Islamsantun.org. “Spekulasi kosmologik-kosmogonik ini sangat mirip dengan apa yang dimuat dalam Sang Hyang Kamahayanikan yang berbahasa Jawa kuno, dengan perbedaan klasifikasinya ke dalam 5 tingkat, dengan rujukan pada Kats (1910: 106-16). Jika semua itu benar-benar berasal dari zaman pra Islam, maka pastilah spekulasi-spekulasi tersebut pada suatu tahapan islamisasi yang lebih awal, karena istilah-istilah dan penggambaran yang dipakai jelas merupakan bagian dari tasawuf Islam” (Martin van Bruinessen, 1999: 234).

Kutipan di atas berasal dari tulisan Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999: 234), pada bagian membicarakan “Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra, dan Jamaluddin al-Akbar: Jejak-Jejak Pengaruh Tarekat Kubrawiyah terhadap Islam Indonesia Masa Awal”. Buku ini telah mendapat sambutan yang sangat luas oleh pembaca Indonesia. Dulunya diterbitkan Mizan, dan sekrang diterbitkan Penerbit Gading, dan rujukan yang saya pakai di sini, memakai buku yang diterbitkan Mizan.

Dalam kutipan di atas, Martin van Bruinessen condong melihat bahwa penglihatan warna-warna batin dengan jika benar-benar itu berasal dari zaman pra Islam disebutnya “jelas merupakan bagian dari tasawuf Islam” (1999: 234), ketika membicarakan jejak tarekat Kubrawiyah di Indoneisa. Martin van Bruinessen awalnya mengakui bahwa “penglihatan batin akan cahaya-cahaya berwarna ini tampaknya menempati tempat yang penting dalam Tarekat Haqmaliyah atau Akmalaiyah, tarekat Jawa Barat yang tidak banyak dikenal di Jawa barat” (1999: 232). Martin van Bruinessen juga menunjukkan bahwa antropolog Woodward juga mendengar bahwa Sultan di Yogyakarta (tanpa menyebut sultan ke berapa) “dipercaya melihat cahaya hijau ketika dia melakukan meditasi” (1999: 233). Dia juga menambahkan bahwa di berbagai sekte Islam kebatinan (esoterik), begitu Martin menyebutnya, “juga menggunakan teknik-teknik meditasi untuk dapat melihat cahaya yang berwarna semacam itu” (1999: 233).

Martin van Bruinessen, kemudian membuat pertanyaan dua hal: orang mungkin akan tergoda, untuk mengaitkan amalan ini dengan pengaruh Tarekat Kubrawiyah pada masa awal, yang asal usulnya sudah dilupakan orang di Jawa; namun dapat dipastikan bahwa teknik yang sama, penutupan lubang-lubang yang ada, juga dipraktikkan di lingkungan Tantrik India, dimana teknik ini dikenal dengan nama yoni mudra. Setelah itu, Martin van Bruinessen condong mengambil kesimpulan bahwa penglihatan warna-warna itu “jika semua itu berasal dari masa pra Islam, maka pastilah spekulasi-spekulasi tersebut berkembang pada suatu tahapan islamisasi yang lebih awal karena istilah-istilah dan penggambaran yang dipakai jelas bagian dari tradisi tasawuf Islam.”

Dari sudut ini, patut diapresiasi, Martin van Bruinessen, meski awalnya membuka dua kemungkinan untuk tergoda mengaitkan hal itu dengan zaman pra Islam, melalui Tantrik India, dan Sang Hyang Kamahayanikan yang berbahasa Jawa Kuno, dia akhirnya menyimpulkan pada akhirnya bahwa itu “jelas merupakan bagian dari tasawuf Islam.” Saya akan menambahkan apa yang dikemukakan Martin van Bruinessen, ketika menyebut bahwa dalam tradisi tasawuf Islam, penglihatan semacam itu, olehnya, dikaitkan semata dengan Tarekat Kubrawiyah dan tradisi Haqmaliyah. Hal ini, belum cukup mewakili penglihatan warna-warna ini dalam tradisi tasawuf Islam.

