “Kalau begitu, kita kembali kepada sumber kebenaran, yaitu al-Quran dan hadis!”? Jika demikian, kita akan terjebak pada “logika memutar” lagi! Mbulet dan vicious circle. Pada akhirnya, setelah ngotot pada kebenaran, kita harus rela mengatakan: Wallahu a’lam bi-l-sawwab (Allah Mahatahu atas Kebenaran Hakiki).