Di dalam Tarekat Kubrawiyah, memang para guru lakunya, seperti Syeh Najmudin Kubra, Syeh Isfara’ini, Syeh Najmudin Dayah Razi dan Syeh Alaud Daulah as-Simnani, juga al-Hamdani, menekankan aspek berbagai penglihatan cahaya ini. Demikian pula, keterkaitan cahaya-cahaya itu dengan tardisi di kalangan Haqmaliyah, sebagaimana yang disinggung Martin van Bruinessen, begitulah adanya.

Akan tetapi soal penglihatan berwarna atas nafs ini, bukanlah hanya ada di Tarekat Kubrawiyah dan Tarekat Haqmaliyah. Penglihatan berwarna tentang nafs ini juga ada di berbagai pelaku tarekat, misanya di Tarekat Qadiriyah, Syathariyah, dan di beberapa tarekat lain. Hanya saja kadang-kadang penglihatan berwarna itu tidak ditulis, dan hidup sebagai pengalaman spiritual.

Dalam tarekat Qadiriyah, pengalaman itu, telah dimatangkan secara konseptual oleh Syeh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitab kecilnya berjudul Risalatun fil Asma’ al-`Azhimah lith Thariq ilalloh. Sementara dalam rujukan berbahasa Jawa, penglihatan warna ini juga dikemukakan para wali di Jawa, sebagaimana diungkapkan oleh Serat Suluk Walisana I, yang disebut di covernya disusun oleh Sunan Giri II, merupakan pengajaran Nabi Hidhir kepada Syeh Melaya.

Dalam Serat Suluk Walisana I (Sinom: bait 20 dan seterusnya), penglihatan warna-warna ini diajarkan Nabi Hidhir kepada Syeh Melaya: pertama Syeh Melaya ditunjukkan adanya cahaya “warna abang ireng jenar”, setelah itu nampaklah cahaya putih; dan sejatinya semua cahaya itu satu. Lalu, dijelaskan bahwa cahaya-cahaya itu adalah penglihatan terhadap nafsu: “kang rupa cahya abang, atuduh nafsu tan becik” (yang berwarna merah, mengajak nafsu yang tidak baik); “dene cahya kang akresna [ireng], karyane ngubungi runtik (lalu cahaya warna hitam, kerjanya membangkitkan marah).

Setelah itu warna kuning dan putih disebut “dene kang cahya jenar, nggulang cipta kang becik, sayektine ngegungken panggawe kang rusak” (sedangkan warna kuning, [selalu] menghalangi untuk karya yang baik, dia mengagungkan pada perbuatan yang membuat rusak); “ingkang putih iku nyata, mung suci tan ika iki, prawira ing karaharjan” (warna putihlah yang nyata, bersifat suci tidak ke sana dan ke sini (tidak terombang-ambing), pengajak pada keselamatan.”

Dalam Serat Suluk Walisana I, warna putih disebut muthma’innah yang harus menjadi rajanya, warna kuning disebut sufiyah, warna hitam disebut lawwwmah, dan warna merah disebut ammarah. Menurut versi ini, pengajaran warna-warna ini diajarkan Nabi Hidhir kepada Syeh Melaya (Sunan Kalijaga), yang juga menjadi murid Sunan Gunungjati, Maulana Maghribi, dan Sunan Bonang, seperti disebut sebagian babad. Pengajaran Nabi Hidhir yang ada dalam Serat Suluk Walisana I itu, juga ditambahi satu warna yang memancarkan 8 warna, yang ada dalam diri manusia yang sedang diperjalankan: “maya-maya angebati, urub mung sawiji, andarbeni cahya wolu” ([kemudian ada warna] memancar bersinar sangat hebat, hanya satu nyala, yang mengandung 8 warna cahaya).

Di Jawa, selain diajarkan Nabi Hidhir kepada Syeh Melaya, penglihatan warna-warna juga diajarkan Syeh Abdul Qadir al-Jilani dan para pengikut tarekatnya, yang menyebut ada 7 tahap dan 7 warna: cahaya ammarah berwarna azraq (biru), dengan cara mengasuhnya melalui dzikir kalimat tahlil 100.000 x, tempatnya di shadr; cahaya lawwamah berwarna ashfar (kuning), diasuh dengan Ismul A’zham sejumlah 780.084 x, tempatnya di titik qalb; cahaya mulhimah warnanya ahmar (merah), berada di titik latho’if ruh, diasuh dengan dzikir Huwa sejumlah 44.630 x; dan cahaya muthma’innah berwarna abyadh (putih), diasuh dengan dzikir “ya Hayyu” sejumlah 20.092 x, tempatnya di titik sirr.

Setelah itu, masih ada cahaya rodhiyah yang berwarna ahdhar (hijau), diasuh dengan dzikir “ya Wahid” sejumlah 93.420 x, berada di titik sirrus sirr; ada pula cahaya mardhiyah warnanya aswad (hitam), diasuh dengan dzikir “ya `Aziz” 64.644 x, berada di titik akhfa’ (titik tengah shadr); dan cahaya kamilah warnanya laisa lahu laun (tidak berwarna), berada di titik khafa’, dengan diasuh dzikir “ya Wadud” sejumlah 100.000 x. Cahaya-cahaya yang berwarna itu membawa pada perbedaan warid-warid marifat dan kiriman hakikat yang berbeda-beda dan tahapan-tahapan yang ditempuh dalam perjalanan batin.

Di beberapa tarekat lain, juga ada semacam ini dengan konsepsi yang mungkin saja berbeda. Dalam cara mengkonsepsinya, apa yang dikemukakan Serat Suluk Walisana I dan apa yang diungkapkan Syeh Abdul Qadir al-Jilani dalam Risalatun fil Asma’, ada beberapa perbedaan penamaan: pengajaran dalam Serat Suluk Walisana I ada 4 cahaya warna, lalu ada satu cahaya memancarkan 8 cahaya; dan di dalam pengajaran Syeh Abdul Qadir al-Jilani, ada 7 cahaya dan yang terakhir adalah cahaya tanpa warna. Itu tidak masalah, tergantung bagaimana dan metode guru mana yang diikuti.

Martin van Bruinessen mengakui, ada sebagian ilmuwan yang memandang warna-warna itu sebagai “pengaruh langsung ajaran Tantra Hindu” atau Budha (1999: 231), dan ada yang berspekulasi dipengaruhi ajaran-ajaran Sang Hyang Kamahanayikan yang berbahasa Jawa kuno (1999: 234). Menurut saya, sejauh menyelami hal-hal seperti, tidak pernah diajari dari Sang Hyang Kamahanayikan atau dari Tantra Hindu atau Budha, tetapi dari tarekat yang saya anut; dan penglihatan semacam itu adalah melalui ainul bashirah, dan karenanya tidak bisa hanya dengan membaca Sang Hyang Kamahanayikan, atau membaca pendapatnya seseorang.

Demikian pula, para wali penyebar Islam di Jawa, sebagai para penganut tarekat, mereka melihat itu, yang di kubur mereka sebagian diberi kode “qubrusy syahid”, yaitu yang telah mengalami maqom musyahadah, menjadi saksi atas kehadiran Tajalli Asma, Af`al, dan Sifat-Sifat Alloh, karena metode dalam tarekatnya dijadikan sebagai wasilah oleh Alloh untuk membawanya ke penglihatan-penglihatan itu. Dan, penglihatan terhadap warna-warna itu, mestilah difahami, hanyalah salah satu ma’rifat dalam perjalanan, atau tanda dalam perjalanan-perjalanan batin. Bukan tujuan dari perjalanan itu sendiri.

Berikutnya yang penting, menurut saya, penglihatan soal warna-warna itu, bukanlah spekulasi, bila spekulasi dimaknai sebagai lamunan. Sebaliknya, penglihatan warna-warna atas nafs itu, bisa diselami melalui pendalaman perjalanan batin dan melalui laku. Karenanya, kata spekulasi yang dipakai Martin van Bruinessen di tulisannya itu, sebagaimana di kutipan awal tulisan ini dan di beberapa penjelasannya di buku itu (kalau spekulasi dimaknai lamunan), tidak mencerminkan apa yang dialami dan dilihat oleh para pelaku tarekat; akan tetapi melihatnya sebagai spekulasipun dapat diterima, bagi mereka yang tidak mengalami secara langsung, dan apa yang dialami para pelaku tarekat dilamun-lamunkan olehnya. Semoga tetap diberi sehat Pak Martin, kebaikanmu tidak pernah aku lupakan. Wallohu a’lam. []

Nur Kholik Ridwan, alumnus pesantren Darun Najah Tanjungsari Banyuwangi.

Komentar